Sabtu, 21 April 2018

Hukum Islam




BAB I
PENDAHULUAN

            A.      Latar Belakang.
Islam adalah agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Proses turunnya wahyu dimulai ketika Nabi Muhamad berada di gua hira dan berproses selama 23 tahun. Terkadang Nabi Muhamad SAW menjelaskan maksud dari ayat-ayat tersebut tapi terkadang juga tidak, kecuali jika para sahabat bertanya kepadanya. ketika terjadi perselisihan diantara para sahabat dalam memahami isi kandungan al-Quran Nabi Muhamad SAW segera menyelesaikan segala permasalahan itu sehinnga perselisihan yang muncul dapat terselesaikan dengan baik.
Setelah Nabi Muhamad wafat dan islam mulai melakukan kontak dengan dunia luar, kemudian melahirkan keragaman pemahaman dibeberapa bidang, yang paling utama dan pertama adalah masalah kepemimpinan (Imamah).berawal dari masalah kepemimpinan itu, perbedaaan paham berkembang kewilayah teologi dan berlanjut kewilayah yang lebih luas sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran dan teori-teori yang baru untuk menyelesaikan suatu masalah.
B.       Rumusan Masalah.
1.      Apa saja sumber hukum islam?
2.      Apa saja teori dalam hukum islam?
3.      Bagaimana pemikiran madzhab Jafari madzhab Hanafi madzhab Maliki madzhab Syafi’i madzhab Hambali madzhab Dhohiri dalam hukum islam?
C.      Tujuan dan Manfaat.
1.      Untuk mengetahui sumber hukum islam.
2.      Untuk mengetahui teori dalam hukum islam.
3.      Untuk mengetahui pemikiran madzhab Jafari madzhab Hanafi madzhab Maliki madzhab Syafi’i madzhab Hambali madzhab Dhohiri dalam hukum islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sumber Hukum Islam
Dilihat dari segi keberadaanya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil yang keberadaanya terdapat dalam teks suci (adilah al-Ahkam al-Manshushah) dalil-dalil yamg masuk kategori ini adalah al-Quran dan sunnah. Dalil ini juga disebut dengan dalil naqli. Kedua dalil-dalil hukum yang keberadaanya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan disusun melalui analisis pemikiran (adilah al-Ahkam ghair al-Mahshushah) dalil ini disebut dengan dalil aqli perdasarkan pengertian ini, para ulama sebelas dalil tersebut sebagai landasan penempatan hukum:[1]
a.      Al-Quran
Secara bahasa, al-Quran dari kata qara’a yang berati “bacaan” atau “apa yang tertulis padanya” secara istilah al-Quran dapat di definisikan sebagai kalam allah yang mengandung mujizat, dan diturunkan kepada rosullulah, muhamad SAW dalam bahasa yang dinukilkan sesudahnya secara mutawatir, membacanya dinilai ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-nass.
Kaum muslimin telah sepakat menerima keauntetikan al-Quran. Oleh sebab itu al-Quran dipandang sebagai qathi al-Tsubut (riwayatnya dapat diterima secara pasti). Dari prinsip ini, segenap kaum muslimin sepakat menerima al-Quran sebagai dalil atau sumber hukum yang paling asasi. al-Quran sendiri memerintahkan agar menetapkan hukum atas hukum allah yang termaktub didalamnya.
b.      Sunnah
Menurut bahasa sunnah berati “jalan yang bisa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan” apakah cara itu baik atau buruk. Arti ini ditemukan berdasarkan sabda Nabi :
Artinya:”barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik didalam islam, maka ia menerim pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya”. Secara istilah sunnah adalah segala yang diriwayatkan Nabi, baik berupa, perkataan, Perbuatan, mauoun tetetapan yang berkaitan dengan sifatnya yang berkaitan dengan hukum. Kaum muslimin juga sepakat bahwa kedudukan sunnah sebagai sumber hukum islam. Hanya ada segelintir kau khawarij yang tidak memandang sunnah sebagai dalil atau sumber hukum. Pandangan ini menimbulkan kaum ingkar sunnah. Selain itu, terdapat pula perbedaan pandangan cara memandang sunnah menurut ulama Sunni dan ulama Syi’ah Imamiyah. Bagi ulama Sunni, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir (diamnya Nabi). Terdapat suatu tindakan yang berkaitan tentang hukum syariah yang praktis (tasri al-Ahkam al-Amaliyah). Menurut ulama Syi’ah Imamiyah sunnah bukan ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi saja, tetapi juga termasuk ucapan, perbuatan, dan taqrir para Imam Syi’ah Imamiyah.
c.       Ijma
Menurut bahasa ijma berati kesepakatan atau konsesus seperti dalam surat yusuf ayat 25:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ(١٥)

terjemahnya: Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia) dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf ‘Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” (QS.Yusuf : 15)

Menurut Wahab bin Khalaf ijma adalah konsesus para mujtahid dari kalangan Nabi setelah wafatnya beliau pada suatu masa terdapat suatu hukum syara.
