![]() |
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Islam
adalah agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad SAW untuk disampaikan kepada
seluruh umat manusia. Proses turunnya wahyu dimulai ketika Nabi Muhamad berada
di gua hira dan berproses selama 23 tahun. Terkadang Nabi Muhamad SAW
menjelaskan maksud dari ayat-ayat tersebut tapi terkadang juga tidak, kecuali
jika para sahabat bertanya kepadanya. ketika terjadi perselisihan diantara para
sahabat dalam memahami isi kandungan al-Quran Nabi Muhamad SAW segera
menyelesaikan segala permasalahan itu sehinnga perselisihan yang muncul dapat
terselesaikan dengan baik.
Setelah
Nabi Muhamad wafat dan islam mulai melakukan kontak dengan dunia luar, kemudian
melahirkan keragaman pemahaman dibeberapa bidang, yang paling utama dan pertama
adalah masalah kepemimpinan (Imamah).berawal
dari masalah kepemimpinan itu, perbedaaan paham berkembang kewilayah teologi
dan berlanjut kewilayah yang lebih luas sehingga menghasilkan
pemikiran-pemikiran dan teori-teori yang baru untuk menyelesaikan suatu masalah.
B. Rumusan Masalah.
1.
Apa saja sumber hukum islam?
2.
Apa saja teori dalam hukum islam?
3.
Bagaimana pemikiran madzhab Jafari
madzhab Hanafi madzhab Maliki madzhab Syafi’i madzhab Hambali madzhab Dhohiri
dalam hukum islam?
C. Tujuan dan Manfaat.
1.
Untuk mengetahui sumber hukum islam.
2.
Untuk mengetahui teori dalam hukum
islam.
3.
Untuk mengetahui pemikiran madzhab
Jafari madzhab Hanafi madzhab Maliki madzhab Syafi’i madzhab Hambali madzhab
Dhohiri dalam hukum islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sumber Hukum Islam
Dilihat dari segi
keberadaanya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil yang keberadaanya terdapat dalam teks suci (adilah al-Ahkam al-Manshushah)
dalil-dalil yamg masuk kategori ini adalah al-Quran dan sunnah. Dalil ini juga
disebut dengan dalil naqli. Kedua dalil-dalil
hukum yang keberadaanya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan disusun
melalui analisis pemikiran (adilah
al-Ahkam ghair al-Mahshushah) dalil ini disebut dengan dalil aqli
perdasarkan pengertian ini, para ulama sebelas dalil tersebut sebagai landasan
penempatan hukum:[1]
a.
Al-Quran
Secara bahasa, al-Quran dari kata qara’a yang berati
“bacaan” atau “apa yang tertulis padanya” secara istilah al-Quran dapat di
definisikan sebagai kalam allah yang mengandung mujizat, dan diturunkan kepada
rosullulah, muhamad SAW dalam bahasa yang dinukilkan sesudahnya secara
mutawatir, membacanya dinilai ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-nass.
Kaum muslimin telah sepakat menerima keauntetikan
al-Quran. Oleh sebab itu al-Quran dipandang sebagai qathi al-Tsubut (riwayatnya dapat diterima secara pasti). Dari
prinsip ini, segenap kaum muslimin sepakat menerima al-Quran sebagai dalil atau
sumber hukum yang paling asasi. al-Quran sendiri memerintahkan agar menetapkan hukum
atas hukum allah yang termaktub didalamnya.
b.
Sunnah
Menurut bahasa sunnah berati “jalan yang bisa
dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan” apakah cara itu baik atau buruk.
Arti ini ditemukan berdasarkan sabda Nabi :
Artinya:”barang
siapa yang membiasakan sesuatu yang baik didalam islam, maka ia menerim
pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya”. Secara
istilah sunnah adalah segala yang diriwayatkan Nabi, baik berupa, perkataan,
Perbuatan, mauoun tetetapan yang berkaitan dengan sifatnya yang berkaitan dengan
hukum. Kaum muslimin juga sepakat bahwa kedudukan sunnah sebagai sumber hukum
islam. Hanya ada segelintir kau khawarij yang tidak memandang sunnah sebagai dalil
atau sumber hukum. Pandangan ini menimbulkan kaum ingkar sunnah. Selain itu,
terdapat pula perbedaan pandangan cara memandang sunnah menurut ulama Sunni dan
ulama Syi’ah Imamiyah. Bagi ulama Sunni, sunnah adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir (diamnya Nabi).
Terdapat suatu tindakan yang berkaitan tentang hukum syariah yang praktis (tasri al-Ahkam al-Amaliyah). Menurut ulama Syi’ah Imamiyah sunnah bukan
ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi saja, tetapi juga termasuk ucapan,
perbuatan, dan taqrir para Imam Syi’ah Imamiyah.
c.
