1)
Pengertian
Diantara
bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam,
yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan
dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu,
dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada
unsur tipu-menipu atau ghoror dan untung-untungan (spekulasi).
Bai’
salam adalah akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada
dan akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara
tunai di muka. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah
disepakati di awal akad.
Akad
salam adalah akad yang sering digunakan oleh perbankan syari’ah dalam bentuk
pertukaran jual beli. Akad ini terjadi ketika bank melakukan pembiayaan kepada
sebuah perusahaan manufaktur, petani , atau produsen barang lainnya. Biasanya
pembiayaan ini dibatasi jangka waktu yang relative pendek. Bank akan bertindak
sebagai pembeli dan produsen sebagai pembeli.
Dalam
hal ini bank biasanya akan menjualnya lagi kepada pembeli kedua dengan akad
salam. Maka dalam praktiknya pembeli (nasabah) akan mengajukan
spesifikasi barang yang diinginkan kepada bank. Kemudian bank akan memesan kan
barang tersebut kepada produsen dalam bentuk pembiayaan. Maka disini kita kenal
istilah Salam Paralel antara pembeli kedua, bank, dan produsen.
Akad salam menguntungkan kedua belah pihak
yang melakukan transaksi, dan sangat jauh dari praktek riba. Pembeli (biasanya)
mendapatkan keuntungan berupa:
1.
Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai
dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2.
Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan
harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia
membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan
penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli,
diantaranya:
1.
Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan
usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan
mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum
jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk
menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada
kewajiban apapun.
2.
Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi
permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan
penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
2)Landasan Syari’ah
Akad bai’ salam diperbolehkan dalam
akad jual beli. Berikut penulis paparkan dalil-dalil (landasan syari’ah)yang
terdapat dalam Al-Quran, Sunnah, dan pendapat ulama.
a.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 Allah telah
menjelaskan tata cara mu’amalah dalam hutang piutang.
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar……
Dari
ayat ini dapat kita pahami bahwa Allah telah membolehkan melakukan akad jual
beli secara tempo. Maka hendaknya melakukan pencatatan untuk menghindari
perselisihan di kemudian hari.
Mujahid
dan Ibnu Abbas berkata, ayat ini diturunkan oleh Allah untuk memberikan
legalisasi akad salam yang dilakukan secara tempo, Allah telah memberikan izin
dan menghalalkannya, kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat tersebut (Ibnu Katsir,
jilid I, hal. 500)
b.
Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka
waktu yang diketahui” Hadits riwayat Imam BUkhari dari Ibnu Abbas merupakan
dalil yang secara sharih menjelaskan tentng keabsahan jual beli salam.
Berdasrkan
atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual bei salam harus ditentukan
spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun
waktu penyerahannya, sehingga tidak terjadi perselisihan.
c.
Sahabat Ibnu Abbas r.a berkata:
Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat As Syafi'i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)
d.
Kesepakatan ulama (ijma) akan
diperbolehkannya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Munzir yang
mengatakan bahwa, semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam
diperbolehkan. (Zuhaili, 1989, hal. 568)
3)Rukun dan Syarat jual beli Salam
Walau
demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam
memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan.
Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah
dari disyari'atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan
ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam
jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
a.
Pembeli (muslam)
b.
Penjual (muslam ilaih)
c.
Modal / uang (ra’sul maal)
Modal mempunyai syarat tertentu pula, yaitu:
a.
Jelas spesifikasinya, baik jenis, kualitas,
dan jumlahnya.
b.
Harus diserahkan saat terjadinya akad.
Barang (muslam fiih).
Barang
yang menjadi obyek transaksi harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat
diakui sebagai hutang.
Sedangkan syarat yang harus dipenuhi sebagai
berikut:
a.
Pembayaran dilakukan dimuka (kontan)
b.
Dilakukan pada barang-barang yang memiliki
criteria jelas
c.
Penyebutan criteria barang dilakukan saat
akad dilangsungkan
d.
Penentuan tempo penyerahan barang pesanan
e.
Barang pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
f.
Barang
Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha
B. Jual Beli Istishna’
Pengertian
Istishna’
adalah jual beli dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan
akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara
angsuran. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah
disepakati di awal akad.
Akad
Istishna' ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan
seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak
ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga
yang disepakati antara keduanya. (Badai'i As shanaai'i oleh Al Kasaani
5/2 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)
Hukum akad Istishna’
Ulama' fiqih sejak dahulu telah berbeda
pendapat dalam permasalahan ini ke dalam dua pendapat:
Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi.
Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi.
Ulama' mazhab Hambali melarang akad ini
berdalilkan dengan Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu:
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi'i, Ibnul Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem)
Pada akad istishna' pihak ke-2 yaitu produsen telah menjual barang yang belum ia miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan persyaratan akad salam. Dengan demikian, akad ini tercakup oleh larangan dalam hadits di atas. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)
Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna' ialah menyewa jasa produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114)
Pendapat kedua: Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi'i.
Ulama' yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad salam. Bila demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua ini, maka dapat disimpulkan bahwa bila pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan bahan baku, maka berbagai persyaratan salam harus dipenuhi.
Akan tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka yang terjadi adalah jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai persyaratan pada akad sewa jasa harus dipenuhi, diantaranya yang berkaitan dengan tempo pengerjaan, dan jumlah upah.
