Periode filsafat merupakan sesuatu yang sangat penting
dalam sejarah peradaban manusia karena pada periode
tersebut terjadi perubahan pola pikir manusia seiring periode tersebut berlangsung. Filsafat berusaha
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam
semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya.
filsafat
bukanlah suatu disiplin ilmu, maka sesuai dengan definisinya, sejarah dan
perkembangan filsafat tidak akan pernah habis untuk dibahas. Dalam perkembangannya
filsafat akan terus berkembang seiring berkembangnya zaman sehinga melahirkan
sebuah pemikiran-pemikiran yang baru di dunia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
perkembangan pemikiran filsafat pada zaman yunani kuno?
2.
Bagaimana
perkembangan pemikiran filsafat pada zaman moderen?
3.
Bagaimana
perkembangan pemikiran filsafat pada zaman post moderen?
C.
Tujuan penulisan
1.
Untuk mengetahui
perkembangan pemikiran filsafat pada zaman yunani kuno.
2.
Untuk mengetahui
perkembangan pemikiran filsafat pada zaman moderen.
3.
Untuk mengetahui
perkembangan pemikiran filsafat pada zaman post moderen.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Pemikiran Zaman Yunani
Kuno
Periode
filsafat Yunani merupakan periode terpenting dalam sejarah peradaban manusia.
Hal ini disebabkan karena pada saat itu terjadi perubahan pola pikir
mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir mitosntris adalah pola pikir yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena
alam berserta kejadian
alam yang lain. Pada saat itu, gempa bumi bukanlah
suatu fenomena biasa melainkan suatu fenomena di mana Dewa Bumi yang sedang
menggoyangkan kepalanya. Keluarnya orang Yunani dari kukungan mitologi dan mendapatkan
dasar pengetahuan ilmiah merupakan titik awal manusia menggunakan rasio untuk
meneliti dan sekaligus dan mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Pada periode ini
muncullah filosof pertama yang mengkaji tentang asal usul alam yaitu
Thales (624-546 SM). Pada masa itu, Ia mengatakan bahwa asal alam adalah air
karena unsur terpenting bagi setiap makhluk hidup adalah air. Air dapat berubah menjadi gas
seperti uap dan benda padat seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air.
Setelah Thales muncul Anaximandros
(610-540SM) Anaximandros mencoba menjelaskan bahwa subtansi pertama itu
bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya unsur utama alam harus mencangkup segalanya yang dinamakan apeiron. Air harus meliputi
segalanya, termasuk api yang merupakan lawannya. Padahal, tidak mungkin air
menyingkirkan anasir api. Karena itu, Anaximandros tidak puas dengan penunjukan
salah satu anasir sebagai prinsip alam, tetapi mencari yang lebih dalam, yaitu
dzat yang tidak dapat diamati oleh panca indra.
Sedangkan
Heraklitos berpendapat bahwa segala yang ada selalu berubah dan sedang menjadi.
Ia mempercayai bahwa arche (asas yang pertama dari alam semesta) adalah api.
Api dianggapnya sebagai lambang perubahan dan kesatuan. Api mempunyai sifat memusnahkan
segala yang ada dan mengubah sesuatu tersebut menjadi abu atau asap. Sehingga
Heraklitos menyimpulkan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan
bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang
paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi
lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah sesuatu yang dapat menjadi pengubah seluruh isi alam semesta ini,
sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri.[1]
Selain
Heraclitos ada pula Permenides. Permenides lahir di
kota Elea. Ia merupakan ahli filsuf yang pertama kali memikirkan tentang
hakikat tentang ada. Menurut pendapat Permenides apa yang disebut sebagai
realitas adalah bukan gerak dan perubahan. Yang ada itu ada, yang ada dapat
hilang menjadi ada, yang tidak ada adalah tidak ada sehingga tidak dapat
dipikirkan. Yang dapat dipikirkan hanyalah yang ada saja, yang tidak ada tidak
dapat dipikirkan. Dengan demikian, yang ada itu satu, umum, tetap, dan tidak
dapat di bagi-bagi karena membagi yang ada akan menimbulkan atau melahirkan
banyak yang ada, dan itu tidak mungkin.
Benar tidaknya sesuatu dapat diukur dengan logika. Bentuk
ekstrem pertanyaan itu ukuran kebenaran adalah manusia dari pandangan ini bahwa
alam tidak bergerak, tetapi diam karena alam ini satu yatu ada dan ada ini satu.
Gerakan alam yang terlihat, menurut Permenides
sejatinya alam itu diam. Akibat dari pandangan ini
kemudian muncul prinsip panteisme dalam memandang realitas.