Ijma
Menurut bahasa ijma
berati kesepakatan atau konsesus seperti dalam surat yusuf ayat 25:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ
يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ
بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ(١٥)
terjemahnya: “Maka tatkala mereka membawanya dan
sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia) dan (di waktu
dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf ‘Sesungguhnya kamu akan
menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat
lagi.” (QS.Yusuf : 15)
Menurut Wahab bin Khalaf ijma adalah konsesus para
mujtahid dari kalangan Nabi setelah wafatnya beliau pada suatu masa terdapat
suatu hukum syara.
Ijma dapat menjadi sumber hukum islam sepanjang
rukun-rukunya terpenuhi. Oleh sebab itu ijma tttiiidak boleh diingkari. Orang
yang mengingkarinya dihukumi kafir. Disamping itu, permasalahan yang telah
ditetapkan hukum melalui ijma tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama
generasi berikutnya. Untuk masa kini ijma sulit terwujud, mengingat luasnya
wilayah dunia islam, sehingga sulit mengumpulkan segenap mujtahid. Hal ini
berbeda pada masa sahabat Nabi SAW yang memungkinkan terwujudnya ijma’. Saat
itu, umat islam belum tersebar secara luas serta sahabat yang memiliki
kemampuan ijtihad juga tidak banyak.
Ijma’ terbagi dalam dua bentuk, yaitu ijma’ sharih
dan ijma’ sukuti. Ijma’ sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui
pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Sedangkan
ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada suatu masa tentang hukum
suatu masalah yang tersebar luas, sementara sebagian mujtahid lainnya hanya
diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan diatas, tanpa ada
yang menolak pendapat tersebut.
d.
Qiyas
Arti
qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan
atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Menurut Wahbah al-Zuhaili definisi
qiyas adalah yang artinya “Menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya
dalama nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya dalam nash, disebabkan
kesatuan illat hukum antar keduanya”.
Qiyas
memiliki empat rukun yaitu ashl
(wadah hukum yang diterapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada
ashl) hukm ashl (hukum yang telah
ditentukan).
Sebagai
ijma’ status qiyas sebagai dalil hukum disepakati ulama sunni dan syi’ah
zaidiyah. Adapun ulama syi’ah al-Nasam, syi’ah zahiriyah dan ulama’ mu’tazilah
Iraq menolak qiyas dikalangan ulama’ sunni, qiyas diterapkan secara berbeda. Imam
Abu Hanifah paling banyak memakai qiyas. Setelah itu, Imam Syafi’i, Imam
Maliki, lalu Imam Hambali.
e.
Istihsan
Dari segi bahasa istihsan berarti “menganggap atau
memandang baik pada sesuatu” dari segi istilah, istihsan ialah meninggalkan
qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat darinya karena terdapat dalil atau alas
an yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia. Para
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu dalil.
Menurut ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan sebagian ulama Hambali, istihsan
merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum islam. Sementara itu, ulama
madzhab Syafi’i, Dzohiri, Syi’ah, dan Mu’tazilah tidak menerima istihsan
sebagai salah satu dalil. Imam Syafi’i berkata”barag siapa yang menggunakan
istihsan adalah mengikuti hawa nafsu yang membawa kesesatan”. Ulama madzhab
hanafi membagi istihsan menjadi eman macam yaitu istihsan berdasarkan ayat atau
hadis, istihsan berdasarkan ijma, istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi,
istihsan berdasarkan kemaslahatan, istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang
berlaku umum, dan istihsan berdasarkan keadaan darurat.
f.
Istishlah
Istilah lain dari istishlah adalah maslahah
mursalah. Menurut bahasa berate baik istihlah didefinisikan sebagai suatu
upaya penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan atau kebaikan. Kebaikan
ini tidak ditunjukan secara tegas dalam al-Quran, sunnah, maupun ijma’. Namun
kebaikan ini juga tidak bertentangangan dengan maksud syariah. Madzhab maliki
menggunakanyadh sebagai dalil, madzhad
zahiri, madzhab syiah dan sebagai kaum mutazilah menolaknya penggunaan istislah harus memenuhi
beberapa persyaatan antara lain: bukan diukur dengan dugaan semata sifatnya
umum, bukan bersifat perorangan (subyektif) tidak bertentangan dengan
dalil-dalil syara yang lain, serta diamalkan dalam kondisi yang memerlukan.
g.
Istishhab
Menurut bahasa berate minta bersahabat atau
membandinggkan sesuatu dengan mendekatkannya. Definisi istishhab ialah
melestarikan sesuatu ketentuan hukum yang telah ada pada masa lalu, hinnga ada
dalil yang mengubahnya. Maksudnya, apabila dalam kasus telah ada hukumnya dan
tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut maka hukum yang
telah ada dimasa lampau itu tetap berlaku sebagai mana adanya secara terminology, ada beberapa definisi
yang dikemukakan para ulama ushul fiqih. Imam al ghozali memberi definisi
istishab dengan istislah itu berpegang pada dalil akar atau syara , bukan
didasarkan karena tidak mengetahui adnya dalil, tetapi setelah dilakukan
pembahasan dan peneletian dengan cermat, diketahui tidak ada dalil yang
mengubah hukum yang telah ada.
