Kamis, 26 April 2018

Istisna Salam dan falah



          A.    Jual Beli Salam         
          1)      Pengertian
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror  dan untung-untungan (spekulasi).
Bai’ salam adalah akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara tunai di muka. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah disepakati  di awal akad.
Akad salam adalah akad yang sering digunakan oleh perbankan syari’ah dalam bentuk pertukaran jual beli. Akad ini terjadi ketika bank melakukan pembiayaan kepada sebuah perusahaan manufaktur, petani , atau produsen barang lainnya. Biasanya pembiayaan ini dibatasi jangka waktu yang relative pendek. Bank akan bertindak sebagai pembeli dan produsen sebagai pembeli.
Dalam hal ini bank biasanya akan menjualnya lagi kepada pembeli kedua dengan akad salam.  Maka dalam praktiknya pembeli (nasabah) akan mengajukan spesifikasi barang yang diinginkan kepada bank. Kemudian bank akan memesan kan barang tersebut kepada produsen dalam bentuk pembiayaan. Maka disini kita kenal istilah Salam Paralel antara pembeli kedua, bank, dan produsen.

Akad salam menguntungkan kedua belah pihak yang melakukan transaksi, dan sangat jauh dari praktek riba. Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1.      Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2.      Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
1.      Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2.      Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
2)Landasan Syari’ah
Akad bai’ salam  diperbolehkan dalam akad jual beli. Berikut penulis paparkan dalil-dalil (landasan syari’ah)yang terdapat dalam Al-Quran, Sunnah, dan pendapat ulama.

a.       Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 Allah telah menjelaskan tata cara mu’amalah dalam hutang piutang.
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar……
Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa Allah telah membolehkan melakukan akad jual beli secara tempo. Maka hendaknya melakukan pencatatan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
Mujahid dan Ibnu Abbas berkata, ayat ini diturunkan oleh Allah untuk memberikan legalisasi akad salam yang dilakukan secara tempo, Allah telah memberikan izin dan menghalalkannya, kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat tersebut (Ibnu Katsir, jilid I, hal. 500)
b.      Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” Hadits riwayat Imam BUkhari dari Ibnu Abbas merupakan dalil yang secara sharih menjelaskan tentng keabsahan jual beli salam.
Berdasrkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual bei salam harus ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya, sehingga tidak terjadi perselisihan.
c.       Sahabat Ibnu Abbas r.a berkata:

Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat As Syafi'i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)
d.      Kesepakatan ulama (ijma) akan diperbolehkannya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Munzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan. (Zuhaili, 1989, hal. 568)
3)Rukun dan Syarat jual beli Salam
Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah dari disyari'atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
a.       Pembeli (muslam)
b.      Penjual (muslam ilaih)
c.       Modal / uang (ra’sul maal)
Modal mempunyai syarat tertentu pula, yaitu:

a.       Jelas spesifikasinya, baik jenis, kualitas, dan jumlahnya.
b.      Harus diserahkan saat terjadinya akad.
Barang (muslam fiih).
Barang yang menjadi obyek transaksi harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat diakui sebagai hutang.
Sedangkan syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
a.       Pembayaran dilakukan dimuka (kontan)
b.      Dilakukan pada barang-barang yang memiliki criteria jelas
c.       Penyebutan criteria barang dilakukan saat akad dilangsungkan
d.      Penentuan tempo penyerahan barang pesanan
e.       Barang pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
f.        Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha
B. Jual Beli Istishna’
Pengertian
Istishna’ adalah jual beli  dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara angsuran. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah disepakati  di awal akad.
Akad Istishna'  ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya. (Badai'i As shanaai'i oleh Al Kasaani 5/2 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)
Hukum akad Istishna’
Ulama' fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam dua pendapat:
Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi.
Ulama' mazhab Hambali melarang akad ini berdalilkan dengan Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu:

"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi'i, Ibnul Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem)

Pada akad istishna' pihak ke-2 yaitu produsen telah menjual barang yang belum ia miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan persyaratan akad salam. Dengan demikian, akad ini tercakup oleh larangan dalam hadits di atas. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)

Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna' ialah menyewa jasa produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114)

Pendapat kedua: Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi'i.

Ulama' yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad salam. Bila demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua ini, maka dapat disimpulkan bahwa bila pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan bahan baku, maka berbagai persyaratan salam harus dipenuhi.
Akan tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka yang terjadi adalah jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai persyaratan pada akad sewa jasa harus dipenuhi, diantaranya yang berkaitan dengan tempo pengerjaan, dan jumlah upah.

