BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Ilmu Ushul Fiqh merupakan
metode dalam menggali dan menetapkan hukum yang berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara
benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqih dapat
ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya
bertentangan dengan dalil lainnya melaluai ijtihad.
Dalam
berijtihad orang awam yang tidak mampu menggali hukum Islam sendiri atau belum
sampai pada tingkatan sanggup untuk berijtihad sendiri hukum-hukum Islam, maka
diperbolehkan bagi mereka mengikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang
dipercayainya dengan cara taqlid atau secara itiba.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian ijtihad, itiba dan
taqlid?
2.
Bagaimana konsep hukum berijtihad,
itiba dan taqlid?
C.
Manfaat dan
Tujuan
1.
Untuk mengetauhi pengertian
ijtihad, itiba dan taqlid.
2.
Untuk mengetahui konsep hukum
berijtihad, itiba dan taqlid.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ijtihad, Itiba dan Taqlid
a.
Ijtihad
Ijtihad di tinjau darisegi
etimologi berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk masdar yang dapat dibentuk
dari kata jahada, yaitu: Pertama , kata jahd, yang mengandung arti kesungguhan,
arti ini sejalan dengan firman allah dalam surat al-an’am (6): 109[1]
وَأَقْسَمُوا
بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَتْهُمْ آيَةٌ لَيُؤْمِنُنَّ بِهَا ۚ
قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِنْدَ اللَّهِ ۖ
وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لَا يُؤْمِنُونَ
Terjemahnya: Mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika
datang kepada mereka sesuatu mu jizat, pastilah mereka beriman kepada-Nya.
Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu hanya berada di sisi
Allah". Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat
datang mereka tidak akan beriman.
Kedua kata
juhd dengan arti adanya kemampuan yang ada di dalamnya terkandung makna sulit,
berat, dan susah. Pengertian ini sejalan dengan firman allah surat at-taubah
(9): 79
الَّذِينَ
يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ
لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ ۙ
سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Terjemahnya: (Orang-orang
munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi
sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk
disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu
menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka
azab yang pedih.
Perubahan
dari kata jahada menjadi ijtahada mengandung beberapa arti, diantaranya ialah,
li al-mubalaghah, yaitu menunjuk penekanan arti. Dengan demikian, dari kedua
bentuk masdar diatas terdapat kandumgan makna kesungguhan atau kemampuan yang
maksimum.
Adapun
ijtihad secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama,
yang pada umumnya menunjukan pengertian yang hampir sam, dan satu definisi
dengan definisi lainnya bersifat saling melengkapi. Definisi-definisi tersebut,
antara lain:
1.
Menurut Ibnu as-Subki:
بحكمشرعي الظني إستفراغ
الفقيۃ
الوسع لتحصيل
Pengerahan
kemampuan seorang ahli fiqih untuk menghasilkan hukum syara yang bersifat zhani
2.
Menurut al-Amidi
ٳستفراغ
الوسع في طلب الظن بشيء من الأحكام الشرعية بحيث يحس من النفس العجز عن المزيد فيه
Pengerahan
kemampuan secara maksimum, dalam menemukan hukum syara yang bersifat dzani,
sehingga merasa tidek mampu menghasilkan
lebih dari temuan tersebut.
3.
Menurut al-Saukani
الإستنباط بطريق عملي شرعي حكم نيل في الوسع بذل
Pengerahan
kemampuan dalam mencapai hukum syara yang bersifat amamliyayh menggunakan
metode istinbath
4.
Menurut Muhamad Abu Zahra:
التفصيلية أدلتها من العملية الأحكام إستنباط في وسعه الفقية بذل
Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqih untuk menggali
hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah dari dalil-dalil yang bersifat
terperinci.
Dari empat
definisi yang dikutip diatas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ijtihad
memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut:
1.
Pengerahan kemampuan nalar secara
maksimum dari orang yang berpredikat sebagai mujtahid.
2.
Menggunakan metode isthimbath
(penggalian hukum)
3.
Objek ijtihad adalah dalil-dalil
syara yang terperinci.
4.
Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan
hkum syara berkaitan dengan masalah-masalah amaliyyah (bukan yang
berkaitan dengan masalah aqidah atau aklak).
5.
Hukum syara yang ditentukan
bersiafat dzani (kuat dugaan), bukan yang besifat qath’i (pasti
benar).