Ijma dapat menjadi sumber hukum islam sepanjang rukun-rukunya terpenuhi. Oleh sebab itu ijma tttiiidak boleh diingkari. Orang yang mengingkarinya dihukumi kafir. Disamping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukum melalui ijma tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya. Untuk masa kini ijma sulit terwujud, mengingat luasnya wilayah dunia islam, sehingga sulit mengumpulkan segenap mujtahid. Hal ini berbeda pada masa sahabat Nabi SAW yang memungkinkan terwujudnya ijma’. Saat itu, umat islam belum tersebar secara luas serta sahabat yang memiliki kemampuan ijtihad juga tidak banyak.
Ijma’ terbagi dalam dua bentuk, yaitu ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Ijma’ sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Sedangkan ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada suatu masa tentang hukum suatu masalah yang tersebar luas, sementara sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan diatas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.
d.      Qiyas
Arti qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Menurut Wahbah al-Zuhaili definisi qiyas adalah yang artinya “Menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalama nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya dalam nash, disebabkan kesatuan illat hukum antar keduanya”.
Qiyas memiliki empat rukun yaitu ashl (wadah hukum yang diterapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl) hukm ashl (hukum yang telah ditentukan).
Sebagai ijma’ status qiyas sebagai dalil hukum disepakati ulama sunni dan syi’ah zaidiyah. Adapun ulama syi’ah al-Nasam, syi’ah zahiriyah dan ulama’ mu’tazilah Iraq menolak qiyas dikalangan ulama’ sunni, qiyas diterapkan secara berbeda. Imam Abu Hanifah paling banyak memakai qiyas. Setelah itu, Imam Syafi’i, Imam Maliki, lalu Imam Hambali.
e.       Istihsan
Dari segi bahasa istihsan berarti “menganggap atau memandang baik pada sesuatu” dari segi istilah, istihsan ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat darinya karena terdapat dalil atau alas an yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu dalil. Menurut ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan sebagian ulama Hambali, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum islam. Sementara itu, ulama madzhab Syafi’i, Dzohiri, Syi’ah, dan Mu’tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil. Imam Syafi’i berkata”barag siapa yang menggunakan istihsan adalah mengikuti hawa nafsu yang membawa kesesatan”. Ulama madzhab hanafi membagi istihsan menjadi eman macam yaitu istihsan berdasarkan ayat atau hadis, istihsan berdasarkan ijma, istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi, istihsan berdasarkan kemaslahatan, istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum, dan istihsan berdasarkan keadaan darurat.
f.       Istishlah
Istilah lain dari istishlah adalah maslahah mursalah. Menurut bahasa berate baik istihlah didefinisikan sebagai suatu upaya penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan atau kebaikan. Kebaikan ini tidak ditunjukan secara tegas dalam al-Quran, sunnah, maupun ijma’. Namun kebaikan ini juga tidak bertentangangan dengan maksud syariah. Madzhab maliki menggunakanyadh sebagai dalil,  madzhad zahiri, madzhab syiah dan sebagai kaum mutazilah menolaknya penggunaan istislah harus memenuhi beberapa persyaatan antara lain: bukan diukur dengan dugaan semata sifatnya umum, bukan bersifat perorangan (subyektif) tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara yang lain, serta diamalkan dalam kondisi yang memerlukan.
g.      Istishhab
Menurut bahasa berate minta bersahabat atau membandinggkan sesuatu dengan mendekatkannya. Definisi istishhab ialah melestarikan sesuatu ketentuan hukum yang telah ada pada masa lalu, hinnga ada dalil yang mengubahnya. Maksudnya, apabila dalam kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut maka hukum yang telah ada dimasa lampau itu tetap berlaku sebagai mana adanya  secara terminology, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih. Imam al ghozali memberi definisi istishab dengan istislah itu berpegang pada dalil akar atau syara , bukan didasarkan karena tidak mengetahui adnya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan peneletian dengan cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada.
Ulama madzhab maliki, syafii, hambali, dzahiri, dan syiah memandang istishhab dapat dijadikan dalil hukum secara mutlaq. Para ulama menolak istishhab adalah ulama madzhab Hanafi karena istishhab hanya dapat diterapkan untuk melestarikan hukum yang telah ada pada masa lalu, tetapi tidak dapat diberlakukan pada hukum baru yang belum ada sebelumnya.
h.      Urf
Menurut bahasa urf berarti yang kenal. Definisi urf adalah sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Lebih lengkapnya, urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik secara perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.