Pythagoras (580-500SM) mengembalikan segala sesuatu
kepada bilangan. Baginya tidak ada satupun yang dialam ini terlepas dari
bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan (kuantintas) bilangan
adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Kesimpulan ini
ditarik dari kenyataan bahwa realitas alam adalah harmoni antara bilangan dan
gabungan antara dua hal yang berlawanan, seperti nada musik dapat dinikmati karna oktaf adalah hasil dari gabungan bilangan satu (bilangan
ganji) dan dua adalah (bilangan genap).
Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil,
terbatas dan tidak terbatas. Demikian juga seluruh jagat raya merupakan suatu
harmoni yang mendamaikan hal-hal yang berlawanan. Artinya, segala sesuatu
berdasarkan dan dapat dikembalikan pada bilangan jasa Pythagoras ini sangat
besar dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang
dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat tergantung pada pendekatan
matematika. Pythagoras menegaskan
bahwa alam ditulis dalam bahasa matematika. Dalam filsafat ilmu, matematika,
merupakan sarana ilmiyah yang terpenting dan akurat untuk melakukan pendekatan. Karena dengan matematikalah ilmu dapat diukur dengan benar dan
akurat.
Setelah berakhirnya masa para filosof alam, maka muncul
masa transisi, yakni penelitian terhadap alam tidak menjadi fokus utama, tetapi
sudah mulai menjurus pada penyelidikan pada manusia. Filosof alam ternyata
tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum Sofis.
Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411SM). Ia menyatakan bahwa manusia
adalah ukuran kebenaran. Pernyataan ini merupakan cikal bakal humanisme.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah yang dimaksudnya itu manusia individu atau
manusia pada umumnya. Dua hal itu menimbulkan konsekuensi yang sungguh berbeda.
Namun yang jelas ialah ia menyatakan bahwa kebenaran itu berfilsafat subjektif
dan relatif. Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak di
anggapnya mempunyai kebenaran yang absolut.
Tokoh lain dari kaum sofis adalah Gorgias (483-375SM), ia
datang ke Athena pada tahun 427 SM dari Leontini. Menurutnya ada tiga
proposisi: pertama, tidak ada yang ada, maksudnya realitas sebenarnya itu tidak
ada. Pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Kedua, bila
sesuatu itu ada ia tidak akan dapat diketahui. Ini disebabkan oleh penginderaan
itu tidak dapat dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi. Akal, tidak juga
mampu meyakinkan kita bahwa semesta alam ini karna atau kita telah diperdaya
oleh dilema subjektivitas. Dan ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita
ketahui, ia tidak dapat kita beritahukan kepada orang lain. Sikap skeptis Gorgias
ini dianggap oleh sebagian filosof sebagai pandangan nihilisme yakni kebenaran
itu tidak ada. Jadi, dia lebih ekstrim dibandingkan dengan Protagoras.
Pengaruh positif gerakan kaum sofis cukup terasa karena
mereka membangkitkan semngat berfilsafat. Ilmu juga mendapat ruang yang sangat
kondusif dalam pemikiran kaum sofis
karna mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori
ilmu, sehingga muncul sintesa baru.
Namun, para filosof setelah kaum sofis dengan pandangan
tersebut, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka menolak relativisme
kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran objektif yang bergantung pada
manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran objektif itu dengan menggunakan
metode yang bersifat praktis dan di jalankan melalui percakapan-percakapan,
sehingga metode yang digunakannya biasanya disebut metode dialog karena dialog
mempunyai peranan penting dalam menggali kebenaran yang objektif. Contohnya,
ketika dia ingin menemukan makna adil, dia bertanya kepada pedagang,
prajurit, penguasa, dan guru. Dari semua penjelasan yang diberikan oleh semua lapisan
masyarakat itu dapat ditarik sebuah benang merah yang bersifat universal tentang keadilan. Dari sinilah, menurut Socrates,
kebenaran universal dapat ditemukan.
Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah
satu dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Oleh karna itu, dasar
dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Bagi Socrates,
pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Semboyan yang paling digemarinya adalah apa yang tertera pada kuil Delphi,
yaitu “kenalilah dirimu sendiri”.
Zaman keemasan atau puncak dari filsafat Yunani Kuno atau
Klasik, dicapai pada masa Sokrates (470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan
Aristoteles (384-322 SM). Sokrates
merupakan anak dari seorang pemahat Sophroniscos, ibunya bernama
Phairmarete yang bekerja sebagai seorang bidan. Istrinya bernama Xantipe yang
terkenal galak dan keras. Socrates adalah seorang guru. Setiap kali Socrates
mengajarkan pengetahuannya, Socrates tidak pernah memungut bayaran kepada
murid-muridnya. Oleh karena itulah, kaum sofis menuduh dirinya memberikan
ajaran baru yang merusak moral dan menentang kepercayaan negara kepada para
pemuda. Kemudian ia ditangkap dan dihukum mati dengan minum racun pada umur 70
tahun yakni pada tahun 399 SM. Pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia
secara keseluruhan yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah
yang keduanya tidak dapat dipisahkan karena dengan keterkaitan kedua hal
tersebut banyak nilai yang dihasilkan.