Definisi
diatas juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mujtahid ialah orang yang
mengerahkan kemampuan nalarnya secara meksimum untuk menemukan hukum-hukum
syara dari dalil-dalil syara melalui metode penggalian hukum tertentu yang
berkaitan dengan maslah-masalah amaliyyah. Dengan fungssi mujtahid bukanlah
menciptakan atau menetakan hukum diluar hukum syara (mutsbit li al-hukm),
yang pada hakikatnya memang telah ada tetapi masih tersembunyi.
b.
Taqlid
Kata taqlid (تقليد) berasal dari
fi’il madhi (kata dasar) تقلد dan قلد
yang secara lughowi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Kata taqlid
mempunyai hubungan rapat dengan kata qaladah (قلادة) sedangkan qaladah sendiri itu berarti kalung. Menurut asalnya, قلادة (kalung) itu digunakan untuk
sesuatu yang diletakan membelit leher seekor hewan; dan hewan yang dikalungi
itu mengikuti sepenuhnya kemana saja kalung itu ditarik orang. Kalau yang
dijadikan “kalung” itu adalah “pendapat” atau “perkataan” seseorang, maka
berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti “pendapat” orang itu tanpa
mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian.
Dari uraian diatas, maka jelas bahwa secara
lughowi bila dikatakan, “si A ber-taqlid kepada si B”, berarti si
A mengikuti pendapat si B itu dengan patuh tanpa merasa perlu mengetahui kenapa
pendapat si B begitu.Dari taqlid menurut pengertian lughowi itu
berkembang menjadi istilah hukum yang haikatnya tidak berjauhan dari maksud lughowi
itu. Diantara definisi tentang taqlid tersebut, ialah:[2]
1. Al-Ghazali memberikan definisi :
قبول قول بلا حجة
Menerima ucapan tanpa hujjah
2. Al-Asnawi dalam kitab Nihayat al-Ushul mengemukakan definisi :
التقليد هو الاخذ القول من غير دليل
Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil
3. Ibn Suki dalam kitab Jam’ul Jawami’ merumuskan definisi :
التقليد
اخذ القول من غير معرفة دليل
Taqlid ialah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.
Ibn al-Humman (dari kalangan ulama Hanafiyah) memberikan definisi lebih
lengkap yang menjelaskan kesamaran yang terdapat dalam ketiga definisi diatas,
yaitu :
التقليد العمل بقول من ليس قوله احدى الحجج بلا حجة منها
Taqlid adalah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu
bukan merupakan hujah, tanpa mengetahui hujahnya.
Sehubungan dengan definisi tersebut, maka menerima pendapat Nabi yang
bernilai hujah dengan sendirinya, begiiiyytupula jika menerima pendapat yang
lahir dari kesepakatan ijma’, maka tidak disebut taqlid, meskipun pada waktu
menerimanya tanpa hujah atau tidak mengetahui dalilnya. Sebaliknya, pendapat
mujtahid secara perseorangan adalah bukan hujah, maka bila seseorang mengikuti
pendapat mujtahid itu tanpa mengetahui dalilnya, disebut taqlid.
Dari penjelasan dan analisis tentang definisi-definisi diatas, dapat
dirumuskan hakikat taqlid, yaitu :
1. Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan dan pendapat orang
lain.
2. Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujah.
3. Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab
sebab atau dalil dalil dan hujah dari pendapat yang diikutinya itu.
c.
Ittiba’
Ittiba`Menurut
bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari
kata ittaba’a (اتَبَعَ) yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya
diantaranya iqtifa’ (اقتفاء) (menelusuri jejak),
qudwah (قدوة) (bersuri
teladan) dan uswah (أسوة) (berpanutan).
Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya.
Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan
mencontoh. Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat
seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil
yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan :
"Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka
engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti).
Menurut
ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan,
yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah
melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi
Muhammad SAW.
Definisi
lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu
mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan
hujjah atau nash. Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak
membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya
dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang
lain.Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat
dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
B.
Hukum ijtihad
taqlid dan itiba
a.
ijtihad
Setiap
perbuatan mukallaf tidak terlepas dari kemungkinan diberi predikat salah satu
dari hukum taklifi yang lima (ahkam at-taklifi al-khamsah) yaitu:
wajib, sunah, haram makruh dan atau mubah. Karena kegiatan melaksanakan ijtihad
juga termasuk perbuatan mukallaf, maka perbuatan tersebut juga memiliki
kemungkinan diberi predikat salah satu hukum tersebut, sesuai dengan sabab,
syarat dan maninya serta tergantung pada ada atau tidak illah
hukumnya. Hukum melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:[3]
1.