Ulama madzhab maliki, syafii, hambali, dzahiri, dan
syiah memandang istishhab dapat dijadikan dalil hukum secara mutlaq. Para ulama
menolak istishhab adalah ulama madzhab Hanafi karena istishhab hanya dapat
diterapkan untuk melestarikan hukum yang telah ada pada masa lalu, tetapi tidak
dapat diberlakukan pada hukum baru yang belum ada sebelumnya.
h.
Urf
Menurut bahasa urf berarti yang kenal. Definisi urf
adalah sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional. Lebih lengkapnya, urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh
manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik secara perkataan,
perbuatan, atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.
Urf dibagi menjadi dua macam yakni urf shahih dan
urf fasid. Urf shahih adalah tradisi yang tidak berlawanan dengan dalil syara’
serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. Urf
fasid adalah tradisi yang berlawanan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram
dan menggugurkan kewajiban. Ulama madzhab Syafi’i tidak memperbolehkan berhujjah
dengannya jika bertentangan dengan dalil syara’ atau tidak ditunjuki oleh dalil
syara’. Ulama madzhab hanafi dan maliki menjadikan urf sebagai dalil hukum yang
mandiri dalam masalah yang tidak ada dalilnya dan tidak ada larangan syara’
terhadapnya. Ulama syiah menerima urf dan memandangnya sebagai dalil hukum yang
tidak mandiri tetapi harus terkait dengan dalil lain yakni sunnah.
i.
Sadd
al-Dzari’ah
Secara bahasa sadd berarti penutup dan dzari’ah
berarti jalan yang menuju kepada sesuatu atau sesuatu yang membawa kepada
sesuatu yang dilarang dan mengandung kemadzaratan. Sad al-dzari’ah berarti juga
dapat diarikan sebagai penutup sesuatu yang menjadi sarana yang diharamkan atau
dihalalkan. Imam malik dan Imam Ahmad Bin Hambal menerima sad al-dzari’ah sebagai salah satu dari dalil hukum, sedangkan
madzhab dzohiri menolaknya. Imam Syafi’i dan Imam hanafi dan madzhab syi’ah
menerapkan sad al-dzari’ah pada kondisi tertentu.
j.
Syar’u
Man Qablana
Syar’u man qablana berarti syariat umat sebelum
islam. Dalam hal ini, terdapat syariat sebelum islam yang telah dibatalkan oleh
syari’at islam dan adapula yang masih tetap diberlakukan. Persoalannya adalah
apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum islam menjadi hukum juga bagi
umat islam. Dalam hal ini ulama aliran asy’ariyah, mu’tazilah, dan syi’ah tidak
sepakat dengan hal tersebut.
k.
Madzhab
Shahabi
Madzhab shahabi adalah pendapat para sahabat Nabi
tentang suatu kasus yang dikutip oleh para ulama baik berupa fatwa atau
ketetapan hukum. Sementara itu Al-Qur’an dan as-sunnah tidak menjelaskan hukum
tersebut. Disamping itu tidak ditemukan kesepakatan pasa sahabat yang
menetapkan hukum tersebut. Persoalannya apabila sahabat meriwayatkan dengan
jalur yang shahih apakah wajib diterima, diamalkan, dan dijadikan dalil. Dalam
hal ini, para ulama berbeda pendapat. Pertama, pendapat sahabat tidak dapat
dijadikan dalil hukum, menurut ulama asy’ariyah dan mu’tazilah serta ulama Syafi’i.
kedua, pendapat shabat Nabi dapat dijadikan dalil hukum dan didahulukan dari
qiyas, seperti yang diungkapkan oleh ulama hanafi, ulama maliki, ulama hambali,
serta pendapat awal (qaul qadim dari Imam Syafi’i). ketiga, madzhab sahabat
dijadikan dalil hukum bila dikuatkan oleh qiyas menurut Imam Syafi’i pada qaul
akhir (qaul jadid). Keempat, madzhab sahabat dijadikan dalil hukum bila
bertentangan dengan qiyas. Pertentangan ini menunjukkan bahwa pendapat yang
diambil tidak bersumber dari qiyas, melainkan dari sunnah menurut ulama hanafi.
B. Teori Dalam Hukum Islam
1.
Istinbath
Dari
segi bahasa, kata istinbath berasal dari kata dasar nabatha yang berarti “air yang mula-mula keluar dari sumur yang
digali”. Kata ini mendapatkan tambahan 3 huruf, sin, tha’, dan alif. Sehingga
menjadi istinbatha. Kata bentukan ini memiliki arti sumber tempat air
tersembunyi. Setelah dipakai sebagai istilah berarti upaya mengeluarkan hukum
dari sumbernya. Fokus istinbath adalah teks suci, ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadist-hadist Nabi. Oleh karena itu, usaha pemahaman, penggalian, dan perumusan
hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.
Konstruksi hukum dengan analisia tata bahasa.