Urf dibagi menjadi dua macam yakni urf shahih dan urf fasid. Urf shahih adalah tradisi yang tidak berlawanan dengan dalil syara’ serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. Urf fasid adalah tradisi yang berlawanan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Ulama madzhab Syafi’i tidak memperbolehkan berhujjah dengannya jika bertentangan dengan dalil syara’ atau tidak ditunjuki oleh dalil syara’. Ulama madzhab hanafi dan maliki menjadikan urf sebagai dalil hukum yang mandiri dalam masalah yang tidak ada dalilnya dan tidak ada larangan syara’ terhadapnya. Ulama syiah menerima urf dan memandangnya sebagai dalil hukum yang tidak mandiri tetapi harus terkait dengan dalil lain yakni sunnah.
i.        Sadd al-Dzari’ah
Secara bahasa sadd berarti penutup dan dzari’ah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu atau sesuatu yang membawa kepada sesuatu yang dilarang dan mengandung kemadzaratan. Sad al-dzari’ah berarti juga dapat diarikan sebagai penutup sesuatu yang menjadi sarana yang diharamkan atau dihalalkan. Imam malik dan Imam Ahmad Bin Hambal menerima sad al-dzari’ah sebagai salah satu dari dalil hukum, sedangkan madzhab dzohiri menolaknya. Imam Syafi’i dan Imam hanafi dan madzhab syi’ah menerapkan sad al-dzari’ah pada kondisi tertentu.
j.        Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana berarti syariat umat sebelum islam. Dalam hal ini, terdapat syariat sebelum islam yang telah dibatalkan oleh syari’at islam dan adapula yang masih tetap diberlakukan. Persoalannya adalah apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum islam menjadi hukum juga bagi umat islam. Dalam hal ini ulama aliran asy’ariyah, mu’tazilah, dan syi’ah tidak sepakat dengan hal tersebut.
k.      Madzhab Shahabi
Madzhab shahabi adalah pendapat para sahabat Nabi tentang suatu kasus yang dikutip oleh para ulama baik berupa fatwa atau ketetapan hukum. Sementara itu Al-Qur’an dan as-sunnah tidak menjelaskan hukum tersebut. Disamping itu tidak ditemukan kesepakatan pasa sahabat yang menetapkan hukum tersebut. Persoalannya apabila sahabat meriwayatkan dengan jalur yang shahih apakah wajib diterima, diamalkan, dan dijadikan dalil. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Pertama, pendapat sahabat tidak dapat dijadikan dalil hukum, menurut ulama asy’ariyah dan mu’tazilah serta ulama Syafi’i. kedua, pendapat shabat Nabi dapat dijadikan dalil hukum dan didahulukan dari qiyas, seperti yang diungkapkan oleh ulama hanafi, ulama maliki, ulama hambali, serta pendapat awal (qaul qadim dari Imam Syafi’i). ketiga, madzhab sahabat dijadikan dalil hukum bila dikuatkan oleh qiyas menurut Imam Syafi’i pada qaul akhir (qaul jadid). Keempat, madzhab sahabat dijadikan dalil hukum bila bertentangan dengan qiyas. Pertentangan ini menunjukkan bahwa pendapat yang diambil tidak bersumber dari qiyas, melainkan dari sunnah menurut ulama hanafi.
B.       Teori Dalam Hukum Islam
1.      Istinbath
Dari segi bahasa, kata istinbath berasal dari kata dasar nabatha yang berarti “air yang mula-mula keluar dari sumur yang digali”. Kata ini mendapatkan tambahan 3 huruf, sin, tha’, dan alif. Sehingga menjadi istinbatha. Kata bentukan ini memiliki arti sumber tempat air tersembunyi. Setelah dipakai sebagai istilah berarti upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya. Fokus istinbath adalah teks suci, ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi. Oleh karena itu, usaha pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.
Konstruksi hukum dengan analisia tata bahasa. Maksud analisa tata bahasa adalah memahami, bahasa teks yang tampak. Teks ini bisa diucapkan, bisa ditulis, dan dipahami pengertiannya. Sasaran kajiannya teks ini adalah ayat-ayat al Quran dan sunah Nabi yang termaktub dalam kitab kitab dan hadis. Dilihat dari cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat khusus(khas). Pernyataan umum sesuai dengan makna kata yang digunakan. Kata yang bermakna umum memiliki tanda tersendiri antara lain kul (setiap) jama (banyak) atau (seluruh).