Pendapat ketiga: Istishna' adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan ulama' penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama' ahli fiqih zaman sekarang. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114, & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al Auraaq Al Maaliyah Baina As Sayari'ah Al Islamiyyah wa An Nuzhum Al Wad'iyyah oleh Dr Khursyid Asyraf Iqbal 448
Landasan Syari’ah
Dalil pertama: Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli,
diantaranya firman Allah Ta'ala:
"Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat Muslim)
Dalil ketiga: Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
"Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat Muslim)
Dalil ketiga: Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
Dalil keempat: Para ulama' di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih
yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain
ibadah:
"Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya."
Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.
"Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya."
Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.
Dalil keenam: Akad istishna' dapat mendatangkan banyak kemaslahatan
dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi
tinggi (gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak. Bahkan
sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan. Dengan demikian
setiap hal yang demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan dan
tidak dilarang.
Syarat dan Rukun Istishna’
Dengan memahami hakekat akad istishna', kita
dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama' mazhab Hanafi
memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam
diantaranya:
1.
Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan,
persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak
pada saat jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
2.
Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan
barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga
berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu
Hanifah. Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan
menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu
penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena
demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang
pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum
syari'at. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/140 & Badai'i As
Shanaai'i oleh Al Kasaani 5/3)
3.
Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad
istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad
istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan
tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala. Dengan demikian,
akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat
biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka dikembalikan
kepada hukum asal (Badai'i As Shanaai'i oleh Al Kasaani 5/3, Fathul
Qadir oleh Ibnul Humamm 7/115 & Al Bahru Ar Raa'iq oleh Ibnu
Nujaim 6//185)
Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil
dibolehkannya akad istishna' yang telah saya sebutkan, maka dengan sendirinya
persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya
berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al
Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk
membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan
dengan skema istishna' saja.
C. Perbedaan Jual beli Salam dan Istishna’
SUBYEK
|
SALAM
|
ISTISHNA’
|
ATURAN & KET
|
Pokok Kontrak
|
Muslam Fiih
|
Masnu’
|
Barang ditangguhkan dengan spesifikasi
|
Harga
|
Dibayar saat kontrak
|
Pembayaran diangsur
|
Cara penyelesaian pembayaran merupakan
perbedaan utama antara salam dan istishna’
|
Sifat kontrak
|
Mengikat secara asli
|
Mengikat secara ikutan
|
Salam mengikat semua pihak sejak semula,
sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen agar tidak
ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
|
Kontrak paralel
|
Salam paralel
|
Istishna’ paralel
|
Baik salam paralel maupun istishna’
parallel sah asalkan kedua kontrak secara hokum adalah terpisah.
|
Kebijakan Fiskal Dalam Islam
Kebijakan
fiskal dalam Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang didasarkan pada
keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan
spiritual secara seimbang. Kebijakan fiskal lebih banyak peranannya dalam
ekonomi Islam dibanding dengan ekonomi konvensional. Hal ini disebabkan antara
lain sebagai berikut:
a. Peranan moneter relatif lebih terbatas
dalam ekonomi Islam dibanding dalam ekonomi konvensioanal yang tidak bebas
bunga.
b. Dalam ekonomi Islam, pemerintah harus
memungut zakat dari setiap muslim yang memiliki kekayaan melebihi jumlah
tertentu (nisab) dan digunakan untuk tujuan-tujuan sebagaimana tercantum dalam
QS Al-Taubah: 60.
c. Ada perbedaaan substansial antara ekonomi
Islam dan non-Islam dalam peranan pengelolaan utang publik. Hal ini karena
utang dalam Islam adalah bebas bunga, sebagian besar pengeluaran pemerintah
dibiayai dari pajak atau berdasarkan atas bagi hasil. Dengan demikian, ukuran
utang publik jauh lebih sedikit dalam ekonomi Islam dibanding ekonomi konvensioanal
(Istanto, 2013: 1).
Menurut Metwally, setidaknya ada 3 tujuan
yang hendak dicapai kebijakan fiskal dalam ekonomi islam.
a. Islam mendirikan tingkat kesetaraan
ekonomi dan demokrasi yang lebih tinggi, ada prinsip bahwa “ kekayaan
seharusnya tidak boleh hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. “ Prinsip
ini menegaskan bahwa setiap anggota masyarakat seharusnya dapat memperoleh
akses yang sama terhadap kekayaan melalui kerja keras dan usaha yang jujur.
b. Islam melarang pembayaran bunga dalam berbagai
bentuk pinjaman. Hal ini berarti bahwa ekonomi Islam tidak dapat memanipulasi
tingkat suku bunga untuk mencapai keseimbangan (equiblirium) dalam pasar uang
(yaitu anatara penawaran dan permintaan terhadap uang). Dengan demikian,
pemerintahan harus menemukan alat alternatif untuk mencapai equilibrium ini.
c. Ekonomi Islam mempunyai komitmen untuk
membantu ekonomi masyarakat yang kurang berkembang dan untuk menyebarkan pesan
dan ajaran Islam seluas mungkin. Oleh karena itu, sebagaian dari pengeluaran pemerintah
seharusnya digunakan untuk berbagai aktivitas yang mempromosikan Islam dan
meningkatkan kesejahtaraan muslim di negara-negara yang kurang berkembang
(Istanto, 2013: 1).