Maksud analisa tata bahasa adalah memahami, bahasa teks
yang tampak. Teks ini bisa diucapkan, bisa ditulis, dan dipahami pengertiannya.
Sasaran kajiannya teks ini adalah ayat-ayat al Quran dan sunah Nabi yang
termaktub dalam kitab kitab dan hadis. Dilihat dari cakupannya, ada pernyataan
hukum yang bersifat khusus(khas). Pernyataan umum sesuai dengan makna kata yang
digunakan. Kata yang bermakna umum memiliki tanda tersendiri antara lain kul
(setiap) jama (banyak) atau (seluruh).
Perintah dan larangan allah (azzaa wa’jalla) juga maha bijak,
karena keduanya difirmankan melalui utusan yang kemudian dicatat dan ditulis
dalam bentuk teks bahasa arab. Dalam teks al Quran, perintah allah azzaa
wajalla memiliki ragam redaksi:[2]
a.
Menggunakan
pernyataan memerintahkan atau pernyataan semakna dengannya.
b.
Perintah
dengan pernyataan diwajibkan atau ditetapkan.
c.
Perintah
dengan pernyataan berita yang mengandung maksud perintah.
d.
Perintah
dengan memakai kata perintah secara langsung.
e.
Perintah
dengan menggunakan kata kerja yang memiliki perintah.
f.
Perintah
dalam bentuk perjanjian kebaikan yang banyak atas pelakunnya.
Setidaknnya ada tujuh bentuk redaksi yang mengindikasikan
larangan:
a.
Larangan
secara tegas dengan memakai pernyataan melarang atau pernyataan yang semakna.
b.
Larangan
dengan pernyataan haram.
c.
Larangan
dengan pernyataan tidak halal.
d.
Larangan
yang disertai kata kerja yang disertai tanda larangan.
e.
Larangan
dengan kata perintah untuk meninggalkan.
f.
Larangan
dengan ancaman siksaan terhadap pelakunnya.
g.
Larangan
dengan menilai buruk terhadap suatu perbuatan.
Ada empat untuk teknik analisa menggali hukum melalui
makna suatu pernyataan:
1.
Analisa
makna terjemah (ibarah al-nash).
2.
Analisa pengembangan makna (dilalah al-nash)
3.
Analisa kata kunci dari suatu pernyataan (isyarah
al-nah).
4.
Analisa
relevansi makna (iqtidha’ al nash).
2. Istidlal
Secara
bahasa, kata istidlal berasal dari kata istadlaa yang berarti minta petunjuk,
memperoleh dalil, menarik kesimpulan Imam al dimatyhi memberikan arti istidlal
secara umum yaitu mencari dalil untuk menggapai tujuan yang diminta. Dalam
proses pencarian, mula-mula al Qur’an menjadi rujukan pertama. Jika tidak
ditemukan jawaban didalamnnya, maka al sunnah menjadi alternatif kedua. Jika
sama tidak ditemukan jawabannya maka ijma’ menjadi pilihannya, lalu Qiyas
pilihan berikutnnya. Menurut bahasa kata dalil, mengandung beberapa makna,
yakni petunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi, bukti dan saksi,
ringkasan dalil berarti petunjuk kepada
sesuatu, baik yang material maupun yang non material. Menurut kebiasaan
pakar studi hukum islam arti istidlal adalah sesuatu yang mengandung petunjuk
(dalalah) dan bingbingan (irsyad).[3]
3. Kompilasi
Menurut
bahasa, kompilasi berasal dari bahasa latin: “compilare”, yangg berarti
mengumpulkan bersama-sama. Dalam bahasa inggris kata ini menjadi “compilation”
yang berarti suatu kumpulan atau himpunan. Dari pemahaman bahasa ini, defisi
kompilasi dapat dikemukakan, yaitu proses kegiatan pengumpulan berbagai bahan
dan data yang diambil dari berbagai sumber buku sesuai dengan kebutuhan untuk
disusun kembali kedalam sebuah buku baru yang lebih teratur dan sistematis.
Dalam
ilmu hukum, kompilasi digunakan dalam wilayah hukum islam. Dalam hukum islam,
terdapat aneka pendapat tentang suatu masalah yang berada dalam koridor
Syari’ah. Diluar hukum islam, terkenal dengan istilah kodifikasi, yakni
menghimpun peraturan perundang-undangan tentang bidang tertentu dalam satu
buku. Contoh kodifikasi adalah kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP).
Perbedaan utama antara kompilasi dan kodifikasi adalah terletak pada kekuatan
dan kepastian hukumnya. Kodifikasi lebih kuat kedudukan hukumnya daripada
kompilasi yang hanya menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan hukum.[4]
a.) Proses
pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di indonesia.
Gagasan pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di
indonesia dilontarkan pada tahun 1985. Dan pencetusnya adalah Busthanul Arifin,
Hamik Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.
Ada pula yang menyebut Munawir Sjadzali, Mentri Agama RI.