Pendapat ketiga: Istishna' adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan ulama' penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama' ahli fiqih zaman sekarang. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114, & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al Auraaq Al Maaliyah Baina As Sayari'ah Al Islamiyyah wa An Nuzhum Al Wad'iyyah oleh Dr Khursyid Asyraf Iqbal 448
Landasan Syari’ah
Dalil pertama: Keumuman dalil  yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah Ta'ala:

"Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat Muslim)
Dalil ketiga:
Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
Dalil keempat: Para ulama' di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
"Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya."
Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.
Dalil keenam: Akad istishna' dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan dan tidak dilarang.
Syarat dan Rukun Istishna’
Dengan memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama' mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:

1. Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang  yang dipesan.

2. Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah. Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/140 & Badai'i As Shanaai'i oleh Al Kasaani 5/3)

3. Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala. Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada hukum asal (Badai'i As Shanaai'i oleh Al Kasaani 5/3, Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm 7/115 & Al Bahru Ar Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6//185)

Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna' yang telah saya sebutkan, maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.
C.    Perbedaan Jual beli Salam dan Istishna’

SUBYEK
SALAM
ISTISHNA’
ATURAN & KET
Pokok Kontrak
Muslam Fiih
Masnu’
Barang ditangguhkan dengan spesifikasi
Harga
Dibayar saat kontrak
Pembayaran diangsur
Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’
Sifat kontrak
Mengikat secara asli
Mengikat secara ikutan
Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen agar tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
Kontrak paralel
Salam paralel
Istishna’ paralel
Baik salam paralel maupun istishna’ parallel sah asalkan kedua kontrak secara hokum adalah terpisah.
Kebijakan Fiskal Dalam Islam
Kebijakan fiskal dalam Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual secara seimbang. Kebijakan fiskal lebih banyak peranannya dalam ekonomi Islam dibanding dengan ekonomi konvensional. Hal ini disebabkan antara lain sebagai berikut:
a. Peranan moneter relatif lebih terbatas dalam ekonomi Islam dibanding dalam ekonomi konvensioanal yang tidak bebas bunga.
b. Dalam ekonomi Islam, pemerintah harus memungut zakat dari setiap muslim yang memiliki kekayaan melebihi jumlah tertentu (nisab) dan digunakan untuk tujuan-tujuan sebagaimana tercantum dalam QS Al-Taubah: 60.
c. Ada perbedaaan substansial antara ekonomi Islam dan non-Islam dalam peranan pengelolaan utang publik. Hal ini karena utang dalam Islam adalah bebas bunga, sebagian besar pengeluaran pemerintah dibiayai dari pajak atau berdasarkan atas bagi hasil. Dengan demikian, ukuran utang publik jauh lebih sedikit dalam ekonomi Islam dibanding ekonomi konvensioanal (Istanto, 2013: 1).
Menurut Metwally, setidaknya ada 3 tujuan yang hendak dicapai kebijakan fiskal dalam ekonomi islam.
a. Islam mendirikan tingkat kesetaraan ekonomi dan demokrasi yang lebih tinggi, ada prinsip bahwa “ kekayaan seharusnya tidak boleh hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. “ Prinsip ini menegaskan bahwa setiap anggota masyarakat seharusnya dapat memperoleh akses yang sama terhadap kekayaan melalui kerja keras dan usaha yang jujur.
b. Islam melarang pembayaran bunga dalam berbagai bentuk pinjaman. Hal ini berarti bahwa ekonomi Islam tidak dapat memanipulasi tingkat suku bunga untuk mencapai keseimbangan (equiblirium) dalam pasar uang (yaitu anatara penawaran dan permintaan terhadap uang). Dengan demikian, pemerintahan harus menemukan alat alternatif untuk mencapai equilibrium ini.
c. Ekonomi Islam mempunyai komitmen untuk membantu ekonomi masyarakat yang kurang berkembang dan untuk menyebarkan pesan dan ajaran Islam seluas mungkin. Oleh karena itu, sebagaian dari pengeluaran pemerintah seharusnya digunakan untuk berbagai aktivitas yang mempromosikan Islam dan meningkatkan kesejahtaraan muslim di negara-negara yang kurang berkembang (Istanto, 2013: 1).
Jika melihat praktek kebijakan fiskal yang pernah diterapakn oleh Rasulullahndan Khulafaurrasyidin, maka kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam dapat dibagi dalam 3 hal, yaitu:
a. Kebijakan pemasukan dari kaum Muslimin, yaitu:
1) Zakat, yaitu salah satu dari dasar ketetapan Islam yang menjadi sumber utama pendapatan di dalam suatu pemerintahan Islam pada periode klasik.
2) Ushr, yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dimana pembayarannya hanya sekali dalam satu tahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Yang menarik dari kebijakan Rasulullah adalah dengan menghapuskan semua bea impor dengan tujuan agar perdagangan lancar dan arus ekonomi dalam perdangan cepat mengalir sehingga perekonomian di negara yang beliau pimpin menjadi lancar. Beliau mengatakan bahwa barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah muslim, bila sebelumya telah terjadi tukar menukar barang.