Perintah dan larangan allah (azzaa wa’jalla) juga maha bijak, karena keduanya difirmankan melalui utusan yang kemudian dicatat dan ditulis dalam bentuk teks bahasa arab. Dalam teks al Quran, perintah allah azzaa wajalla memiliki ragam redaksi:[2]
a.            Menggunakan pernyataan memerintahkan atau pernyataan semakna dengannya.
b.           Perintah dengan pernyataan diwajibkan atau ditetapkan.
c.            Perintah dengan pernyataan berita yang mengandung maksud perintah.
d.           Perintah dengan memakai kata perintah secara langsung.
e.            Perintah dengan menggunakan kata kerja yang memiliki perintah.
f.            Perintah dalam bentuk perjanjian kebaikan yang banyak atas pelakunnya.
Setidaknnya ada tujuh bentuk redaksi yang mengindikasikan larangan:
a.       Larangan secara tegas dengan memakai pernyataan melarang atau pernyataan yang       semakna.
b.      Larangan dengan pernyataan haram.
c.       Larangan dengan pernyataan tidak halal.
d.      Larangan yang disertai kata kerja yang disertai tanda larangan.
e.       Larangan dengan kata perintah untuk meninggalkan.
f.       Larangan dengan ancaman siksaan terhadap pelakunnya.
g.      Larangan dengan menilai buruk terhadap suatu perbuatan.
Ada empat untuk teknik analisa menggali hukum melalui makna suatu pernyataan:
1.      Analisa makna terjemah (ibarah al-nash).
2.      Analisa  pengembangan makna (dilalah al-nash)
3.      Analisa  kata kunci dari suatu pernyataan (isyarah al-nah).
4.      Analisa relevansi makna (iqtidha’ al nash).
2.      Istidlal
Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata istadlaa yang berarti minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan Imam al dimatyhi memberikan arti istidlal secara umum yaitu mencari dalil untuk menggapai tujuan yang diminta. Dalam proses pencarian, mula-mula al Qur’an menjadi rujukan pertama. Jika tidak ditemukan jawaban didalamnnya, maka al sunnah menjadi alternatif kedua. Jika sama tidak ditemukan jawabannya maka ijma’ menjadi pilihannya, lalu Qiyas pilihan berikutnnya. Menurut bahasa kata dalil, mengandung beberapa makna, yakni petunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi, bukti dan saksi, ringkasan dalil berarti petunjuk kepada  sesuatu, baik yang material maupun yang non material. Menurut kebiasaan pakar studi hukum islam arti istidlal adalah sesuatu yang mengandung petunjuk (dalalah) dan bingbingan (irsyad).[3]
3.      Kompilasi
Menurut bahasa, kompilasi berasal dari bahasa latin: “compilare”, yangg berarti mengumpulkan bersama-sama. Dalam bahasa inggris kata ini menjadi “compilation” yang berarti suatu kumpulan atau himpunan. Dari pemahaman bahasa ini, defisi kompilasi dapat dikemukakan, yaitu proses kegiatan pengumpulan berbagai bahan dan data yang diambil dari berbagai sumber buku sesuai dengan kebutuhan untuk disusun kembali kedalam sebuah buku baru yang lebih teratur dan sistematis.
Dalam ilmu hukum, kompilasi digunakan dalam wilayah hukum islam. Dalam hukum islam, terdapat aneka pendapat tentang suatu masalah yang berada dalam koridor Syari’ah. Diluar hukum islam, terkenal dengan istilah kodifikasi, yakni menghimpun peraturan perundang-undangan tentang bidang tertentu dalam satu buku. Contoh kodifikasi adalah kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP). Perbedaan utama antara kompilasi dan kodifikasi adalah terletak pada kekuatan dan kepastian hukumnya. Kodifikasi lebih kuat kedudukan hukumnya daripada kompilasi yang hanya menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan hukum.[4]
a.)    Proses pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di indonesia.
Gagasan pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di indonesia dilontarkan pada tahun 1985. Dan pencetusnya adalah Busthanul Arifin, Hamik Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Ada pula yang menyebut Munawir Sjadzali, Mentri Agama RI.
Proyek pembentukan KHI dilaksanakan oleh dua instansi, yaitu Mahkamah Agung dan Departemen agama. Keduanya mengangkat 16 orang sebagai pelaksana utama: delapan orang dari MA, tujuh orang dari Departemen Agama, dan seorang dari MUI, yakni KH Ibrahim Hosen. Pembentukan dari proyek ini adalah mengkompilasikan aturan hukum islam yang mencakup wilayah muamalah dan yurisdiksi pengadilan agama ke dalam tiga kitab: (a.) Kitab Perkawinan, (b) Kitab Waris, (c) Kitab Waqaf, Shadaqoh, Hibah, dan Baitul Mal.