Apabila seseorang memenuhi syarat
untuk melakukann ijtihad dan dirinya menghadapai masalah hukum yang perlu
segera mendapat jawaban hukum, maka ia wajib (fardhu ain) melakukan
kegiatan ijtihad. Ia wajib mengamalkan hasil ijtihadnya, dan tidak boleh
bertaqlid pada mujtahid lainya.
2.
Demikian juga , jika hanya ia yang
memenuhi persyaratan ijtihad dan tidak ada yang lainnya, sedangkann ia ditanya
orang tentang masalah hukum yang memerlukan jawaban hukum yang sifatnya segera,
yang jika ia tidak berijtihad, akan menjadi kesalahan dalam menetapkan hukum
syara. Hukum melakukan ijtihad pada keadaan seperti itu adalah wajib baginya.
Akan tetapi, jika ada orang yang lain memenuhi syarat berijtihad selain
dirinya, maka ketika itu hukum berijtihad menjadi fardhu kifayah baginya.
Artinya ia bebas dari kewajiban tersebut, jika kegiatan ijtihan dilakukan oleh
mujtahid lainnya. Tetapi jika tidak ada yang melaksanakannya, maka mereka semua
yang memenuhi syarat berijtihad menjadi berdosa .
3.
Hukum berijtihad adalah sunah,
apabila ijtihad dilakukan untuk mengetahui hukum-hukum maslah yang belum
terjadi, baik masalah itu ditanyakan orang pada simujtahid ataupun tidak.
Demikian juga terhadap masah-masalah yang sudah terjadi, tetapi tidak
memerlukan jawaban hukum yang bersifat segera .
4.
Hukum melakukan ijtihad menjadi
haram, apabila ditunjukan terhadap masalah-maslah yang jelas hukumnya
berdasarka nash al-Quran maupun sunah yang bersifat qathi ats-tsubut
wa ad-dalalah.
5.
Sedangkan terhadap masalah-maslah
yang tidak disarkan atas nash yang bersifat qathi ats-tsubut al-wurud
wa ad-dalalah, maka hukumnya adalah mubah.
b.
Taqlid
Dalam al-Quran
terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang orang islam ikut-ikutan dalam
nenjalankan ajaran agama, diantaranya terdapat dalam:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Terjemahnya: Dan Kami tidak
mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada
mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui. (Qs. An-Nahl: 43)
Hal tersebut
juga terdapat dalam surat al-luqman (31): 21
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا
وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ
أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ
Terjemahnya: Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan
Allah". Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa
yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka (akan
mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam
siksa api yang menyala-nyala (neraka)? (Qs. Al-Luqman:21)
Dalam masalah
taqlid dalam bidang furu’iyah, ibnu subki mengelompokan umat kepada empat
kelompok yaitu:
1.
Orang awam yang tidak mempunyai
keahlian sam sekali.
2.
Orang alim namun belum mencapai
tingkat mujtahid.
3.
Orang yang mampu melakukan ijtihad
namun baru sampai ke tingkat dugaan kuat (zhan)
4.
Mujtahid.
Kebolehan
bertaqlid tergantung pada peringkat pada pengkelopoan tersebut. Orang yang
telah sampai ke tingkat mampu berijtihad tetapi baru sampai ketingkat zhan
disamakan kedudukannya dengan mujtahid penuh oleh ibnu subki. Kelompok orang
dalam peringkat ini dalm melakukan taqlid dipisahkan lagi oleh al-raji dalm dua
keadaan:
1.
Ia bertaqlid pada mujtahid lain
dalam masalah yang sama yang hasil ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihadnya
sendiri.
2.
Dalm masalah yang ia taqlidi ini,
ia belum pernah melakukan ijtihad.
Dalam hal
pertama al-raji mengemukakan ijma ulama yang menetapkan tidak bolehnya mujtahid
bertaqlid pada mujtahid lain. Alasannya bahwa betaqlid itu ia akan mengikuti
dan beramal dengan sesuatu yang bertentangan dengan pandangannya sendiri. Hal
ini adlah sesuatu tidaklah salah, karena ia beramal dengan sesuatu yang
menyalahi keyakinan sendiri.