Jika melihat praktek kebijakan fiskal yang
pernah diterapakn oleh Rasulullahndan Khulafaurrasyidin, maka kebijakan fiskal
dalam ekonomi Islam dapat dibagi dalam 3 hal, yaitu:
a. Kebijakan pemasukan dari kaum Muslimin,
yaitu:
1) Zakat, yaitu salah satu dari dasar
ketetapan Islam yang menjadi sumber utama pendapatan di dalam suatu pemerintahan
Islam pada periode klasik.
2) Ushr, yaitu bea impor yang dikenakan kepada
semua pedagang dimana pembayarannya hanya sekali dalam satu tahun dan hanya
berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Yang menarik dari
kebijakan Rasulullah adalah dengan menghapuskan semua bea impor dengan tujuan
agar perdagangan lancar dan arus ekonomi dalam perdangan cepat mengalir
sehingga perekonomian di negara yang beliau pimpin menjadi lancar. Beliau
mengatakan bahwa barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di
wilayah muslim, bila sebelumya telah terjadi tukar menukar barang.
3) Wakaf adalah harta benda yang
didedikasikan kepada umat Islam yang disebabkan karena Allah SWT dan
pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
4) Amwal Fadhla berasal dari harta benda kaum
muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang
seorang muslim yang meninggalkan negerinya.
5) Nawaib yaitu pajak yang jumlahnya cukup
besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi
pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang
tabuk.
6) Khumus adalah harta karun/temuan. Khumus
sudah berlaku pada periode sebelum Islam.
7) Kafarat adalah denda atas kesalahan yang
dilakukan seorang muslim pada acara keagamaan seperti berburu di musim haji.
Kafarat juga biasa terjadi pada orang-orang muslim yang tidak sanggup
melaksanakan kewajiban seperti seorang yang sedang hamil dan tidak memungkin
jika melaksanakan puasa maka dikenai kafarat sebagai penggantinya (Sirojuddin,
2013: 1).
b. Kebijakan pemasukan dari kaum non muslim,
yaitu:
1) Jizyah (tribute capitis/ pajak kekayaan)
adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim khususnya ahli kitab sebagai
jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak
wajib militer.
2) Kharaj (tribute soil/pajak, upeti atas
tanah) adalah pajak tanah yang dipungut dari kaum nonmuslim ketika khaibar
ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya
menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan
bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Prosedur yang sama
juga diterapkan di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber pendapatan yang
penting.
3) ‘Ushr adalah bea impor yang dikenakan
kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku
terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham (Sirojuddin, 2013: 1).
c. Kebijakan Pengeluaran
Kebijakan
Pengeluaran pendapatan negara didistrubusikan langsung kepada orang-orang yang
berhak menerimanya. Di antara golongan yang berhak menerima pendapatan (distribusi
pendapatan) adalah berdasarkan atas kreteria langsung dari Allah S.W.T yang
tergambar di dalam al-Qur’an QS. At-Taubah Ayat 90:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang dibujuk
hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana. (QS. 9:60)
Orang-orang
yang berhak menerima harta zakat ini terkenal dengan sebutan delapan ashnaf.
Delapan asnab ini langsung mendapat rekomendasi dari Allah S.W.T sehingga tidak
ada yang bisa membatahnya. Ini artinya kreteria dalam al-Qur;an terhadap
orang-orang yang berhak mendapatkan atas kekayaan negara lebih rinci
dibandingkan dengan kreteria yang tetapkan oleh pemerintah kita yang secara
umum di-inklud-kan kepada orang-orang miskin saja (Sirojuddin, 2013: 1).
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan merupakan nama
lain dari kebijakan anggaran. Kebijakan fiskal merupakan sebuah kebijakan atau
aturan yang diambil pemerintah dalam hal pengeluaran dan pendapatan negara
untuk memperbaiki kondisi terutama kondisi ekonomi. Kebijakan fiskal merujuk
pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara
melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.
Kebijakan fiskal dilakukan pemerintah dengan mendesain anggaran negara (APBN) dan mengubah angka-angka agar diperoleh keadaan seperti yang ada pada tujuan penyusunan APBN. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pajak dan pengeluaran.
Kebijakan fiskal dilakukan pemerintah dengan mendesain anggaran negara (APBN) dan mengubah angka-angka agar diperoleh keadaan seperti yang ada pada tujuan penyusunan APBN. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pajak dan pengeluaran.
Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan
moneter. Perbedaan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terletak pada pola
instrumen kebijakannya. Dalam kebijakan moneter pemerintah mengatur jumlah uang
yang beredar serta mengatur tingkat bunga yang pada akhirnya bertujuan
men-stabilkan perekonomian. Sedangkan pada kebijakan fiskal pemerintah
mengendalikan penerimaan dan pengeluaran.
Tujuan Kebijakan Fiskal
Terdapat berbagai tujuan dalam dikeluarkannya
sebuah kebijakan fiskal, namun secara garis besar tujuan dari kebijakan fiskal
antara lain adalah sebagai berikut:
- Memperbaiki perekonomian secara umum, merupakan tujuan yang vital dari kebijakan fiskal. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan yang dilakukan pemerintah.
- Kebijakan fiskal digunakan agar keadaan ekonomi membaik. Dengan keadaan ekonomi yang baik diharapkan sektor usaha mengalami kemajuan dan kesempatan kerja akan meningkat.
- Mengendalikan harga-harga dan untuk mengatasi masalah inflasi, pemerintah dapat menggunakan kebijakan fiskal (anggaran). Kebijakan ini digunakan untuk menstabilkan harga-harga secara umum yang naik saat inflasi.