Pada akhirnya, hasil semua kajian dirumuskan oleh pelaksana utama proyek KHI. Begitu rumusan KHI disepakati, maka Presiden Soeharto menerbitkan Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991 sebagai kekuatan hukum KHI. Dengan demikian proses pembuatan KHI dimulai dari penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Hakim Agung dam Menteri Agama tanggal 25 Maret 1985 hingga terbitnya Inpres tanggal 10 Juni 1991.
b.)   Kandungan Pokok dan Corak Kompilasi Hukum Islam Indonesia
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan dokumen paling penting mengenai Syariat yang tersebar luas di Indonesia. Pancasila melandasi KHI, pasal 1 dari penjelasan menyatakan:” Bagi rakyat dan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, ada hak atas eksistensi suatu hukum nasional tunggal yang akan menjamin kelangsungan kehidupan agama yang berdasarkan kepada prinsip kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang secara bersama-sama mewakili perwujudan kesadaran hukum komunitas dan rakyat Indonesia”.
Pasal 3 dan 4 dari memorandum penjelasan KHI menyatakan, bahwa “Undang-undang yang dapat diaplikasikan” didasarkan kepada urutan sumber-sumber Syariat berikut: (a) teks-teks standart dari “ madzab Syafi’i”; (b) “teks-teks tambahan dari madzab lain”; (c) “fatwa-fatwa ulama”; dan (e) “situasi-situasi di negara-negara lain”.

4.      Legislasi (Taqnin)
Secara bahasa, kata “taqnin” berasal dari tiga huruf, yaitu qaf, nun, dan nun. Yang berarti mencari kabar/berita, melihat-lihat, berada dipuncak gunung, dan memukul dengan tongkat. Jika ketiga huruf ini dibuat menjadi kata taqnin, maka makna yang dihasilkan adalah membuat atau menetapkan undang-undang, membatasi, dan menjadi tengkik.
Dari kata Taqnin juga terbentuk istilah “Qanun” yang berarti asal, pokok, pangkal (al-ashl) dan ukuran segala sesuatu (al-miqyas).
Taqnin atau qanun, sesungguhnya telah dikenal pada masa Nabi SAW yakni berupa piagam Madinah. Setelah Piagam Madinah, Taqnin tidak dijumpai penerapannya hingga muncul negara-negara demokrasi.
Dalam negara demokrasi terdapat tiga wilayah kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuatan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif berwenang dalam menyetujui dan mengawasi jalannya peraturan perundang-undangan. Kekuasaan ekskutif berwenang dalam menjalankan perundang-undangan. Kekuasaan yudikatif berwenang dalam menegakkan dan memberi keputusan keadilan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan ditentukan oleh persetujuan pihak legislatif, maka Taqnin diterjemahkan dengan legislasi.
Jadi secara terminologis, Taqnin atau Taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah hukum sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas.[5]
C.      Pemikiran Hukum Islam
1.      Pemikiran Hukum Madzhab Ja’fari
Madzhab ja’fari dikembangkan oleh Imam ja’far al-shadiq bin Muhammad al-baqir. Selain ilmu-ilmu agama, Imam ja’far juga pakar dalam ilmu-ilmu sains alam, fisika, kimia, botani, astronomi, farmasi, dan kedokteran. Imam ja’far mengalami pemerintahan dinasti umayyah dan dinasti abbasiyah. Kedua dinasti ini tidak menyukai kelompok syi’ah. Sebagai orang yang dianggap salah satu Imam syi’ah (Imam keenam), Imam ja’far kurang perhatian dengan kehidupan politik. Ia lebih memilih terjun dalam dunia ilmu.
Ciri-ciri tradisionalisme dari aliran syi’ah terlihat dalam pemikiran hukum islam Imam ja’far. Dalam hal ini, sumber hukumnya adalah Al-Qur’an dan as-sunnah, serta pemikiran Imam ja’far sendiri yang berpijak pada kebaikan umum (maslahah). Imam ja’far menganggap qiyas sebagai tradisi iblis. Dia berargumentasi bahwa iblis membandingkan dirinya dengan Nabi Adam AS seperti yang terlihat pada ayat 76 Surat Ash-shad:
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ

terjemahnya: Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah".(Qs. As-shad: 76

Diantara karakteristik khas dari madzhab ja’fari, selain menolak qiyas, adalah sebagai berikut:[6]
a.       Sumber hukum islam adalah Al-Qur’an, sunnah, dan akal. Termasuk kedalam sunnah adalah sunnah al-bait, yakni para Imam yang terjaga dari dosa. Mereka tidak mau menjadikan dalil pada hadist-hadist yang diriwayatkan para sahabat yang memusuhi ahlul bait.