Proyek pembentukan KHI dilaksanakan oleh dua instansi,
yaitu Mahkamah Agung dan Departemen agama. Keduanya mengangkat 16 orang sebagai
pelaksana utama: delapan orang dari MA, tujuh orang dari Departemen Agama, dan
seorang dari MUI, yakni KH Ibrahim Hosen. Pembentukan dari proyek ini adalah
mengkompilasikan aturan hukum islam yang mencakup wilayah muamalah dan
yurisdiksi pengadilan agama ke dalam tiga kitab: (a.) Kitab Perkawinan, (b)
Kitab Waris, (c) Kitab Waqaf, Shadaqoh, Hibah, dan Baitul Mal.
Pada akhirnya, hasil semua kajian dirumuskan oleh
pelaksana utama proyek KHI. Begitu rumusan KHI disepakati, maka Presiden
Soeharto menerbitkan Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991
sebagai kekuatan hukum KHI. Dengan demikian proses pembuatan KHI dimulai dari
penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Hakim Agung dam Menteri Agama tanggal
25 Maret 1985 hingga terbitnya Inpres tanggal 10 Juni 1991.
b.) Kandungan
Pokok dan Corak Kompilasi Hukum Islam Indonesia
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan dokumen paling
penting mengenai Syariat yang tersebar luas di Indonesia. Pancasila melandasi
KHI, pasal 1 dari penjelasan menyatakan:” Bagi rakyat dan bangsa Indonesia
yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, ada hak atas eksistensi suatu
hukum nasional tunggal yang akan menjamin kelangsungan kehidupan agama yang
berdasarkan kepada prinsip kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang secara
bersama-sama mewakili perwujudan kesadaran hukum komunitas dan rakyat Indonesia”.
Pasal 3 dan 4 dari memorandum penjelasan KHI menyatakan,
bahwa “Undang-undang yang dapat diaplikasikan” didasarkan kepada urutan
sumber-sumber Syariat berikut: (a) teks-teks standart dari “ madzab Syafi’i”;
(b) “teks-teks tambahan dari madzab lain”; (c) “fatwa-fatwa ulama”; dan (e)
“situasi-situasi di negara-negara lain”.
4. Legislasi
(Taqnin)
Secara
bahasa, kata “taqnin” berasal dari tiga huruf, yaitu qaf, nun, dan nun. Yang
berarti mencari kabar/berita, melihat-lihat, berada dipuncak gunung, dan memukul
dengan tongkat. Jika ketiga huruf ini dibuat menjadi kata taqnin, maka makna
yang dihasilkan adalah membuat atau menetapkan undang-undang, membatasi, dan
menjadi tengkik.
Dari
kata Taqnin juga terbentuk istilah “Qanun” yang berarti asal, pokok, pangkal
(al-ashl) dan ukuran segala sesuatu (al-miqyas).
Taqnin
atau qanun, sesungguhnya telah dikenal pada masa Nabi SAW yakni berupa piagam
Madinah. Setelah Piagam Madinah, Taqnin tidak dijumpai penerapannya hingga
muncul negara-negara demokrasi.
Dalam
negara demokrasi terdapat tiga wilayah kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif,
kekuatan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif berwenang
dalam menyetujui dan mengawasi jalannya peraturan perundang-undangan. Kekuasaan
ekskutif berwenang dalam menjalankan perundang-undangan. Kekuasaan yudikatif
berwenang dalam menegakkan dan memberi keputusan keadilan dalam pelaksanaan
peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan
ditentukan oleh persetujuan pihak legislatif, maka Taqnin diterjemahkan dengan
legislasi.
Jadi
secara terminologis, Taqnin atau Taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan
hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan
masalah hukum sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya
dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas.[5]
C. Pemikiran Hukum Islam
1. Pemikiran Hukum Madzhab Ja’fari
Madzhab ja’fari
dikembangkan oleh Imam ja’far al-shadiq bin Muhammad al-baqir. Selain ilmu-ilmu
agama, Imam ja’far juga pakar dalam ilmu-ilmu sains alam, fisika, kimia,
botani, astronomi, farmasi, dan kedokteran. Imam ja’far mengalami pemerintahan
dinasti umayyah dan dinasti abbasiyah. Kedua dinasti ini tidak menyukai
kelompok syi’ah. Sebagai orang yang dianggap salah satu Imam syi’ah (Imam
keenam), Imam ja’far kurang perhatian dengan kehidupan politik. Ia lebih
memilih terjun dalam dunia ilmu.
Ciri-ciri tradisionalisme dari
aliran syi’ah terlihat dalam pemikiran hukum islam Imam ja’far. Dalam hal ini,
sumber hukumnya adalah Al-Qur’an dan as-sunnah, serta pemikiran Imam ja’far
sendiri yang berpijak pada kebaikan umum (maslahah). Imam ja’far menganggap
qiyas sebagai tradisi iblis. Dia berargumentasi bahwa iblis membandingkan
dirinya dengan Nabi Adam AS seperti yang terlihat pada ayat 76 Surat Ash-shad:
قَالَ
أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
terjemahnya:
Iblis berkata: "Aku lebih baik
daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan
dari tanah".(Qs. As-shad: 76
Diantara karakteristik
khas dari madzhab ja’fari, selain menolak qiyas, adalah sebagai berikut:[6]
a.