3) Wakaf adalah harta benda yang didedikasikan kepada umat Islam yang disebabkan karena Allah SWT dan pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
4) Amwal Fadhla berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.
5) Nawaib yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang tabuk.
6) Khumus adalah harta karun/temuan. Khumus sudah berlaku pada periode sebelum Islam.
7) Kafarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan seorang muslim pada acara keagamaan seperti berburu di musim haji. Kafarat juga biasa terjadi pada orang-orang muslim yang tidak sanggup melaksanakan kewajiban seperti seorang yang sedang hamil dan tidak memungkin jika melaksanakan puasa maka dikenai kafarat sebagai penggantinya (Sirojuddin, 2013: 1).
b. Kebijakan pemasukan dari kaum non muslim, yaitu:
1) Jizyah (tribute capitis/ pajak kekayaan) adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim khususnya ahli kitab sebagai jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.
2) Kharaj (tribute soil/pajak, upeti atas tanah) adalah pajak tanah yang dipungut dari kaum nonmuslim ketika khaibar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Prosedur yang sama juga diterapkan di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber pendapatan yang penting.
3) ‘Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham (Sirojuddin, 2013: 1).
c. Kebijakan Pengeluaran
Kebijakan Pengeluaran pendapatan negara didistrubusikan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Di antara golongan yang berhak menerima pendapatan (distribusi pendapatan) adalah berdasarkan atas kreteria langsung dari Allah S.W.T yang tergambar di dalam al-Qur’an QS. At-Taubah Ayat 90:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana. (QS. 9:60)
Orang-orang yang berhak menerima harta zakat ini terkenal dengan sebutan delapan ashnaf. Delapan asnab ini langsung mendapat rekomendasi dari Allah S.W.T sehingga tidak ada yang bisa membatahnya. Ini artinya kreteria dalam al-Qur;an terhadap orang-orang yang berhak mendapatkan atas kekayaan negara lebih rinci dibandingkan dengan kreteria yang tetapkan oleh pemerintah kita yang secara umum di-inklud-kan kepada orang-orang miskin saja (Sirojuddin, 2013: 1).
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan merupakan nama lain dari kebijakan anggaran. Kebijakan fiskal merupakan sebuah kebijakan atau aturan yang diambil pemerintah dalam hal pengeluaran dan pendapatan negara untuk memperbaiki kondisi terutama kondisi ekonomi. Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.
Kebijakan fiskal dilakukan pemerintah dengan mendesain anggaran negara (APBN) dan mengubah angka-angka agar diperoleh keadaan seperti yang ada pada tujuan penyusunan APBN. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pajak dan pengeluaran.
Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter. Perbedaan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terletak pada pola instrumen kebijakannya. Dalam kebijakan moneter pemerintah mengatur jumlah uang yang beredar serta mengatur tingkat bunga yang pada akhirnya bertujuan men-stabilkan perekonomian. Sedangkan pada kebijakan fiskal pemerintah mengendalikan penerimaan dan pengeluaran.
Tujuan Kebijakan Fiskal
Terdapat berbagai tujuan dalam dikeluarkannya sebuah kebijakan fiskal, namun secara garis besar tujuan dari kebijakan fiskal antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Memperbaiki perekonomian secara umum, merupakan tujuan yang vital dari kebijakan fiskal. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan yang dilakukan pemerintah.
  2. Kebijakan fiskal digunakan agar keadaan ekonomi membaik. Dengan keadaan ekonomi yang baik diharapkan sektor usaha mengalami kemajuan dan kesempatan kerja akan meningkat.
  3. Mengendalikan harga-harga dan untuk mengatasi masalah inflasi, pemerintah dapat menggunakan kebijakan fiskal (anggaran). Kebijakan ini digunakan untuk menstabilkan harga-harga secara umum yang naik saat inflasi.
  4. Mendistribusikan dan memeratakan pendapatan di seluruh wilayah negara sehingga terciptalah keadilan sosial bagi seluruh warga negara
Instrumen Kebijakan Fiskal
Terdapat 2 instrumen utama dalam kebijakan fiskal yaitu pengeluaran pemerintah (pengeluaran) dan pendapatan / pajak. Secara ekonomi pajak dapat didefinisikan sebagai sumber daya yang ada di sektor rumah tangga dan perusahaan sektor pemerintah melalui mekanisme pemungutan tanpa wajib memberi balas jasa langsung. Sedangkan secara hukum pajak dapat didefinisikan sebagai Iuran wajib kepada pemerintah yang sifatnya memaksa dan legal berdasarkan undang-undang.
Macam-Macam Kebijakan Fiskal
Terdapat beberapa macam Kebijakan Fiskal menurut jumlah penerimaan dan pengeluarannya, yaitu sebagai berikut:
1. Kebijakan Anggaran Surplus
Kebijakan anggaran surplus adalah kebijakan dimana pemerintah tidak menggunakan seluruh pendapatan untuk pengeluaran sehingga akan menambah tabungan pemerintah. Kebijakan ini dapat berfungsi untuk mengatasi inflasi.