b.      Dalam memahami Al-Qur’an, madzhab ja’fari tidak selalu berpegang pada makna lahirnya, tetapi juga makna batin Al-Qur’an. Makna batin ini hanya bias diungkapkan oleh para Imam kaum syi’ah.
c.       Ijma’ adalah consensus ulama dari suatu madzhab dikalangan umat. Ijma’ hanya dipandang sebagai penjelas suatu hadist, bukan argument yang mandiri.
d.      Istihsan tidak dipergunakan. Qiyas hanya dipergunakan bila illat-nya terdapat dalam teks sumber hukum. Pada hal yang tidak terdapat ketentuan teks sumber hukumnya, digunakan akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu.
e.       Al-Qur’an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan agama. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan jawaban-jawaban umum untuk maslah maslah yang khusus dari Al-Qur’an. Karena Nabi Muhammad SAW dan para Imam adalah orang yang mengetahui rahasia Al-Qur’an, maka penafsiran Al-Qur’an yang paling abash adalah berasal dari mereka.
Berkenaan dengan akal, madzhab ja’fari memandangnya tidak dapat dipisahkan dengan wahyu. Artinya hukum apapun yang ditetapkan oleh akal juga ditetapkan oleh syariat. Dengan hal ini, manusia akan mengetahui hal yang baik, maka ia wajib melaksanakan. Meski mengakui peranan akal madzhab ja’fari menolak qiyas dan istihsan.
2.      Pemikiran hukum madzhab Hanafi
Madzhab hanafi merupakan madzhab yang pertama kali muncul dari kalangan sunni yang dikembangkan oleh Imam abu hanifah. Metode pemikirannya tetap mencerminkan rasionalitas. Namun demikian, ia memposisikan Al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai sumber hukum utama. Rasionalitas Imam abu hanifah tampak pada penyelesaian hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan as-sunnah. Dengan kemampuannya ini, Imam abu hanifah dinilai sebagai orang yang mampu memecahkan maslah hukum secara mandiri (mujtahid mustaqil). Pemikiran hukumnya adalah sebagai berikut:[7]
a.       Al-quran adalah sumber segala ketentuan sariah Yang dijadikan rujukan dalam proses analogis atau legislasi terhadap berbagai metode kajian hukum yang dirumuskan.
b.      Al-sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah al-quran yang berperan sbagai penjelas terhadap berbagai ketentuan hukum dari al-quran yang masih belum jelas maksudnya.
c.       Pendapat sahabat memperoleh posisi yang kuat, karena mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Nabi saw pada generasi sesudahnya. Dengan demikian, pengetahuan dan pernyataan keagamaan merka lebih dekat pada kebenaran,sebab mereka belajar dan kontak langsung dengan sumber kebenaran tersebut. Lebih dari itu, pernyataan sahabat itu bisa jadi pernyataan Nabi, hanya saja mereka kurang yakin dan tidak mau sesuatu dalam keraguan, sehingga khawatir terjebak dalam kedustaan. Ketetapan sahabat itu ada dua bentuk, yaitu ketentuan hukum yang ditetapkan dalam bentuk ijma’ dan ketentuan yang ditetapkan dalam bentuk qiyas.
d.      Qiyas dilakukan bila Al-Qur’an dan as-sunnah tidak menyatakan secara eksplisit tentang ketentuan hukum bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya.
e.       Istihsan diajukan apabila hasil qiyas itu terlihat kurang sesuai dengan kebutuhan social dilihat dari sisi kebaikan umumnya.
f.       Urf atau tradisi masyarakat sejauh tidak bertentangan dengan sumber hukum serta sejalan dengan semangat syari’ah.
Disamping metode pemikiran hukum islam, abu hanifah juga merumuskan beberapa kaidah-kaidah hukum, diantara lain:
a.       Kepastian penunjukkan makna umum serupa dengan kepastian penunjukan makna yang khusus.
b.      Pengkhususan (takhsis) dilakukan apabila pendapat seorang shabat berbeda dengan dalil umum.
c.       Banyak orang yang meriwayatkan hadist bukan berarti menunjukkan bahwa riwayat tersebut unggul (rajih)
d.      Tidak boleh mengambil kesimpulan hukum dari syarat atau sifat yang ada dalam sebuah teks dalil.