Sumber hukum islam adalah Al-Qur’an,
sunnah, dan akal. Termasuk kedalam sunnah adalah sunnah al-bait, yakni para Imam
yang terjaga dari dosa. Mereka tidak mau menjadikan dalil pada hadist-hadist
yang diriwayatkan para sahabat yang memusuhi ahlul bait.
b.
Dalam memahami Al-Qur’an, madzhab
ja’fari tidak selalu berpegang pada makna lahirnya, tetapi juga makna batin Al-Qur’an.
Makna batin ini hanya bias diungkapkan oleh para Imam kaum syi’ah.
c.
Ijma’ adalah consensus ulama dari suatu
madzhab dikalangan umat. Ijma’ hanya dipandang sebagai penjelas suatu hadist,
bukan argument yang mandiri.
d.
Istihsan tidak dipergunakan. Qiyas hanya
dipergunakan bila illat-nya terdapat dalam teks sumber hukum. Pada hal yang
tidak terdapat ketentuan teks sumber hukumnya, digunakan akal berdasarkan
kaidah-kaidah tertentu.
e.
Al-Qur’an dipandang telah lengkap
menjawab seluruh persoalan agama. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan
jawaban-jawaban umum untuk maslah maslah yang khusus dari Al-Qur’an. Karena Nabi
Muhammad SAW dan para Imam adalah orang yang mengetahui rahasia Al-Qur’an, maka
penafsiran Al-Qur’an yang paling abash adalah berasal dari mereka.
Berkenaan dengan
akal, madzhab ja’fari memandangnya tidak dapat dipisahkan dengan wahyu. Artinya
hukum apapun yang ditetapkan oleh akal juga ditetapkan oleh syariat. Dengan hal
ini, manusia akan mengetahui hal yang baik, maka ia wajib melaksanakan. Meski
mengakui peranan akal madzhab ja’fari menolak qiyas dan istihsan.
2. Pemikiran hukum madzhab Hanafi
Madzhab hanafi
merupakan madzhab yang pertama kali muncul dari kalangan sunni yang
dikembangkan oleh Imam abu hanifah. Metode pemikirannya tetap mencerminkan
rasionalitas. Namun demikian, ia memposisikan Al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai
sumber hukum utama. Rasionalitas Imam abu hanifah tampak pada penyelesaian hukum
yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan as-sunnah. Dengan kemampuannya ini, Imam abu
hanifah dinilai sebagai orang yang mampu memecahkan maslah hukum secara mandiri
(mujtahid mustaqil). Pemikiran hukumnya adalah sebagai berikut:[7]
a.
Al-quran adalah sumber segala ketentuan
sariah Yang dijadikan rujukan dalam proses analogis atau legislasi terhadap
berbagai metode kajian hukum yang dirumuskan.
b.
Al-sunnah merupakan sumber hukum kedua
setelah al-quran yang berperan sbagai penjelas terhadap berbagai ketentuan hukum
dari al-quran yang masih belum jelas maksudnya.
c.
Pendapat sahabat memperoleh posisi yang
kuat, karena mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Nabi saw pada
generasi sesudahnya. Dengan demikian, pengetahuan dan pernyataan keagamaan
merka lebih dekat pada kebenaran,sebab mereka belajar dan kontak langsung
dengan sumber kebenaran tersebut. Lebih dari itu, pernyataan sahabat itu bisa
jadi pernyataan Nabi, hanya saja mereka kurang yakin dan tidak mau sesuatu
dalam keraguan, sehingga khawatir terjebak dalam kedustaan. Ketetapan sahabat
itu ada dua bentuk, yaitu ketentuan hukum yang ditetapkan dalam bentuk ijma’
dan ketentuan yang ditetapkan dalam bentuk qiyas.
d.
Qiyas dilakukan bila Al-Qur’an dan
as-sunnah tidak menyatakan secara eksplisit tentang ketentuan hukum bagi
persoalan-persoalan yang dihadapinya.
e.
Istihsan diajukan apabila hasil qiyas
itu terlihat kurang sesuai dengan kebutuhan social dilihat dari sisi kebaikan
umumnya.
f.
Urf atau tradisi masyarakat sejauh tidak
bertentangan dengan sumber hukum serta sejalan dengan semangat syari’ah.
Disamping metode
pemikiran hukum islam, abu hanifah juga merumuskan beberapa kaidah-kaidah hukum,
diantara lain:
a.
Kepastian penunjukkan makna umum serupa
dengan kepastian penunjukan makna yang khusus.
b.
Pengkhususan (takhsis) dilakukan apabila
pendapat seorang shabat berbeda dengan dalil umum.
c.
Banyak orang yang meriwayatkan hadist
bukan berarti menunjukkan bahwa riwayat tersebut unggul (rajih)
d.