- Mendistribusikan dan memeratakan pendapatan di seluruh wilayah negara sehingga terciptalah keadilan sosial bagi seluruh warga negara
Instrumen Kebijakan Fiskal
Terdapat 2 instrumen utama dalam kebijakan
fiskal yaitu pengeluaran pemerintah (pengeluaran) dan pendapatan / pajak.
Secara ekonomi pajak dapat didefinisikan sebagai sumber daya yang ada di sektor
rumah tangga dan perusahaan sektor pemerintah melalui mekanisme pemungutan
tanpa wajib memberi balas jasa langsung. Sedangkan secara hukum pajak dapat
didefinisikan sebagai Iuran wajib kepada pemerintah yang sifatnya memaksa dan
legal berdasarkan undang-undang.
Macam-Macam Kebijakan Fiskal
Terdapat beberapa macam Kebijakan Fiskal
menurut jumlah penerimaan dan pengeluarannya, yaitu sebagai berikut:
1. Kebijakan Anggaran Surplus
1. Kebijakan Anggaran Surplus
Kebijakan anggaran surplus adalah kebijakan
dimana pemerintah tidak menggunakan seluruh pendapatan untuk pengeluaran
sehingga akan menambah tabungan pemerintah. Kebijakan ini dapat berfungsi untuk
mengatasi inflasi.
Dengan adanya inflasi, harga menjadi naik karena uang lebih banyak dibandingkan dengan barang, sedangkan kebijakan surplus menekankan pengeluaran pemerintah yang pada gilirannya juga menekan dan mengurangi permintaan barang dan jasa secara agregat (total). Hal inilah yang kemudian bisa menurunkan angka inflasi.
Dengan adanya inflasi, harga menjadi naik karena uang lebih banyak dibandingkan dengan barang, sedangkan kebijakan surplus menekankan pengeluaran pemerintah yang pada gilirannya juga menekan dan mengurangi permintaan barang dan jasa secara agregat (total). Hal inilah yang kemudian bisa menurunkan angka inflasi.
2. Kebijakan Anggaran Berimbang
Kebijakan berimbang adalah bentuk anggaran
dimana realisasi pendapatan negara sama dengan besarnya jumlah realisasi
pengeluaran atau belanja negara. Melalui kebijakan ini pemerintah menyesuaikan
pengeluaran dan belanjanya. Hal ini disesuaikan dengan penerimaan yang dimiliki
negara sehingga antara pengeluaran dan penerima adalah sama dan berimbang.
Kebijakan anggaran berimbang mempunyai
kekuarangan. Kekurangannya ialah ketika deflasi, dimana uang yang beredar lebih
sediki dari kebutuhan masyarakat, harga, produksi, dan investasi turun sehingga
kegiatan ekonomi turun. Anggaran belanja yang turun menyebabkan kegiatan
ekonomi juga turun sehigga pertumbuhan ekonomi terhambat.
3. Kebijakan Anggaran Defisit
Kebijakan anggaran difisit merupakan
kebalikan dari kebijakan anggaran surplus. Kebijakan ini didasarkan atas
pengeluaran yang lebih besar dibanding pendapatan. Pengeluaran yang lebih besar
dibanding pendapatan biasanya akan diatasi dengan sebuah pinjaman, baik itu
pinjaman dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Kebijakan anggaran defisit ini dilakukan
dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Untuk mengukur anggaran
defisit ada empat cara. Yaitu dapat dihitung dengan:
- Defisit primer, yaitu selisih belanja diluar pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan total.
- Defisit operasional, yaitu perhitungan anggaran defisit yang diukur dalam nilai riil dan bukan dalam nilai nominal.
- Defisit konvensional, yaitu perhitungan defisit berdasarkan selisih belanja total dan pendapatan total, termasuk hibah.
- Defisit moneter, yaitu selisih belanja total pemerintah diluar pembayaran pokok atau utang dengan pendapatan total di luar penerimaan utang.
Teori
Kebijakan Fiskal
1. Teori Pembiayaan Fungsional
Teori ini utarakan oleh AP Lerner. Meurut Lerner anggaran itu berupa pembiayaan yang dilakukan pemerintah dan tidak berpengaruh langsung terhadap pendapatan nasional serta bertujuan pada perluasan kesempatan kerja. Dalam teori Pembiayaan Fungsional pajak tidak perlu ditarik saat tingkat pengangguran tinggi karena dapat mengurangi peluang terciptanya lapangan kerja baru. Adapun inflasi akan diatasi dengan pinjaman pemerintah.
2. Teori Stabil Otomatis
Kebijakan anggaran harus mengatur pengeluaran pemerintah. Hal ini dilihat dari perbandingan antara hasil dan biaya yang dikeluarkan untuk sebuah proyek pembangunan yang akan dibiayai dengan APBN. Dengan demikian keseimbangan anggaran bisa terjadi dengan sendirinya.
3. Teori Pengelolaan Anggaran
Dalam teori pengelolaan anggaran, disebutkan bahwa penerimaan dari pajak atau pinjaman serta pengeluaran negara merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam rangka mewujudkan perekonomian yang mantap dan stabil. Menurut Alvin Hasen yang mengemukakan teori ini, deflasi terjadi ketika harga-harga menjadi murah karena orang tidak mempunyai daya beli, Hal ini menyebabkan perekonomian menjadi lesu.
Pada saat deflasi negara sebaiknya menggunakan kebijakan anggaran defisit. Pemerintah meminjam dana kepada pihak asing atau swasta sehingga uang yang beredar di dalam negeri bertambah karena adanya pinjaman terseut. Akibatnya pemerintah dapat meningkatkan permintaan barang dan jasa sehingga akan memacu kondisi perekonomian.