e.       Tidak boleh menerima hadist dari seorang perawi (khabar ahad) yang memuat larangan atau keharusan tertentu, sedangkan situasi dan kondisi realita memaksa untuk melanggarnya.
f.       Menunjukkan makna perintah kepada wajib secara pasti diambil jika tidak ada factor lain yang memalingkannya.
g.      Jika perawi hukum adalah seorang yang faqih (memiliki kedaaman dalam ilmu fiqih), namun perilakunya bertentangan dengan hadist yang diriwayatkannya, maka yang dijadikan pegangan adlah perilaku hukumnya, bukan riwayat yang disampaikannya.
h.      Mendahulukan qiyas daripada khabar ahad yang bertentangan dengannya.
i.        Boleh mengambil hukum melalui istihsan dan meninggalkan Qiyas Jika Situasi Mendesak Untuk Melakukannya.
3.      Pemikiran Hukum Madzhab Maliki
Imam malik bin anas atau disebut dengan Imam malik adlah pendiri madzhab maliki. Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, pemikiran huku, islam Imam malik cenderung mengutamakan riwayat, yakni mengedepankan hadist dan fatwa sahabat.
Dalam hal ini, pemikiran Imam malik tentang maslahah mursalah (kebaikan yang tidak ditetapkan dalam sumber hukum islam) mengemukakan. Secara sistematis, pola pemikiran hukum islam Imam malik dapat dikemukakan sebagai berikut:[8]
a.       Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan berada diatas yang lainnya.
b.      As-sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, karena fungsinya adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an serta menetapkan hukum tersendiri.
c.       Tradisi masyarakat madinah adalah sejumlah norma adat yang ditaati seluruh masyarakat kota ini. Oleh sebab itu, tradisi tersebut dijadikan ijma’ masyarakat madinah.
d.      Ijma’ seluruh pakar hukum islamdan pakar lainnya yang berkaitan dengan maslah umat.
e.       Fatwa sahabat yang dipandang oleh Imam malik sebagai hadist. Namun, hadist seperti ini lemah, karena sanadnya berhenti pada sahabat.
f.       Qiyas Imam malik mencakup tiga hal, yang pertama, menyamakan hukum kasus dengan sumber hukum karena terdapat alas an yang sama (qiyas istilahi). Kedua, menguatkan hukum yang dikehendaki kebaikan hukum individu atas hukum yang dimunculkan oleh qiyas (istihsan istilahi). Yang ketiga, kebaikan umum tidak ditegaskan oleh sumber hukum, namun diambil oleh sumber hukum untuk menghindari kesulitan (maslahah al-mursalah).
g.      Al-maslahah al-mursalah menetapkan hukum untuk kasus hukum dengan mempertimbangkan tujuan syari’ah.
h.      Istihsan menurut Imam malik adalah menetapkan hukum berdasarkan kebaikan umum bila tidak ditemukan jawabannya dalam sumber hukum.
i.        Sad al-dzari’ah (menutup sarana kerusakan) adalah menutup sarana atau jalan maksiat atau menimbulkan kerusakan.
4.      Pemikiran Hukum Madzhab Syafi’i
Muhammad bin idris bin abbas bin usman bin syafi’ yang dikenal dengan Imam Syafi’i adalah pendiri madzhab Syafi’i. menurut hasil kajiannya, Imam Syafi’i menemukan kelemahan fiqih Iraq dan fiqih hijaz. Tanggapan terhadap fiqih hijaz, trutama pemikiran Imam malik dituangkan dalam karyanya “Khilaf Malik” (sanggahan terhadap Imam Malik). Sanggahan terhadap fiqih Iraq dikemukakan dalam karyanya “Khilaf Al-Iraqqin”.
Pemikiran hukum islam Imam Syafi’i secara ringkas adalah sebagai berikut:[9]
a.       Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang paling utama.
b.      As-Sunnah merupakan sumber hukum yang kedua, sebagai penyempurna dan penjelas Al-Qur’an, serta menetapkan hukum yang tidak dikemukakan Al-Qur’an.
c.       Al-ijma’ merupakan kesepakatan seluruh ulama yang ada di negeri itu.
d.      Perkataan sahabat harus didahulukan dari kajian akal mujtahid, karena para sahabat itu lebih pintar, lebih taqwa, dan lebih shaleh.
e.       Qiyas untuk kasus-kasus hukum yang belum diputuskan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an, as-sunnah, al-ijma’, serta belum pernah difatwakan oleh para sahabat.
f.       Istishab yakni memberlakukan hukum ashal sebelum ada hukum baru yang mengubahnya.