Tidak boleh mengambil kesimpulan hukum
dari syarat atau sifat yang ada dalam sebuah teks dalil.
e.
Tidak boleh menerima hadist dari seorang
perawi (khabar ahad) yang memuat larangan atau keharusan tertentu, sedangkan
situasi dan kondisi realita memaksa untuk melanggarnya.
f.
Menunjukkan makna perintah kepada wajib
secara pasti diambil jika tidak ada factor lain yang memalingkannya.
g.
Jika perawi hukum adalah seorang yang
faqih (memiliki kedaaman dalam ilmu fiqih), namun perilakunya bertentangan
dengan hadist yang diriwayatkannya, maka yang dijadikan pegangan adlah perilaku
hukumnya, bukan riwayat yang disampaikannya.
h.
Mendahulukan qiyas daripada khabar ahad
yang bertentangan dengannya.
i.
Boleh mengambil hukum melalui istihsan
dan meninggalkan Qiyas Jika Situasi Mendesak Untuk Melakukannya.
3. Pemikiran Hukum Madzhab Maliki
Imam malik bin
anas atau disebut dengan Imam malik adlah pendiri madzhab maliki. Berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya, pemikiran huku, islam Imam malik cenderung
mengutamakan riwayat, yakni mengedepankan hadist dan fatwa sahabat.
Dalam hal ini,
pemikiran Imam malik tentang maslahah mursalah (kebaikan yang tidak ditetapkan
dalam sumber hukum islam) mengemukakan. Secara sistematis, pola pemikiran hukum
islam Imam malik dapat dikemukakan sebagai berikut:[8]
a.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang
pertama dan berada diatas yang lainnya.
b.
As-sunnah merupakan sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an, karena fungsinya adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an
serta menetapkan hukum tersendiri.
c.
Tradisi masyarakat madinah adalah
sejumlah norma adat yang ditaati seluruh masyarakat kota ini. Oleh sebab itu,
tradisi tersebut dijadikan ijma’ masyarakat madinah.
d.
Ijma’ seluruh pakar hukum islamdan pakar
lainnya yang berkaitan dengan maslah umat.
e.
Fatwa sahabat yang dipandang oleh Imam
malik sebagai hadist. Namun, hadist seperti ini lemah, karena sanadnya berhenti
pada sahabat.
f.
Qiyas Imam malik mencakup tiga hal, yang
pertama, menyamakan hukum kasus dengan sumber hukum karena terdapat alas an
yang sama (qiyas istilahi). Kedua, menguatkan hukum yang dikehendaki kebaikan hukum
individu atas hukum yang dimunculkan oleh qiyas (istihsan istilahi). Yang
ketiga, kebaikan umum tidak ditegaskan oleh sumber hukum, namun diambil oleh
sumber hukum untuk menghindari kesulitan (maslahah al-mursalah).
g.
Al-maslahah al-mursalah menetapkan hukum
untuk kasus hukum dengan mempertimbangkan tujuan syari’ah.
h.
Istihsan menurut Imam malik adalah
menetapkan hukum berdasarkan kebaikan umum bila tidak ditemukan jawabannya
dalam sumber hukum.
i.
Sad al-dzari’ah (menutup sarana
kerusakan) adalah menutup sarana atau jalan maksiat atau menimbulkan kerusakan.
4. Pemikiran Hukum Madzhab Syafi’i
Muhammad bin idris bin
abbas bin usman bin syafi’ yang dikenal dengan Imam Syafi’i adalah pendiri
madzhab Syafi’i. menurut hasil kajiannya, Imam Syafi’i menemukan kelemahan
fiqih Iraq dan fiqih hijaz. Tanggapan terhadap fiqih hijaz, trutama pemikiran Imam
malik dituangkan dalam karyanya “Khilaf Malik” (sanggahan terhadap Imam Malik).
Sanggahan terhadap fiqih Iraq dikemukakan dalam karyanya “Khilaf Al-Iraqqin”.
Pemikiran hukum islam Imam
Syafi’i secara ringkas adalah sebagai berikut:[9]
a.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang
paling utama.
b.
As-Sunnah merupakan sumber hukum yang
kedua, sebagai penyempurna dan penjelas Al-Qur’an, serta menetapkan hukum yang
tidak dikemukakan Al-Qur’an.
c.
Al-ijma’ merupakan kesepakatan seluruh
ulama yang ada di negeri itu.
d.
Perkataan sahabat harus didahulukan dari
kajian akal mujtahid, karena para sahabat itu lebih pintar, lebih taqwa, dan
lebih shaleh.
e.
Qiyas untuk kasus-kasus hukum yang belum
diputuskan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an, as-sunnah, al-ijma’,
serta belum pernah difatwakan oleh para sahabat.
f.
Istishab yakni memberlakukan hukum ashal
sebelum ada hukum baru yang mengubahnya.