Pada saat terjadi inflasi dimana harga-harga naik, pemerintah dapat menggunakan kebijakan anggaran surplus. Dengan kebijkan anggaran surplus pemerintah akan berusaha menghemat pengeluarannya dan mendorong adanya tabungan pemerintah. Kebijakan ini akan mempengarui dan mengurangi permintaan barang dan jasa oleh pemerintah, dan adanya tabungan pemerintah bisa menambah tabungan secara total (agregat).
Inflasi sendiri dapat diartikan sebagai kondisi ketika uang yang beredar melebihi barang yang ada. Walaupun harga terus naik, masyarakat akan terus membeli karena mereka memiliki banyak uang, termasuk juga pemerintah. Dengan mengurangi permintaan barang dan jasa oleh pemerintah jumlah uang yang beredar di masyarakat akan menurun dan harga tidak cepat mengalami kenaikan.
Berkurangnya permintaan dan bertambahnya tabungan dapat menekan laju inflasi. Karena salah satu kebijakan untuk mengatasi inflasi adalah meningkatkan tabungan melalui peningkatan suku bunga. Karena hal ini juga dapat mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Teori ini utarakan oleh AP Lerner. Meurut Lerner anggaran itu berupa pembiayaan yang dilakukan pemerintah dan tidak berpengaruh langsung terhadap pendapatan nasional serta bertujuan pada perluasan kesempatan kerja. Dalam teori Pembiayaan Fungsional pajak tidak perlu ditarik saat tingkat pengangguran tinggi karena dapat mengurangi peluang terciptanya lapangan kerja baru. Adapun inflasi akan diatasi dengan pinjaman pemerintah.
2. Teori Stabil Otomatis
Kebijakan anggaran harus mengatur pengeluaran pemerintah. Hal ini dilihat dari perbandingan antara hasil dan biaya yang dikeluarkan untuk sebuah proyek pembangunan yang akan dibiayai dengan APBN. Dengan demikian keseimbangan anggaran bisa terjadi dengan sendirinya.
3. Teori Pengelolaan Anggaran
Dalam teori pengelolaan anggaran, disebutkan bahwa penerimaan dari pajak atau pinjaman serta pengeluaran negara merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam rangka mewujudkan perekonomian yang mantap dan stabil. Menurut Alvin Hasen yang mengemukakan teori ini, deflasi terjadi ketika harga-harga menjadi murah karena orang tidak mempunyai daya beli, Hal ini menyebabkan perekonomian menjadi lesu.
Pada saat deflasi negara sebaiknya menggunakan kebijakan anggaran defisit. Pemerintah meminjam dana kepada pihak asing atau swasta sehingga uang yang beredar di dalam negeri bertambah karena adanya pinjaman terseut. Akibatnya pemerintah dapat meningkatkan permintaan barang dan jasa sehingga akan memacu kondisi perekonomian.
Pada saat terjadi inflasi dimana harga-harga naik, pemerintah dapat menggunakan kebijakan anggaran surplus. Dengan kebijkan anggaran surplus pemerintah akan berusaha menghemat pengeluarannya dan mendorong adanya tabungan pemerintah. Kebijakan ini akan mempengarui dan mengurangi permintaan barang dan jasa oleh pemerintah, dan adanya tabungan pemerintah bisa menambah tabungan secara total (agregat).
Inflasi sendiri dapat diartikan sebagai kondisi ketika uang yang beredar melebihi barang yang ada. Walaupun harga terus naik, masyarakat akan terus membeli karena mereka memiliki banyak uang, termasuk juga pemerintah. Dengan mengurangi permintaan barang dan jasa oleh pemerintah jumlah uang yang beredar di masyarakat akan menurun dan harga tidak cepat mengalami kenaikan.
Berkurangnya permintaan dan bertambahnya tabungan dapat menekan laju inflasi. Karena salah satu kebijakan untuk mengatasi inflasi adalah meningkatkan tabungan melalui peningkatan suku bunga. Karena hal ini juga dapat mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Contoh Kebijakan Fiskal
Ada berbagai contoh kebijakan fiskal yang
telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya adalah sebagai berikut:
- Semua penduduk wajib memiliki NPWP atau nomor pokok wajib pajak
- Jumlah pajak dari berbagai macam pajak dinaikkan
- Pemerintah menerbitkan obliges
- Negara berhemat dalam pengeluaran anggaran
TUJUAN HIDUP
Pada dasarnya
setiap manusia menginginkan kebahagian dalam kehidupannya baik itu kehidupan
material ataupun kehidupanspiritual. Hanya saja tidak semua orang mampu
menterjemahkan secara komprehensif, keterbatasan dalam menyeimbangkan antara
aspek kehidupan, dan keterbatasan ketersediaan sumberdaya alam yang bisa
digunakan untuk memenuhi kebutuhannya untuk mencapai kebahagiaan tersebut.
Masalah ekonomi hanyalah sebagian kecil dari masalah kehidupan manusia yang
diharapkan mampu membawa manusia kejalan yang membawanya mencapai kebahagiaan
dalam hidup.
1.