Plato
lahir di Athena, Ia belajar filsafat dari Socrates, Pythagoras, Heracleitos dan
Parmenindes. Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba
menyelesaikan permasalahan lama yakni mana yang benar yang berubah-ubah
(Heracleitos) atau yang tetap (Parmenindes). Pengetahuan yang diperoleh lewat
indera disebutnya sebagai pengetahuan indera dan pengetahuan yang diperoleh
lewat akal disebutnya sebagai pengetahuan akal. Plato menerangkan bahwa manusia
itu sesungguhnya berada dalam dua dunia yaitu dunia pengalaman yang bersifat
tidak tetap dan dunia ide yang bersifat tetap. Dunia yang sesungguhnya atau
dunia realitas adalah dunia ide. Menurut Plato ada beberapa masalah bagi manusia
yang tidak pantas jika manusia tidak mengetahuinya, masalah tersebut adalah:[2]
a.
Manusia itu
mempunyai Tuhan sebagai penciptanya.
b.
Tuhan itu
mengetahui segala sesuatu yang diperbuat manusia
c.
Tuhan hanya dapat
diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak dan lain-laian.
d.
Tuhanlah yang
menjadikan alam ini dari tidak mempunyai peraturan menjadi memiliki peraturan
yang di jadikan sebagai pedoman manusia didunia.
Sebagai
puncak pemikiran filsafatnya adalah pemikiran tentang negara, yang tertera
dalam Polites dan Nomoi. Konsepnya mengenai etika sama seperti Socrates yakni
tujuan hidup manusia adalah hidup yang baik (eudaimonia atau well being).
Menurut Plato di dalam negara yang ideal terdapat tiga golongan, antara lain:[3]
1.
Golongan yang
tertinggi (para penjaga dan para filsuf).
2.
Golongan pembantu
(prajurit yang bertugas untuk menjaga keamanan negara).
3.
Golongan rakyat
biasa (petani, pedagang, dan tukang).
Plato
mengemukakan bahwa tugas seorang negarawan adalah mencipta keselarasan semua
keahlian dalam negara (polis) sehingga mewujudkan keseluruhan yang harmonis.
Apabila suatu negara telah mempunyai undang-undang dasar maka bentuk
pemerintahan yang tepat adalah monarki. Sementara itu, apabila suatu negara
belum mempunyai undang-undang dasar, bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah
demokrasi. Filsafat Plato dikenal sebagai idealisme dalam hal ajarannya bahwa
kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang bayangan dari suatu
dunia ide yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata adalah ide itu
sendiri. Karya-karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika,
epistemologi, antropologi metafisika, teologi, etika, estetika, politik,
ontologi dan filsafat alam.
Sedangkan
Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju berlawanan
dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Aristoteles lahir di Stageira,
Yunani Utara pada tahun 384 SM. Bagi Aristoteles ide bukanlah terletak dalam
dunia abadi sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak
pada kenyataan atau benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur
yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi hyle dan
bentuk morfe. Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa ide tidak dapat
dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah
dengan bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk bertindak di dalam materi,
artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan
dari materi. Karya-karya Aristoteles meliputi logika, etika, politik,
metafisika, psikologi, ilmu alam, Retorica dan poetika, politik dan ekonomi.
Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada
perkembangan ilmu pengetahuan. Berikut ini beberapa pemikiran Aristoteles yang
terdiri:[4]
a.
Ajarannya tentang
logika yang memberikan suatu pengertian memuat dua golongan, yaitu substansi
dan aksidensia. Dan dari dua golongan tersebut terurai menjadi sepuluh macam
kategori, yaitu:
1.
Substansi (manusia,
binatang).
2.
Kuantitas (dua,
tiga).
3.
Kualitas (merah,
baik).
4.
Relasi (rangkap,
separuh).
5.
Tempat (di rumah,
di pasar).
6.
Waktu (sekarang,
besok).
7.
Keadaan (duduk,
berjalan).
8.
Mempunyai (berpakaian,
bersuami).
9.
Berbuat (memmbaca,
menulis).
10.
Menderita
(terpotong, tergilas). Sampai sekarang, Aristoteles dianggap sebagai Bapak
logika tradisional.
b.
Ajaranya tentang sillogisme.
c.
Ajarannya tentang
pengelompokkan ilmu pengetahuan. Aritoteles mengelompokkan ilmu pengetahuan
menjadi tiga golongan.
d.
Ajarannya tentang
potensia dan dinamika. Hule adalah suatu unsur yang menjadi permacaman.
Sementara itu, morfe adalah unsur yang menjadi dasar kesatuan.
e.