Dengan adanya inflasi, harga menjadi naik karena uang lebih banyak dibandingkan dengan barang, sedangkan kebijakan surplus menekankan pengeluaran pemerintah yang pada gilirannya juga menekan dan mengurangi permintaan barang dan jasa secara agregat (total). Hal inilah yang kemudian bisa menurunkan angka inflasi.
2. Kebijakan Anggaran Berimbang
Kebijakan berimbang adalah bentuk anggaran dimana realisasi pendapatan negara sama dengan besarnya jumlah realisasi pengeluaran atau belanja negara. Melalui kebijakan ini pemerintah menyesuaikan pengeluaran dan belanjanya. Hal ini disesuaikan dengan penerimaan yang dimiliki negara sehingga antara pengeluaran dan penerima adalah sama dan berimbang.
Kebijakan anggaran berimbang mempunyai kekuarangan. Kekurangannya ialah ketika deflasi, dimana uang yang beredar lebih sediki dari kebutuhan masyarakat, harga, produksi, dan investasi turun sehingga kegiatan ekonomi turun. Anggaran belanja yang turun menyebabkan kegiatan ekonomi juga turun sehigga pertumbuhan ekonomi terhambat.
3. Kebijakan Anggaran Defisit
Kebijakan anggaran difisit merupakan kebalikan dari kebijakan anggaran surplus. Kebijakan ini didasarkan atas pengeluaran yang lebih besar dibanding pendapatan. Pengeluaran yang lebih besar dibanding pendapatan biasanya akan diatasi dengan sebuah pinjaman, baik itu pinjaman dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Kebijakan anggaran defisit ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Untuk mengukur anggaran defisit ada empat cara. Yaitu dapat dihitung dengan:
  1. Defisit primer, yaitu selisih belanja diluar pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan total.
  2. Defisit operasional, yaitu perhitungan anggaran defisit yang diukur dalam nilai riil dan bukan dalam nilai nominal.
  3. Defisit konvensional, yaitu perhitungan defisit berdasarkan selisih belanja total dan pendapatan total, termasuk hibah.
  4. Defisit moneter, yaitu selisih belanja total pemerintah diluar pembayaran pokok atau utang dengan pendapatan total di luar penerimaan utang.
Teori Kebijakan Fiskal
1. Teori Pembiayaan Fungsional
Teori ini utarakan oleh AP Lerner. Meurut Lerner anggaran itu berupa pembiayaan yang dilakukan pemerintah dan tidak berpengaruh langsung terhadap pendapatan nasional serta bertujuan pada perluasan kesempatan kerja. Dalam teori Pembiayaan Fungsional pajak tidak perlu ditarik saat tingkat pengangguran tinggi karena dapat mengurangi peluang terciptanya lapangan kerja baru. Adapun inflasi akan diatasi dengan pinjaman pemerintah.
2. Teori Stabil Otomatis
Kebijakan anggaran harus mengatur pengeluaran pemerintah. Hal ini dilihat dari perbandingan antara hasil dan biaya yang dikeluarkan untuk sebuah proyek pembangunan yang akan dibiayai dengan APBN. Dengan demikian keseimbangan anggaran bisa terjadi dengan sendirinya.
3. Teori Pengelolaan Anggaran
Dalam teori pengelolaan anggaran, disebutkan bahwa penerimaan dari pajak atau pinjaman serta pengeluaran negara merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam rangka mewujudkan perekonomian yang mantap dan stabil. Menurut Alvin Hasen yang mengemukakan teori ini, deflasi terjadi ketika harga-harga menjadi murah karena orang tidak mempunyai daya beli, Hal ini menyebabkan perekonomian menjadi lesu.
Pada saat deflasi negara sebaiknya menggunakan kebijakan anggaran defisit. Pemerintah meminjam dana kepada pihak asing atau swasta sehingga uang yang beredar di dalam negeri bertambah karena adanya pinjaman terseut. Akibatnya pemerintah dapat meningkatkan permintaan barang dan jasa sehingga akan memacu kondisi perekonomian.
Pada saat terjadi inflasi dimana harga-harga naik, pemerintah dapat menggunakan kebijakan anggaran surplus. Dengan kebijkan anggaran surplus pemerintah akan berusaha menghemat pengeluarannya dan mendorong adanya tabungan pemerintah. Kebijakan ini akan mempengarui dan mengurangi permintaan barang dan jasa oleh pemerintah, dan adanya tabungan pemerintah bisa menambah tabungan secara total (agregat).
Inflasi sendiri dapat diartikan sebagai kondisi ketika uang yang beredar melebihi barang yang ada. Walaupun harga terus naik, masyarakat akan terus membeli karena mereka memiliki banyak uang, termasuk juga pemerintah. Dengan mengurangi permintaan barang dan jasa oleh pemerintah jumlah uang yang beredar di masyarakat akan menurun dan harga tidak cepat mengalami kenaikan.
Berkurangnya permintaan dan bertambahnya tabungan dapat menekan laju inflasi. Karena salah satu kebijakan untuk mengatasi inflasi adalah meningkatkan tabungan melalui peningkatan suku bunga. Karena hal ini juga dapat mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Contoh Kebijakan Fiskal 
Ada berbagai contoh kebijakan fiskal yang telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya adalah sebagai berikut:
  1. Semua penduduk wajib memiliki NPWP atau nomor pokok wajib pajak
  2. Jumlah pajak dari berbagai macam pajak dinaikkan
  3. Pemerintah menerbitkan obliges
  4. Negara berhemat dalam pengeluaran anggaran
TUJUAN HIDUP
Pada dasarnya setiap manusia menginginkan kebahagian dalam kehidupannya baik itu kehidupan material ataupun kehidupanspiritual. Hanya saja tidak semua orang mampu menterjemahkan secara komprehensif, keterbatasan dalam menyeimbangkan antara aspek kehidupan, dan keterbatasan ketersediaan sumberdaya alam yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhannya untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Masalah ekonomi hanyalah sebagian kecil dari masalah kehidupan manusia yang diharapkan mampu membawa manusia kejalan yang membawanya mencapai kebahagiaan dalam hidup.
1.      Falah sebagai tujuan hidup
Falah dari bahasa arab dari kata kerja aflaha-yaflihu yang berarti kesuksesan, kemuliaan, atau kemenangan. Yaitu kemuliaan dan kemenangan hidup manusia dalam kehidupannya.  Dalam alquran istilah falah digunakan untuk kemenangan dan kebahagiaan jangka panjang, dunia dan akhirat sehingga dalam alqur’an tidak hanya menekankan pada aspek material akan tetapi lebih ditekankan pada aspek spiritual. Dalam konsep duniawi, falah memiliki implikasi kepada perilaku manusia secara individual maupun secara keseluruhan.
Kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan, serta kekuatan dan kehormatan menjadi pengertian falah dipandang dari segi falah dunia. Sedangkan falah dalam kehidupan akhirat dapat diartikan sebagai kelangsungan hidup abadi, kebahagian abadi, kesejahteraan abadi, dan kemuliaan abadi.
5.      Table 1.2. Aspek mikro dan makro dalam falah
Unsur falah
Aspek Mikro
Aspek makro
Kelangsungan Hidup
·       Kelangsungan hidup biologis: kesehatan, kebebasan berketurunan, dan sebagainya
·    Keseimbangan ekologi dan lingkungan
·         Kelangsungan hidup ekonomi: kepemilikan faktor produksi
·      Pengelolaan sumberdaya alam
·      Penyediaan kesempatan berusaha untuk semua produk
·      Kelangsungan hidup sosial: persaudaraan dan harmoni hubungan sosial
·      Kebersamaa sosial dan ketidakadaan konflik antarkelompok
·       Kelangsungan hidup politik: kebebasan partisipasi politik
·    Jati diri dan kemandirian
Kebebasan berkeinginan
·       Terbebas dari kemiskinan
·    Penyediaan sumber daya untuk seluruh penduduk
·       Kemandirian hidup
·    Penyediaan SDA untuk generasi akan datang
Kekuatan dan harga diri
·       Harga diri
·    Kekuatan ekonomi dan terbebas dari hutang
·       Kemerdekaan, perlindungan hidup dan kehormatan
·    Kekuatan militer