Falah sebagai tujuan hidup
Falah dari
bahasa arab dari kata kerja aflaha-yaflihu yang berarti kesuksesan,
kemuliaan, atau kemenangan. Yaitu kemuliaan dan kemenangan hidup manusia dalam
kehidupannya. Dalam alquran istilah falah digunakan untuk kemenangan dan
kebahagiaan jangka panjang, dunia dan akhirat sehingga dalam alqur’an tidak
hanya menekankan pada aspek material akan tetapi lebih ditekankan pada aspek
spiritual. Dalam konsep duniawi, falah memiliki implikasi kepada perilaku
manusia secara individual maupun secara keseluruhan.
Kelangsungan
hidup, kebebasan berkeinginan, serta kekuatan dan kehormatan menjadi pengertian
falah dipandang dari segi falah dunia. Sedangkan falah dalam kehidupan akhirat dapat
diartikan sebagai kelangsungan hidup abadi, kebahagian abadi, kesejahteraan
abadi, dan kemuliaan abadi.
5. Table 1.2. Aspek
mikro dan makro dalam falah
Unsur falah
|
Aspek Mikro
|
Aspek makro
|
Kelangsungan Hidup
|
· Kelangsungan
hidup biologis: kesehatan, kebebasan berketurunan, dan sebagainya
|
· Keseimbangan ekologi dan lingkungan
|
·
Kelangsungan hidup ekonomi: kepemilikan faktor produksi
|
· Pengelolaan sumberdaya
alam
· Penyediaan
kesempatan berusaha untuk semua produk
|
|
· Kelangsungan hidup
sosial: persaudaraan dan harmoni hubungan sosial
|
· Kebersamaa sosial dan
ketidakadaan konflik antarkelompok
|
|
· Kelangsungan hidup
politik: kebebasan partisipasi politik
|
· Jati diri dan kemandirian
|
|
Kebebasan berkeinginan
|
· Terbebas dari
kemiskinan
|
· Penyediaan sumber daya untuk
seluruh penduduk
|
· Kemandirian hidup
|
· Penyediaan SDA untuk generasi akan
datang
|
|
Kekuatan dan harga diri
|
· Harga diri
|
· Kekuatan ekonomi dan terbebas dari
hutang
|
· Kemerdekaan,
perlindungan hidup dan kehormatan
|
· Kekuatan militer
|
Dalam table
terlihat jelas bahwa falah mencakup seluruh aspek hidup manusia baik itu
dari segi spiritual dan moralitas, ekonomi, sosial dan budaya maupun politik.
Misalnya, untuk memperoleh kelangsungan hidup manusia maka secara mikro manusia
membutuhkan (a) pemenuhan kebutuhan biologis seperti kesehatan fisik atau bebas
dari penyakit; (b) kelangsungan hidup ekonomi seperti memiliki sarana untuk
kelangsungan hidup; (c) kelangsungan hidup sosial seperti adanya kelangsungan
hubungan yang harmonis antar individu.
Satu-satunya
kehidupan yang diyakini akan ada dan abadi adalah kehidupan akhirat, oleh
karena itu untuk menghadapi kehidupan yang akan abadi tersebut nilai kauntitas
dan nilai kualitas lebih adalah hal yang utama. Kehidupan dunia adalah
kehidupan yang bersifat sementara dan harus digunakan untuk mencapai falah
kehidupan dunia akhirat.
Dalam menjalani
kehidupan dunia manusia tidak dapat mengesampingkan kehidupan akhirat, namun
pada prakteknya dalam mancapai kebahagian yang diinginkan manusia di dunia
banyak berakibat negatif bagi kehidupan manusia lain dan lingkungan baik jangka
panjang maupun jangka pendek. Akibat dari kesembronoan manusia dalam
berperilaku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai kebahagiaannya seringkali
berakibat pada kegagalan pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam
keadaan seperti ini ekonomi islam muncul sebagai solusi bagaimana manusia bisa
memenuhi kebutuhan materialnya di dunia tanpa meninggalkan dan mengorbankan
kebahagiaan akhirat, sehingga tercapai kebahagian dunia dan akhirat (falah)
6. Sebagaimana
diungkapkan di atas bahwa setiap manusia menginginkan kabahagian selama
hidupnya baik itu kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat kelak. Oleh karena
itu upaya pemenuhan kebutuhan hidup di dunia diusahakan sejalan dengan upaya
untuk mencapai kebahagiaan akhirat
Dalam Islam
kesejahteraan didefinisikan dengan pandangan yang komprehensif tentang
kehidupan. Dalam Islam dapat diartikan dalam dua pengertian:
a.
Kesejahteraan holistik dan seimbang:
dalam hal ini
kehidupan manusia berkecukupan dari segi materi dan diimbangi dengan kehidupan
spiritual serta seimbang dengan kehidupan sosial. Kehidupan manusia harus
seimbang antara kebahagiaan fisik dan jiwa karena dua hal tersebut adalah
bagian terpenting dalam hidup manusia. Manusia juga memiliki kehidupan yang
bersifat individual dan ada juga yang bersifat sosial, kehidupan keduanya harus
seimbang. Manusia akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya jika kehidupan
individu dan sosialnya berjalan seiring secara seimbang.
b.
Kesejahteraan dunia dan akhirat.
Manusia tidak hanya
hidup di dunia saja, ada kehidupan lain yang pasti akan dilalui oleh manusia
yaitu kehidupan akhirat, kehidupan yang akan dilalui setiap manusia setelah
kehancuran kehidupan dunia yang bersifat fana ini. Kehidupan manusia yang
dipenuhi material ditujukan untuk mencapai kebahagian akhirat. Harta yang
dimiliki manusia di dunia digunakan untuk beribadah kepada sang pencipta agar
memperoleh kebahagiaan yang lebih abadi yaitu kebahagiaaan akhirat (falah
akhirat).
