Senin, 08 Oktober 2018

ijtihad, itiba dan taqlid



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Pendahuluan
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum yang berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqih dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya melaluai ijtihad.
Dalam berijtihad orang awam yang tidak mampu menggali hukum Islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan sanggup untuk berijtihad sendiri hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi mereka mengikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang dipercayainya dengan cara taqlid atau secara itiba.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ijtihad, itiba dan taqlid?
2.      Bagaimana konsep hukum berijtihad, itiba dan taqlid?
C.      Manfaat dan Tujuan
1.      Untuk mengetauhi pengertian ijtihad, itiba dan taqlid.
2.      Untuk mengetahui konsep hukum berijtihad, itiba dan taqlid.






BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ijtihad, Itiba dan Taqlid
a.         Ijtihad
Ijtihad di tinjau darisegi etimologi berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk masdar yang dapat dibentuk dari kata jahada, yaitu: Pertama , kata jahd, yang mengandung arti kesungguhan, arti ini sejalan dengan firman allah dalam surat al-an’am (6): 109[1]
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَتْهُمْ آيَةٌ لَيُؤْمِنُنَّ بِهَا ۚ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لَا يُؤْمِنُونَ
Terjemahnya:  Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mu jizat, pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu hanya berada di sisi Allah". Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman.
Kedua kata juhd dengan arti adanya kemampuan yang ada di dalamnya terkandung makna sulit, berat, dan susah. Pengertian ini sejalan dengan firman allah surat at-taubah (9): 79
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ ۙ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Terjemahnya:  (Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.
Perubahan dari kata jahada menjadi ijtahada mengandung beberapa arti, diantaranya ialah, li al-mubalaghah, yaitu menunjuk penekanan arti. Dengan demikian, dari kedua bentuk masdar diatas terdapat kandumgan makna kesungguhan atau kemampuan yang maksimum.
Adapun ijtihad secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama, yang pada umumnya menunjukan pengertian yang hampir sam, dan satu definisi dengan definisi lainnya bersifat saling melengkapi. Definisi-definisi tersebut, antara lain:
1.      Menurut Ibnu as-Subki:
بحكمشرعي  الظني إستفراغ الفقيۃ الوسع لتحصيل
Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqih untuk menghasilkan hukum syara yang bersifat zhani
2.      Menurut al-Amidi
ٳستفراغ الوسع في طلب الظن بشيء من الأحكام الشرعية بحيث يحس من النفس العجز عن المزيد فيه
Pengerahan kemampuan secara maksimum, dalam menemukan hukum syara yang bersifat dzani, sehingga merasa tidek mampu  menghasilkan lebih dari temuan tersebut.
3.      Menurut al-Saukani
الإستنباط بطريق عملي شرعي حكم نيل في الوسع بذل
Pengerahan kemampuan dalam mencapai hukum syara yang bersifat amamliyayh menggunakan metode istinbath
4.      Menurut Muhamad Abu Zahra:
التفصيلية أدلتها من العملية الأحكام إستنباط في وسعه الفقية بذل
Pengerahan  kemampuan seorang ahli fiqih untuk menggali hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah dari dalil-dalil yang bersifat terperinci.
Dari empat definisi yang dikutip diatas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ijtihad memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut:
1.      Pengerahan kemampuan nalar secara maksimum dari orang yang berpredikat sebagai mujtahid.
2.      Menggunakan metode isthimbath (penggalian hukum)
3.      Objek ijtihad adalah dalil-dalil syara yang terperinci.
4.      Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan hkum syara berkaitan dengan masalah-masalah amaliyyah (bukan yang berkaitan dengan masalah aqidah atau aklak).
5.      Hukum syara yang ditentukan bersiafat dzani (kuat dugaan), bukan yang besifat qath’i (pasti benar).
Definisi diatas juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mujtahid ialah orang yang mengerahkan kemampuan nalarnya secara meksimum untuk menemukan hukum-hukum syara dari dalil-dalil syara melalui metode penggalian hukum tertentu yang berkaitan dengan maslah-masalah amaliyyah. Dengan fungssi mujtahid bukanlah menciptakan atau menetakan hukum diluar hukum syara (mutsbit li al-hukm), yang pada hakikatnya memang telah ada tetapi masih tersembunyi.
b.        Taqlid
Kata taqlid (تقليد) berasal dari fi’il madhi (kata dasar) تقلد dan قلد yang secara lughowi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Kata taqlid mempunyai hubungan rapat dengan kata qaladah (قلادة) sedangkan qaladah sendiri itu berarti kalung. Menurut asalnya, قلادة (kalung) itu digunakan untuk sesuatu yang diletakan membelit leher seekor hewan; dan hewan yang dikalungi itu mengikuti sepenuhnya kemana saja kalung itu ditarik orang. Kalau yang dijadikan “kalung” itu adalah “pendapat” atau “perkataan” seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti “pendapat” orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian.
Dari uraian diatas, maka jelas bahwa secara lughowi bila dikatakan, “si A ber-taqlid kepada si B”, berarti si A mengikuti pendapat si B itu dengan patuh tanpa merasa perlu mengetahui kenapa pendapat si B begitu.Dari taqlid menurut pengertian lughowi itu berkembang menjadi istilah hukum yang haikatnya tidak berjauhan dari maksud lughowi itu. Diantara definisi tentang taqlid tersebut, ialah:[2]
1.      Al-Ghazali memberikan definisi :
قبول قول بلا حجة
Menerima ucapan tanpa hujjah
2.      Al-Asnawi dalam kitab Nihayat al-Ushul mengemukakan definisi :
التقليد هو الاخذ القول من غير دليل
Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil
3.      Ibn Suki dalam kitab Jam’ul Jawami’ merumuskan definisi :
التقليد اخذ القول من غير معرفة دليل
Taqlid ialah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.
Ibn al-Humman (dari kalangan ulama Hanafiyah) memberikan definisi lebih lengkap yang menjelaskan kesamaran yang terdapat dalam ketiga definisi diatas, yaitu :
التقليد العمل بقول من ليس قوله احدى الحجج بلا حجة منها
Taqlid adalah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujah, tanpa mengetahui hujahnya.
Sehubungan dengan definisi tersebut, maka menerima pendapat Nabi yang bernilai hujah dengan sendirinya, begiiiyytupula jika menerima pendapat yang lahir dari kesepakatan ijma’, maka tidak disebut taqlid, meskipun pada waktu menerimanya tanpa hujah atau tidak mengetahui dalilnya. Sebaliknya, pendapat mujtahid secara perseorangan adalah bukan hujah, maka bila seseorang mengikuti pendapat mujtahid itu tanpa mengetahui dalilnya, disebut taqlid.
Dari penjelasan dan analisis tentang definisi-definisi diatas, dapat dirumuskan hakikat taqlid, yaitu :
1.      Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan dan pendapat orang lain.
2.      Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujah.
3.      Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab sebab atau dalil dalil dan hujah dari pendapat yang diikutinya itu.
c.         Ittiba’
Ittiba`Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ) yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa’ (اقتفاء) (menelusuri jejak), qudwah (قدوة) (bersuri teladan) dan uswah (أسوة) (berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh. Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti).
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).