Dalam table terlihat jelas bahwa falah mencakup seluruh aspek hidup manusia baik itu dari segi spiritual dan moralitas, ekonomi, sosial dan budaya maupun politik. Misalnya, untuk memperoleh kelangsungan hidup manusia maka secara mikro manusia membutuhkan (a) pemenuhan kebutuhan biologis seperti kesehatan fisik atau bebas dari penyakit; (b) kelangsungan hidup ekonomi seperti memiliki sarana untuk kelangsungan hidup; (c) kelangsungan hidup sosial seperti adanya kelangsungan hubungan yang harmonis antar individu.
Satu-satunya kehidupan yang diyakini akan ada dan abadi adalah kehidupan akhirat, oleh karena itu untuk menghadapi kehidupan yang akan abadi tersebut nilai kauntitas dan nilai kualitas lebih adalah hal yang utama. Kehidupan dunia adalah kehidupan yang bersifat sementara dan harus digunakan untuk mencapai falah kehidupan dunia akhirat.
Dalam menjalani kehidupan dunia manusia tidak dapat mengesampingkan kehidupan akhirat, namun pada prakteknya dalam mancapai kebahagian yang diinginkan manusia di dunia banyak berakibat negatif bagi kehidupan manusia lain dan lingkungan baik jangka panjang maupun jangka pendek. Akibat dari kesembronoan manusia dalam berperilaku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai kebahagiaannya seringkali berakibat pada kegagalan pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam keadaan seperti ini ekonomi islam muncul sebagai solusi bagaimana manusia bisa memenuhi kebutuhan materialnya di dunia tanpa meninggalkan dan mengorbankan kebahagiaan akhirat, sehingga tercapai kebahagian dunia dan akhirat (falah)
6.      Sebagaimana diungkapkan di atas bahwa setiap manusia menginginkan kabahagian selama hidupnya baik itu kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat kelak. Oleh karena itu upaya pemenuhan kebutuhan hidup di dunia diusahakan sejalan dengan upaya untuk mencapai kebahagiaan akhirat
Dalam Islam kesejahteraan didefinisikan dengan pandangan yang komprehensif tentang kehidupan. Dalam Islam dapat diartikan dalam dua pengertian:

a.        Kesejahteraan holistik dan seimbang:
dalam hal ini kehidupan manusia berkecukupan dari segi materi dan diimbangi dengan kehidupan spiritual serta seimbang dengan kehidupan sosial. Kehidupan manusia harus seimbang antara kebahagiaan fisik dan jiwa karena dua hal tersebut adalah bagian terpenting dalam hidup manusia. Manusia juga memiliki kehidupan yang bersifat individual dan ada juga yang bersifat sosial, kehidupan keduanya harus seimbang. Manusia akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya jika kehidupan individu dan sosialnya berjalan seiring secara seimbang.
b.        Kesejahteraan dunia dan akhirat.
Manusia tidak hanya hidup di dunia saja, ada kehidupan lain yang pasti akan dilalui oleh manusia yaitu kehidupan akhirat, kehidupan yang akan dilalui setiap manusia setelah kehancuran kehidupan dunia yang bersifat fana ini. Kehidupan manusia yang dipenuhi material ditujukan untuk mencapai kebahagian akhirat. Harta yang dimiliki manusia di dunia digunakan untuk beribadah kepada sang pencipta agar memperoleh kebahagiaan yang lebih abadi yaitu kebahagiaaan akhirat (falah akhirat).
Falah di dunia dan akhirat akan dicapai sesuai dengan kadar usaha yang dilakukan manusia untuk itu. Secara keseluruhan manusia sering menemukan masalah yang cukup rumit untuk itu, kadang kala ada pertentangan antara keinginan dan kebutuhan hidup manusia. Untuk memecahkan masalah tersebut manusia harus menyadari  arti kehidupan di dunia ini, ia harus sadar bahwa ia hidup dimuka bumi Allah sebagai seorang khalifah yang bertugas membawa kesejahteraan, baik untuk dirinya sendiri, untuk orang lain ataupun untuk lingkungannya.
2.      Mashlahah sebagai tujuan antara untuk mencapai falah
       Kebahagian dan kesejahteraan dapat tercapai apabila terpenuhi segala kebutuhan hidup manusia baik secara duniawi maupun ukhrawi. Tercukupinya kebutuhan hidup manusia secara keseluruhan akan memberikan dampak apa yang disebut dengan mashlahah. Mashlahah adalah segala bentuk keadaan, baik secara material ataupun non material yang mampu meningkatkan derajat kemuliaan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan akan mempertanggung jawabkan kekhalifahannya di hadapan Allah kelak. Menurut Imam As-Syathibi mashlahah kehidupan manusia itu terdiri dari lima hal, yaitu agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (‘Aql), keluarga dan keturunan (Nasl), dan material (maal).secara lebih rinci sebagai berikut:
a.       Agama (dien)
     Agama mengajarkan manusia menjalani kehidupannya secara benar, khusus dalam agama Islam manusia harus menjalankan aktifitas ekonomi sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Allah yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad berdasarkan kepada Al-qur'an. Ukuran baik dan buruk pada hakikatnya hanya dapat dilihat berdasarkan sejauh mana seseorang berpegang teguh kepada ajaran Agama dalam menjalankan kehidupannya. Itulah Fungsi utama dari agama, yaitu sebagai pedoman umat manusia dalam menjalankan segala macam aktivitasnya.
b.      Jiwa (nafs)
Jiwa dan raga manusia merupakan ladang kehidupan manusia itu sendiri, apa yang diperoleh oleh manusia di dunia maupun di akhirat tergantung dari apa yang dilakukan oleh manusia selama hidupnya, untuk apa dia memanfaatkan jiwa yang telah diberikan oleh Allah. Jiwa yang benar adalah jiwa yang mampu menjauhi segala sesuatu yang akan membawa celaka bagi dirinya sendiri baik di dunia maupun di akhirat (sesuatu yang diharamkan Allah).
c.       Intelektual (‘aql)
Karunia yang sangat luar biasa yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia adalah intelektualitas, ilmu dan akal. Allah memberikan hal tersebut hanya kepada manusia tidak ada makhluk lain di dunia ini yang dikaruniai akal sesempurna akal manusia. Dengan akal tersebutlah manusia bisa tadabbur terhadap ayat-ayat Allah yang ada di muka bumi ini.