Falah di dunia
dan akhirat akan dicapai sesuai dengan kadar usaha yang dilakukan manusia untuk
itu. Secara keseluruhan manusia sering menemukan masalah yang cukup rumit untuk
itu, kadang kala ada pertentangan antara keinginan dan kebutuhan hidup manusia.
Untuk memecahkan masalah tersebut manusia harus menyadari arti kehidupan
di dunia ini, ia harus sadar bahwa ia hidup dimuka bumi Allah sebagai seorang
khalifah yang bertugas membawa kesejahteraan, baik untuk dirinya sendiri, untuk
orang lain ataupun untuk lingkungannya.
2.
Mashlahah sebagai tujuan antara untuk mencapai falah
Kebahagian dan kesejahteraan dapat
tercapai apabila terpenuhi segala kebutuhan hidup manusia baik secara duniawi
maupun ukhrawi. Tercukupinya kebutuhan hidup manusia secara keseluruhan akan
memberikan dampak apa yang disebut dengan mashlahah. Mashlahah adalah
segala bentuk keadaan, baik secara material ataupun non material yang mampu
meningkatkan derajat kemuliaan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan akan
mempertanggung jawabkan kekhalifahannya di hadapan Allah kelak. Menurut Imam
As-Syathibi mashlahah kehidupan manusia itu terdiri dari lima hal, yaitu
agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (‘Aql), keluarga dan keturunan (Nasl),
dan material (maal).secara lebih rinci sebagai berikut:
a.
Agama (dien)
Agama mengajarkan manusia menjalani
kehidupannya secara benar, khusus dalam agama Islam manusia harus menjalankan
aktifitas ekonomi sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Allah yang telah
dijelaskan oleh Nabi Muhammad berdasarkan kepada Al-qur'an. Ukuran baik dan
buruk pada hakikatnya hanya dapat dilihat berdasarkan sejauh mana seseorang
berpegang teguh kepada ajaran Agama dalam menjalankan kehidupannya. Itulah
Fungsi utama dari agama, yaitu sebagai pedoman umat manusia dalam menjalankan
segala macam aktivitasnya.
b.
Jiwa (nafs)
Jiwa dan raga
manusia merupakan ladang kehidupan manusia itu sendiri, apa yang diperoleh oleh
manusia di dunia maupun di akhirat tergantung dari apa yang dilakukan oleh
manusia selama hidupnya, untuk apa dia memanfaatkan jiwa yang telah diberikan
oleh Allah. Jiwa yang benar adalah jiwa yang mampu menjauhi segala sesuatu yang
akan membawa celaka bagi dirinya sendiri baik di dunia maupun di akhirat
(sesuatu yang diharamkan Allah).
c.
Intelektual (‘aql)
Karunia yang
sangat luar biasa yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia adalah
intelektualitas, ilmu dan akal. Allah memberikan hal tersebut hanya kepada
manusia tidak ada makhluk lain di dunia ini yang dikaruniai akal sesempurna
akal manusia. Dengan akal tersebutlah manusia bisa tadabbur terhadap ayat-ayat
Allah yang ada di muka bumi ini.
d.
Keluarga dan keturunan (nasl)
Untuk menjaga
kontinuitas kehidupan, maka manusia harus memelihara keturunan dan keluarganya.
Walaupun sebanarnya manusia meyakini bahwa kehidupan yang akan ia jalani bukan
hanya di dunia saja melainkan juga di akhirat. Manusia akan menjaga
keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat, oleh karena itu kelangsungan
kehidupan dari generasi ke generasi harus diperhatikan.
e.
Material (maal)
Harta sangat
urgen baik dalam kehidupan dunia maupun untuk kehidupan akhirat. Manusia dalam
memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan di dunia membutuhkan harta.
Selain itu manusia juga membutuhkan harta untuk beribadah kepada sang pencipta,
sebagai salah satu bekal untuk menghadapi kehidupan yang kekal yaitu kehidupan
akhirat.
3.
Permasalahan dalam mencapai falah
Banyak
permasalahan dan rintangan yang dihadapi oleh umat manusia untuk mencapai falah.
Permasalahan tersebut seringkali berkaitan antara satu faktor dan faktor
lainnya. Di antara yang menjadi permasalahan bagi manusia dalam mencapai falah
adalah adanya keterbatasan dan kekurangan pada manusia itu sendiri, serta
kemungkinan adanya interdependesi berbagai kehidupan manusia. Masalah lain
adalah terbatasnya sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai
tingkat falah tertinggi dalam kehidupan manusia. Permasalahan sejenis ini lebih
dikenal dengan “kelangkaan atau scarcity”.
Kelangkaan
sumberdaya alam tidak hanya terjadi di negara-negara miskin saja, tetapi bisa
saja terjadi di negara maju sekalipun. Kelangkaan ini terjadi sebagai akibat
dari semakin banyaknya manusia yang tersebar diseluruh penjuru dunia, sementara
manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaat segala sesuatu
yang telah ada di alam semesta.
Sang pencipta
menjadikan alam semesta ini untuk semua makhluk hidup dan dengan sumberdaya
yang bisa dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup. Alam semesta ini juga
tercipta dengan ukuran yang akurat dan cermat sehingga keberadaanya memadai
untuk memenuhi semua kebutuhan hidup makhluk ciptaan-Nya. oleh karena itu, pada
dasarnya kelangkaan yang terjadi sebenarnya hanyalah kelangkaan yang bersifat
relatif, kelangkaan tersebut di sebabkan oleh:
a.