5. Pemikiran Hukum Madzhab
Hambali
Imam Ahmad adalah tokoh
pendiri madzhab hambali, nama aslinya adalah Imam Ahmad bin Muhammad bin hambal
bin hilal. Imam Ahmad mulai memberikan fatwa ketika menginjak umur 40 tahun. Pemikiran
Imam Ahmad dibidang hukum islam adalah sebagai berikut:[10]
a.
Al-Qur’an dan as-sunnah lebih diutamakan
daripada perkataan sahabat Nabi termasuk pemahaman mereka terhadap kedua sumber
hukum tersebut.
b.
Pemahaman sahabat Nabi diterima selama
tidak terbantah oleh pendapat shabat lainnya.
c.
Hadist mursal dijadikan sebagai rujukan
dalam penyelesaian kasus hukum, karena hadist mursal tergolong hadist yang
lemah yang dlam hal ini Imam hambal meninggalkan pendapat Imam Syafi’i.
d.
Fatwa murid sahabat Nabi juga diakui
oleh Imam Ahmad
e.
Qiyas diambil dalam keadaan terpaksa
yakni semua rujukan diatas tidak menyatakan langsung tentang
ketentuan-ketentuan hukum atas persoalan yang dihadapinya.
6. Pemikiran Hukum Madzhab Dzahiri
Madzhab Dzahiri
dipelopori oleh Imam Daud Bin Ali Al-Ashfahani. Imam Daud pada mulanya penganut
fanatik madzhab Syafi’i, meskipun ayahnya penganut Madzhab Hanafi. Imam Daud
mengemukakan pemikirannya yang lebih menekan pada pemahaman literalis. Ia
berharap agar pemikirannya bisa dipraktekkan dalam kehidupan manusia. Secara
garis besar, pemikiran Imam Daud dapat dikemukakan sebagai berikut:[11]
a.
Al-Qur’an dan As-Sunnah tetap menjadi
rujukan dan sumber hukum pertama.
b.
Ijma’ sahabat Nabi bisa diambil
berdasarkan hukum yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan
kepada sahabatnya.
c.
Qiyas tidak diterima karena terkait
dengan penalaran.
Selain pemikiran
diatas, Imam Daud juga tidak setuju dengan sikap taqlid, menurutnya, setiap
muslim harus bisa berfikir sendiri setidaknya jika tidak mengerti ia harus
bertanya kepada orang yang telah memahami. Tidak hanya itu, pendapat yang
menjadi jawaban harus mengandung dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pendapat
yang tidak ada dalil tidak boleh diikuti.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dilihat
dari segi keberadaanya, dalil dapat menjadi Sumber hukum islamdi antaranya:
1.
Al-qur’an
2.
As-sunnah
3.
Ijma’
4.
Qiyas
5.
Istislah
6.
Istishab
7.
Urf’
8.
Sad al-dzariah
9.
Syar’u man qablana
10. Madzab
shahabi
Dalam
mengkaji hukum islam islam memiliki beberapa teori hukum islam diantaranya:
1.
Teori istimbath
2.
Teori istidlal
3.
Teori kompilasi
4.
Teori taqnin
Dalam
segi pemikirannya islam memiliki beberapa pemikiran hukum islamyang dapat
diakui:
1.
Imam ja’fari
2.
Imam hanafi
3.
Imam maliki
4.
Imam syafi’i
5.
Imam hambali
6.
Imam dzohiri
B. Saran
Tiada
gading yang tak retak karena sesungguhnya semua kesempurnaan itu hanya milik
allah semata dan seluruh kekurangan itu semua berasal dari kami. kritik dan
saran sangat diprlukan untuk lebih baik kedepanya.
C.
Daftar
Pustaka
Mahmassan. Subhi, 1981,
Filsafat Hukum dalam Islam, Bandung:
al-Ma’arif
Daud, Ali Mohammad.
1999, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
A. Rahmad Rosyadi dan
Rais Ahmad, 2006, Formalisasi
Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia Bogor : Ghalia
Khalaf, Abdul Wahab,
2005, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana
al Qatthan, Manna’, 2001,
Tarikh at Tasyri’ al Islamiy, Kairo:
Maktabah wahbah
[1] Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung:
al-Ma’arif, 1981) hl. 22
[2] Ali Mohammad Daud. Hukum
Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1999) hl.39
[3] A. Rahmad Rosyadi dan Rais
Ahmad, Formalisasi Syariat Islam
dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia (Bogor : Ghalia, 2006)
hlm. 1
[4] Ali Mohammad, Hukum Islam
Pengantar, hl.54
[5] A. Rahmad Rosyadi dan Rais, Formalisasi Syariat Islam, hl.67
[6] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana,
2005), hl. 25
[7] Manna’ al Qatthan, Tarikh at Tasyri’ al Islamiy, (Kairo:
Maktabah wahbah, 2001), hl. 12
[8] A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam, hl.103
[9] Abdul Wahab, ushul fiqih, hl.45
[10] Abdul Wahab, ushul fiqih, hl.68
[11] Manna’ al
Qatthan, Op.cit, hl. 72
0 komentar:
Posting Komentar