B.       Hukum ijtihad taqlid dan itiba
a.         ijtihad
Setiap perbuatan mukallaf tidak terlepas dari kemungkinan diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang lima (ahkam at-taklifi al-khamsah) yaitu: wajib, sunah, haram makruh dan atau mubah. Karena kegiatan melaksanakan ijtihad juga termasuk perbuatan mukallaf, maka perbuatan tersebut juga memiliki kemungkinan diberi predikat salah satu hukum tersebut, sesuai dengan sabab, syarat dan maninya serta tergantung pada ada atau tidak illah hukumnya. Hukum melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:[3]
1.      Apabila seseorang memenuhi syarat untuk melakukann ijtihad dan dirinya menghadapai masalah hukum yang perlu segera mendapat jawaban hukum, maka ia wajib (fardhu ain) melakukan kegiatan ijtihad. Ia wajib mengamalkan hasil ijtihadnya, dan tidak boleh bertaqlid pada mujtahid lainya.
2.      Demikian juga , jika hanya ia yang memenuhi persyaratan ijtihad dan tidak ada yang lainnya, sedangkann ia ditanya orang tentang masalah hukum yang memerlukan jawaban hukum yang sifatnya segera, yang jika ia tidak berijtihad, akan menjadi kesalahan dalam menetapkan hukum syara. Hukum melakukan ijtihad pada keadaan seperti itu adalah wajib baginya. Akan tetapi, jika ada orang yang lain memenuhi syarat berijtihad selain dirinya, maka ketika itu hukum berijtihad menjadi fardhu kifayah baginya. Artinya ia bebas dari kewajiban tersebut, jika kegiatan ijtihan dilakukan oleh mujtahid lainnya. Tetapi jika tidak ada yang melaksanakannya, maka mereka semua yang memenuhi syarat berijtihad menjadi berdosa .
3.      Hukum berijtihad adalah sunah, apabila ijtihad dilakukan untuk mengetahui hukum-hukum maslah yang belum terjadi, baik masalah itu ditanyakan orang pada simujtahid ataupun tidak. Demikian juga terhadap masah-masalah yang sudah terjadi, tetapi tidak memerlukan jawaban hukum yang bersifat segera .
4.      Hukum melakukan ijtihad menjadi haram, apabila ditunjukan terhadap masalah-maslah yang jelas hukumnya berdasarka nash al-Quran maupun sunah yang bersifat qathi ats-tsubut wa ad-dalalah.
5.      Sedangkan terhadap masalah-maslah yang tidak disarkan atas nash yang bersifat qathi ats-tsubut al-wurud wa ad-dalalah, maka hukumnya adalah mubah.
b.        Taqlid
Dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang orang islam ikut-ikutan dalam nenjalankan ajaran agama, diantaranya terdapat dalam:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Terjemahnya:  Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Qs. An-Nahl: 43)
Hal tersebut juga terdapat dalam surat al-luqman (31): 21
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ
Terjemahnya:  Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? (Qs. Al-Luqman:21)
Dalam masalah taqlid dalam bidang furu’iyah, ibnu subki mengelompokan umat kepada empat kelompok yaitu:
1.      Orang awam yang tidak mempunyai keahlian sam sekali.
2.      Orang alim namun belum mencapai tingkat mujtahid.
3.      Orang yang mampu melakukan ijtihad namun baru sampai ke tingkat dugaan kuat (zhan)
4.      Mujtahid.
Kebolehan bertaqlid tergantung pada peringkat pada pengkelopoan tersebut. Orang yang telah sampai ke tingkat mampu berijtihad tetapi baru sampai ketingkat zhan disamakan kedudukannya dengan mujtahid penuh oleh ibnu subki. Kelompok orang dalam peringkat ini dalm melakukan taqlid dipisahkan lagi oleh al-raji dalm dua keadaan:
1.      Ia bertaqlid pada mujtahid lain dalam masalah yang sama yang hasil ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihadnya sendiri.
2.      Dalm masalah yang ia taqlidi ini, ia belum pernah melakukan ijtihad.
Dalam hal pertama al-raji mengemukakan ijma ulama yang menetapkan tidak bolehnya mujtahid bertaqlid pada mujtahid lain. Alasannya bahwa betaqlid itu ia akan mengikuti dan beramal dengan sesuatu yang bertentangan dengan pandangannya sendiri. Hal ini adlah sesuatu tidaklah salah, karena ia beramal dengan sesuatu yang menyalahi keyakinan sendiri.
Adapun orang yang bertaqlidnya pada orang yang telah mencapai derajat mujtahid dalam masalah yang belum diijtihadinya, ulama berbeda pendapat diantaranya:
1.      Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa haram hukumnya mujtahid mel akukan taqlid secara mutlaq. Alasannya adalah surat al-hasyr (59): 2
فَٱعْتَبِرُوا۟ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ
Terjemahnya: ambilah itibar darimu hai orang-orang yang beriman
2.      Menurut ahmad ibnu hambal, ishaq bin rahawaih dan sofyan al-tsausuri, boleh seorang mujtahid melakukan taqlid secara mutlaq. Alasannya adalah firman allah surat an-nahl (16): 2
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Terjemahnya:  Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (Qs. an-Nahl: 2)
c.         Ittiba
Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”, Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:
اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ .
Terjemahnya:  Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf:3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.
Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى ـ (رواه ابو داود
Artinya: Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (HR.Abu Daud)
Pendapat Ulama Mengenai Ittiba Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a.       Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
b.      Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf [7]: 3
اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ .
Terjemahnya:  “Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”. Al-A’raf (7): 3
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulama yang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Terjemahnya:  Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. Surah Al-Nahl (160): 43
       Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.
       Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lai mengikuti ulama.