Ketidakmerataan distribusi sumber daya
Sumber daya yang
dimaksud di sini adalah sumber daya manusia dan sumber daya alam. Allah
menciptakan keberagaman dalam ciptaannya, ada daerah yang kaya sumber daya
alam, akan tetapi miskin sumber daya manusia yang akan mengelola sumber daya
alam tersebut. Ada juga daerah yang kaya sumber daya manusia, tetapi memiliki
sedikit sumber daya alam. Hal ini merupakan cobaan bagi manusia agar mampu
menciptakan inovasi untuk mengelola sumber daya yang ada untuk menciptakan
terpenuhinya semua kebutuhan hidup.
b.
Keterbatasan manusia
Meskipun manusia
diciptakan sebagai makhluk paling sempurna dibandingkan dengan makhluk
lainnnya, manusia tetap memiliki kekurangan. Kekurangan dan keterbatasan
tersebut menyebabkan kelangkaan relatif dalam kehidupan ekonomi manusia. Baik
itu kekurangan kemampuan ilmu untuk mengelola sumberdaya yang tersedia ataupum
keterbatasan tekhnologi yang digunakan.
Bahkan terkadang
tingkah laku manusia itu sendiri juga mengakibatkan kelangkaan relatif ini,
sebagai contoh, sifat tamak dan serakah yang dimiliki manusia bisa menyebabkan
kelangkaan karena ia menghabiskan sumberdaya yang ada untuk memenuhi kebutuhan
jangka pendek saja tanpa memikirkan kebutuhan jangka panjang.
c.
Konflik antartujuan hidup
Kadangkala
terjadi pertentangan tujuan hidup yang ingin dicapai seseorang. Misalnya ada
pertentangan tujuan hidup di dunia (tujuan jangka pendek), dengan tujuan hidup
untuk mencapai falah dunia dan akhirat (tujuan jangka panjang). Untuk mencapai
kepuasan di dunia, manusia bisa saja memakai hak orang lain secara paksa atau
merampas hak orang lain akan tetapi dengan cara tersebut ia tidak akan
mendapatkan falah di akhirat
Dari
masalah yang disebutkan di atas itu, ilmu ekonomi berperan menyelasaikan
masalah kelangkaan relatif ini sehingga dapat mencapai falah di dunia dan falah
di akhirat. Falah dapat diukur dengan tingkat mashlahah yang diperoleh.
Kelangkaan tidak hanya terjadi dengan sendirinya akan tetapi juga bisa terjadi
karena ulah manusia itu sendiri, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Oleh karena itu ilmu ekonomi Islam mencakup tiga aspek dasar yaitu sebagai
berikut:
a. Konsumsi.
yaitu komoditas
apa yang dibutuhkan untuk mencapai mashlahah. Masyarakat harus memilih
dan menentukan komoditas apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai mashlahah.
Pada dasarnya sumber daya alam yang tersedia bisa memenuhi semua kebutuhan
manusia akan tetapi harus dipilih komoditas apa yang benar-benar dibutuhkan
untuk mencapai falah.
b. Produksi.
yaitu bagaimana komoditas yang dibutuhkan
itu bisa digunakan untuk mencapai falah. Masyarakat harus menentukan
bagaimana cara memproduksi, siapa yang akan memproduksi dan seberapa banyak
komoditas tersebut harus diproduksi agar mampu menciptakan mashlahah.
c. Distribusi.
yaitu bagaimana komoditas yang diproduksi
tersebut di salurkan kepada masyarakat agar setiap orang mampu mancapai mashlahah.
Masyarakan harus memilih siapa yang berhak menerima barang dan jasa tertentu
agar tercipta falah yang diinginkan. Ilmu ekonomi berkewajiban
mendistribusikan sumber daya dan pemanfaatannya secara adil dan merata sehingga
setiap orang merasakan falah yang hakiki.
Hubungan Kebijakan Fiskal Dengan Pembangunan
Kebijakan
fiskal sangat berhubungan erat dengan pembangunan. Kebijakan fiskal yang
dijalankan dengan baik dan sesuai dengan perekonomian akan memacu proses
pembangunan. Berikut ini merupakan usaha-usaha yang dapat dilakukan melalui
kebijakan fiskal agar pembangunan dapat bekembang pesat.
- Memacu pembentukan modal yang dibutuhkan pembangunan.
- Menjalankan kebijakan fiskal dengan menjaga pengeluaran dan penerimaan negara sehingga tetap seimbang serta menghindari pengeluaran berlebih. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang kegiatan fiskal terhadap pengusaha tertentu, seperti pemberian modal
Hubungan Pemerintah Daerah dengan Pusat Dalam Kebijakan
Fiskal
Hubungan antara pemerintah daerah dan pusat
dalam kebijakan fiskal didasarkan pada 4 prinsip, yaitu sebagai berikut:
- Tugas pemerintah pusat di daerah didanai APBN.
- Tugas pemerintah daerah didanai APBD.
- Seandainya daerah belum bisa mencukupi biaya daerah, pemerintah pusat memberikan dana bantuan.
- Tugas pemerintah pusat atau daerah dalam rangka bantuan pembangunan didanai pihak yang menugaskan. Dalam hal ini dapat dibiayai APBD atau APBN.
0 komentar:
Posting Komentar