5.      Pemikiran Hukum Madzhab Hambali 
Imam Ahmad adalah tokoh pendiri madzhab hambali, nama aslinya adalah Imam Ahmad bin Muhammad bin hambal bin hilal. Imam Ahmad mulai memberikan fatwa ketika menginjak umur 40 tahun. Pemikiran Imam Ahmad dibidang hukum islam adalah sebagai berikut:[10]
a.       Al-Qur’an dan as-sunnah lebih diutamakan daripada perkataan sahabat Nabi termasuk pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum tersebut.
b.      Pemahaman sahabat Nabi diterima selama tidak terbantah oleh pendapat shabat lainnya.
c.       Hadist mursal dijadikan sebagai rujukan dalam penyelesaian kasus hukum, karena hadist mursal tergolong hadist yang lemah yang dlam hal ini Imam hambal meninggalkan pendapat Imam Syafi’i.
d.      Fatwa murid sahabat Nabi juga diakui oleh Imam Ahmad
e.       Qiyas diambil dalam keadaan terpaksa yakni semua rujukan diatas tidak menyatakan langsung tentang ketentuan-ketentuan hukum atas persoalan yang dihadapinya.
6.      Pemikiran Hukum Madzhab Dzahiri
Madzhab Dzahiri dipelopori oleh Imam Daud Bin Ali Al-Ashfahani. Imam Daud pada mulanya penganut fanatik madzhab Syafi’i, meskipun ayahnya penganut Madzhab Hanafi. Imam Daud mengemukakan pemikirannya yang lebih menekan pada pemahaman literalis. Ia berharap agar pemikirannya bisa dipraktekkan dalam kehidupan manusia. Secara garis besar, pemikiran Imam Daud dapat dikemukakan sebagai berikut:[11]
a.       Al-Qur’an dan As-Sunnah tetap menjadi rujukan dan sumber hukum pertama.
b.      Ijma’ sahabat Nabi bisa diambil berdasarkan hukum yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada sahabatnya.
c.       Qiyas tidak diterima karena terkait dengan penalaran.
Selain pemikiran diatas, Imam Daud juga tidak setuju dengan sikap taqlid, menurutnya, setiap muslim harus bisa berfikir sendiri setidaknya jika tidak mengerti ia harus bertanya kepada orang yang telah memahami. Tidak hanya itu, pendapat yang menjadi jawaban harus mengandung dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pendapat yang tidak ada dalil tidak boleh diikuti.
BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Dilihat dari segi keberadaanya, dalil dapat menjadi Sumber hukum islamdi antaranya:
1.      Al-qur’an
2.      As-sunnah
3.      Ijma’
4.      Qiyas
5.      Istislah
6.      Istishab
7.      Urf’
8.      Sad al-dzariah
9.      Syar’u man qablana
10.  Madzab shahabi
Dalam mengkaji hukum islam islam memiliki beberapa teori hukum islam diantaranya:
1.      Teori istimbath
2.      Teori istidlal
3.      Teori kompilasi
4.      Teori taqnin
Dalam segi pemikirannya islam memiliki beberapa pemikiran hukum islamyang dapat diakui:
1.      Imam ja’fari
2.      Imam hanafi
3.      Imam maliki
4.      Imam syafi’i
5.      Imam hambali
6.      Imam dzohiri
B.       Saran
Tiada gading yang tak retak karena sesungguhnya semua kesempurnaan itu hanya milik allah semata dan seluruh kekurangan itu semua berasal dari kami. kritik dan saran sangat diprlukan untuk lebih baik kedepanya.


C.                 
Daftar Pustaka

Mahmassan. Subhi, 1981, Filsafat Hukum dalam Islam, Bandung: al-Ma’arif
Daud, Ali Mohammad. 1999, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, 2006, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia Bogor : Ghalia
Khalaf, Abdul Wahab, 2005,  Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana
al Qatthan, Manna’, 2001, Tarikh at Tasyri’ al Islamiy, Kairo: Maktabah wahbah









[1] Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1981)  hl. 22
[2] Ali Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999) hl.39
[3] A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia  (Bogor : Ghalia, 2006) hlm. 1
[4] Ali Mohammad, Hukum Islam Pengantar, hl.54
[5] A. Rahmad Rosyadi dan Rais, Formalisasi Syariat Islam, hl.67
[6] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2005), hl. 25
[7] Manna’ al Qatthan, Tarikh at Tasyri’ al Islamiy, (Kairo: Maktabah wahbah, 2001), hl. 12
[8] A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam, hl.103
[9] Abdul Wahab, ushul fiqih, hl.45
[10] Abdul Wahab, ushul fiqih, hl.68
[11] Manna’ al Qatthan, Op.cit, hl. 72

0 komentar:

Posting Komentar