d.      Keluarga dan keturunan (nasl)
Untuk menjaga kontinuitas kehidupan, maka manusia harus memelihara keturunan dan keluarganya. Walaupun sebanarnya manusia meyakini bahwa kehidupan yang akan ia jalani bukan hanya di dunia saja melainkan juga di akhirat. Manusia akan menjaga keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat, oleh karena itu kelangsungan kehidupan dari generasi ke generasi harus diperhatikan.

e.       Material (maal)
Harta sangat urgen baik dalam kehidupan dunia maupun untuk kehidupan akhirat. Manusia dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan di dunia membutuhkan harta. Selain itu manusia juga membutuhkan harta untuk beribadah kepada sang pencipta, sebagai salah satu bekal untuk menghadapi kehidupan yang kekal yaitu kehidupan akhirat.

 3.      Permasalahan dalam mencapai falah
Banyak permasalahan dan rintangan yang dihadapi oleh umat manusia untuk mencapai falah. Permasalahan tersebut seringkali berkaitan antara satu faktor dan faktor lainnya. Di antara yang menjadi permasalahan bagi manusia dalam mencapai falah adalah adanya keterbatasan dan kekurangan pada manusia itu sendiri, serta kemungkinan adanya interdependesi berbagai kehidupan manusia. Masalah lain adalah terbatasnya sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tingkat falah tertinggi dalam kehidupan manusia. Permasalahan sejenis ini lebih dikenal dengan “kelangkaan atau scarcity”.
Kelangkaan sumberdaya alam tidak hanya terjadi di negara-negara miskin saja, tetapi bisa saja terjadi di negara maju sekalipun. Kelangkaan ini terjadi sebagai akibat dari semakin banyaknya manusia yang tersebar diseluruh penjuru dunia, sementara manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaat segala sesuatu yang telah ada di alam semesta.
Sang pencipta menjadikan alam semesta ini untuk semua makhluk hidup dan dengan sumberdaya yang bisa dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup. Alam semesta ini juga tercipta dengan ukuran yang akurat dan cermat sehingga keberadaanya memadai untuk memenuhi semua kebutuhan hidup makhluk ciptaan-Nya. oleh karena itu, pada dasarnya kelangkaan yang terjadi sebenarnya hanyalah kelangkaan yang bersifat relatif, kelangkaan tersebut di sebabkan oleh:

a.       Ketidakmerataan distribusi sumber daya
Sumber daya yang dimaksud di sini adalah sumber daya manusia dan sumber daya alam. Allah menciptakan keberagaman dalam ciptaannya, ada daerah yang kaya sumber daya alam, akan tetapi miskin sumber daya manusia yang akan mengelola sumber daya alam tersebut. Ada juga daerah yang kaya sumber daya manusia, tetapi memiliki sedikit sumber daya alam. Hal ini merupakan cobaan bagi manusia agar mampu menciptakan inovasi untuk mengelola sumber daya yang ada untuk menciptakan terpenuhinya semua kebutuhan hidup.
b.      Keterbatasan manusia
Meskipun manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnnya, manusia tetap memiliki kekurangan. Kekurangan dan keterbatasan tersebut menyebabkan kelangkaan relatif dalam kehidupan ekonomi manusia. Baik itu kekurangan kemampuan ilmu untuk mengelola sumberdaya yang tersedia ataupum keterbatasan tekhnologi yang digunakan.
Bahkan terkadang tingkah laku manusia itu sendiri juga mengakibatkan kelangkaan relatif ini, sebagai contoh, sifat tamak dan serakah yang dimiliki manusia bisa menyebabkan kelangkaan karena ia menghabiskan sumberdaya yang ada untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek saja tanpa memikirkan kebutuhan jangka panjang.
c.       Konflik antartujuan hidup
Kadangkala terjadi pertentangan tujuan hidup yang ingin dicapai seseorang. Misalnya ada pertentangan tujuan hidup di dunia (tujuan jangka pendek), dengan tujuan hidup untuk mencapai falah dunia dan akhirat (tujuan jangka panjang). Untuk mencapai kepuasan di dunia, manusia bisa saja memakai hak orang lain secara paksa atau merampas hak orang lain akan tetapi dengan cara tersebut ia tidak akan mendapatkan falah di akhirat
Dari masalah yang disebutkan di atas itu, ilmu ekonomi berperan menyelasaikan masalah kelangkaan relatif ini sehingga dapat mencapai falah di dunia dan falah di akhirat. Falah dapat diukur dengan tingkat mashlahah yang diperoleh. Kelangkaan tidak hanya terjadi dengan sendirinya akan tetapi juga bisa terjadi karena ulah manusia itu sendiri, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu ilmu ekonomi Islam mencakup tiga aspek dasar yaitu sebagai berikut:

a. Konsumsi.
yaitu komoditas apa yang dibutuhkan untuk mencapai mashlahah. Masyarakat harus memilih dan menentukan komoditas apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai mashlahah. Pada dasarnya sumber daya alam yang tersedia bisa memenuhi semua kebutuhan manusia akan tetapi harus dipilih komoditas apa yang benar-benar dibutuhkan untuk mencapai falah.
b. Produksi.
    yaitu bagaimana komoditas yang dibutuhkan itu bisa digunakan untuk mencapai falah. Masyarakat harus menentukan bagaimana cara memproduksi, siapa yang akan memproduksi dan seberapa banyak komoditas tersebut harus diproduksi agar mampu menciptakan mashlahah.
c. Distribusi.
     yaitu bagaimana komoditas yang diproduksi tersebut di salurkan kepada masyarakat agar setiap orang mampu mancapai mashlahah. Masyarakan harus memilih siapa yang berhak menerima barang dan jasa tertentu agar tercipta falah yang diinginkan. Ilmu ekonomi berkewajiban mendistribusikan sumber daya dan pemanfaatannya secara adil dan merata sehingga setiap orang merasakan falah yang hakiki.
Hubungan Kebijakan Fiskal Dengan Pembangunan
       Kebijakan fiskal sangat berhubungan erat dengan pembangunan. Kebijakan fiskal yang dijalankan dengan baik dan sesuai dengan perekonomian akan memacu proses pembangunan. Berikut ini merupakan usaha-usaha yang dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal agar pembangunan dapat bekembang pesat.
  1. Memacu pembentukan modal yang dibutuhkan pembangunan.
  2. Menjalankan kebijakan fiskal dengan menjaga pengeluaran dan penerimaan negara sehingga tetap seimbang serta menghindari pengeluaran berlebih. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang kegiatan fiskal terhadap pengusaha tertentu, seperti pemberian modal 
Hubungan Pemerintah Daerah dengan Pusat Dalam Kebijakan Fiskal
Hubungan antara pemerintah daerah dan pusat dalam kebijakan fiskal didasarkan pada 4 prinsip, yaitu sebagai berikut:
  1. Tugas pemerintah pusat di daerah didanai APBN.
  2. Tugas pemerintah daerah didanai APBD.
  3. Seandainya daerah belum bisa mencukupi biaya daerah, pemerintah pusat memberikan dana bantuan.
  4. Tugas pemerintah pusat atau daerah dalam rangka bantuan pembangunan didanai pihak yang menugaskan. Dalam hal ini dapat dibiayai APBD atau APBN.

0 komentar:

Posting Komentar