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Ijtihad di tinjau darisegi etimologi berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk masdar yang dapat dibentuk dari kata jahada, yaitu:Pertama , kata jahd, yang mengandung arti kesungguhan Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqih untuk menghasilkan hukum syara yang bersifat zhani
Kata taqlid (تقليد) berasal dari fi’il madhi (kata dasar) تقلد dan قلد yang secara lughowi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Taqlid secara istilah ialah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.
Ittiba`Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ) yang berarti mengikuti. Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut.
Setiap perbuatan ijtihad para mukallaf tidak terlepas dari kemungkinan diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang lima (ahkam at-taklifi al-khamsah) yaitu: wajib, sunah, haram makruh dan atau mubah, Kebolehan bertaqlid tergantung pada peringkat pada pengkelopoan tersebut. Orang yang telah sampai ke tingkat mampu berijtihad tetapi baru sampai ketingkat zhan disamakan kedudukannya dengan mujtahid penuh, Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”, Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah.
B.       Saran 
Tiada gading yang tak retak karena sesunggunhnya kesempurnaan itu hanya milik allah semata, kritik dan saran sangat kami butuhkan agar lebih maju kedepannya dan kami berharap makalah ini bermanfaat bagi para pembacanya.
Daftar Pustaka
Al-Quddat, Abdul Whab Bin Ali Bin Abdul Kafias-Subki Abu Nasr Qadhi. 2009, Jam’u Jawami, Surabaya: Al-Rusydi.
Khalaf, Abdul Wahab. 1998, Ilmu Ushul Fiqih, Surabaya: Darul Al-Qalam.
Syafei, Rahmad. 2014, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.


[1] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih (Surabaya: Darul Al-Qalam, 1998), hl.135
[2] Rahmad Syafei, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia ,2014), hl.97
[3] Abdul Wahab Bin Ali Bin Abdul Kafi As-Subki Abu Nasr Qadhi Al-Quddat, Jam’u Jawami, terj: Muhamad Afnan (Surabaya: Al-Rusydi, 2013) hl.127

0 komentar:

Posting Komentar