Adapun orang
yang bertaqlidnya pada orang yang telah mencapai derajat mujtahid dalam masalah
yang belum diijtihadinya, ulama berbeda pendapat diantaranya:
1. Mayoritas ulama
berbeda pendapat bahwa haram hukumnya mujtahid mel akukan taqlid secara mutlaq. Alasannya adalah
surat al-hasyr (59): 2
فَٱعْتَبِرُوا۟
يَٰٓأُو۟لِى
ٱلْأَبْصَٰرِ
Terjemahnya:
ambilah itibar darimu hai orang-orang yang beriman
2.
Menurut ahmad ibnu hambal, ishaq
bin rahawaih dan sofyan al-tsausuri, boleh seorang mujtahid melakukan taqlid
secara mutlaq. Alasannya adalah firman allah surat an-nahl (16): 2
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Terjemahnya: Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui, (Qs. an-Nahl: 2)
c.
Ittiba
Ittiba’
bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang
mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”, Hukum ittiba’
adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah,
sebagaimana firmannya:
اِتَّبِعُوْا
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ
أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ .
Terjemahnya: Ikuti
apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia
sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf:3)
Dalam ayat
tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah
mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.
Di samping itu
juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِى وَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى ـ (رواه ابو داود
Artinya: Wajib
atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin
sesudahku. (HR.Abu Daud)
Pendapat Ulama
Mengenai Ittiba Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti
atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh
Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain
dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.Ittiba’ dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu :
a.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan
b.
Ittiba’ kepada selain Allah dan
Rasul-Nya.
Ittiba’ kepada
Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat
Al-A’raf [7]: 3
اِتَّبِعُوْا
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ
أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ
.
Terjemahnya: “Ikuti
apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia
sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”. Al-A’raf (7): 3
Mengenai
ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat
perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada
Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulama yang
dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah
Al-Nahl [16]: 43
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Terjemahnya: Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui. Surah Al-Nahl (160): 43
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang
punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang
ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman
semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan
banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran
dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada
orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang
muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berititba’. Bila seseorang
tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib
bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar
mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin
sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan
karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh
pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian,
seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan
kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada
mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan
keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan
kepada beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti
ulama A dan dalam masalah lai mengikuti ulama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijtihad di tinjau darisegi
etimologi berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk masdar yang dapat dibentuk
dari kata jahada, yaitu:Pertama , kata jahd, yang mengandung arti kesungguhan Pengerahan kemampuan seorang ahli
fiqih untuk menghasilkan hukum syara yang bersifat zhani
Kata taqlid
(تقليد) berasal dari fi’il madhi (kata
dasar) تقلد dan قلد
yang secara lughowi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Taqlid secara istilah ialah mengambil suatu
perkataan tanpa mengetahui dalil.
Ittiba`Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata
bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ) yang berarti
mengikuti. Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat
seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil
yang dipakai oleh ulama tersebut.
Setiap
perbuatan ijtihad para mukallaf tidak terlepas dari kemungkinan diberi predikat
salah satu dari hukum taklifi yang lima (ahkam at-taklifi al-khamsah)
yaitu: wajib, sunah, haram makruh dan atau mubah, Kebolehan bertaqlid
tergantung pada peringkat pada pengkelopoan tersebut. Orang yang telah sampai
ke tingkat mampu berijtihad tetapi baru sampai ketingkat zhan disamakan
kedudukannya dengan mujtahid penuh, Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa
alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan,
dinamakan “Muttabi”, Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena
ittiba’ adalah perintah oleh Allah.
B.
Saran
Tiada gading
yang tak retak karena sesunggunhnya kesempurnaan itu hanya milik allah semata,
kritik dan saran sangat kami butuhkan agar lebih maju kedepannya dan kami
berharap makalah ini bermanfaat bagi para pembacanya.
Daftar Pustaka
Al-Quddat, Abdul Whab Bin Ali Bin Abdul
Kafias-Subki Abu Nasr Qadhi. 2009, Jam’u Jawami, Surabaya: Al-Rusydi.
Khalaf, Abdul Wahab. 1998, Ilmu Ushul Fiqih,
Surabaya: Darul Al-Qalam.
Syafei, Rahmad. 2014, Ilmu Ushul Fiqih,
Bandung: Pustaka Setia.
0 komentar:
Posting Komentar