Ajarannya tentang
pengenalan.
f.
Ajarannya tentang
etika.
g.
Ajarannya tentang
negara.
B.
Perkembangan Pemikiran Filsafat Pada Zaman Moderen
Kelahiran dan perkembangan filsafat pada awal kelahirannya tidak dapat
dipisahkan dengan perkembangan (ilmu) pengetahuan yang munculnya pada masa
peradaban kuno (masa Yunani) pada tahun 2000 SM Babylon yang hidup di lembah sungai Nil (Mesir) dan sungai Efrat, telah
mengenal alat pengukur berat, table bilangan berpangkat, table perkalian dengan
menggunakan sepuluh jari. Piramida yang merupakan salah satu keajaiban dunia
itu, yang ternyata pembuatannya menggunakan geometri dan matematika,
menunjukkan cara berpikirnya yang sudah tinggi. Selain itu merekapun sudah
dapat mengadakan pengamatan benda-benda langit, baik bintang, bulan, matahari, sehingga dapat meramalkan gerhana bulan maupun gerhana matahari.
Ternyata ilmu yang mereka pakai dewasa ini disebut astronomi. Di India dan Cina
pada waktu itu telah ditemukan cara pembuatan kertas dan kompas sebagai
petunjuk arah.
Belum diketahui batas jelas mengenai kapan dimulainya penghabisan abad
pertengahan sulit ditentukan. Yang dapat ditentukan ialah bahwa abad
pertengahan itu telah selesai tatkala datangnya zaman Renaisssance yang
meliputi kurun waktu abad ke-15 dan ke-16. Abad pertengahan adalah abad ketika
alam pikiran dikungkung oleh gereja. Dalam keadaan seperti itu kebebasan
pemikiran amat sangat terbatas, perkembangan sains sulit terjadi, juga
perkembangan filsafat, bahkan dikatakan manusia tidak mampu menemukan dirinya
sendiri. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternative. Di dalam perenungan
mencari alternative itu orang teringat pada suatu zaman ketika peradaban begitu
bebas, pemikiran tidak dikungkung, sains maju, yaitu zaman dan peradaban Yunani
kuno. Usaha ini sebenarnya telah dimulai didalam karya orang-orang Italia di
dalam kesusastraan, misalnya pada Petrarce (1304-1374) dan Boccaccio
(1313-1375).[5]
Istilah Renaissance berasal dari bahasa Perancis. Dalam bahasa Latin
berarti renasci berarti lahir kembali rebirth. Istilah ini
biasanya digunakan oleh sejarawan untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan
intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa. Dan lebih khusus lagi di Italia,
sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Istilah ini mula-mula digunakan oleh seseorang
sejarawan terkenal, Michelet dan dikembangkan oleh J. Burckhardt (1860) untuk
konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang bersifat individualism,
kebangkitan kebudayaan antik, penemuan dunia dan manusia, sebagai periode yang
dilawankan dengan periode abad pertengahan. Karya filsafat pada abad ini sering
disebut filsafat Renaissance.
Oleh sejarawan, istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan berbagai
periode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa. Dalam keadaan
seperti itu kebebasan pemikiran amat dibatasi, sehingga perkembangan sains
sulit terjadi, demikian pula filsafat tidak berkembang, bahkan dapat dikatakan
bahwa manusia tidak mampu menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang
mulai mencari alternatif. Dalam perenungan mencari alternatif itulah orang
teringat pada suatu zaman ketika peradaban begitu bebas dan maju, pemikiran tidak
dikungkung, sehingga sains berkembang, yaitu zaman Yunani kuno. Pada zaman
Yunani kuno tersebut orang melihat kemajuan kemanusiaan telah terjadi. Kondisi
seperti itulah yang hendak dihidupkan kembali. Orang yang pertama menggunakan
istilah tersebut adalah Jules Michelet, sejarawan Perancis terkenal.
Menurutnya, Renaissance ialah periode penemuan manusia dan dunia dan bukan
senagai kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan modern. Bila
dikaitkan dengan keadaan, Renaissence adalah masa antara zaman pertengahan dan
zaman modern yang dapat dipandang sebagai masa peralihan, yang ditandai oleh
sejumlah kekacauan dalam bidang pemikiran. Di satu pihak terdapat Astrologi,
kepercayaan yang bersangkutan dengfan dunia hitam, perang-perang agama, dan sebagainya,
dan di lain pihak muncul lah ilmu pengetahuan alam modern serta mulai
berpengarunya suatu perasaan hidup baru. Pada saat itu muncul lah usaha-usaha
penelitian yang lebih giat yang pada akhirnya memunculkan sains baru.[6]
Awal mula dari suatu masa baru ditandai oleh satu usaha besar dari
Descartes (1596-1650) untuk memberikan kepada filsafat suatu bangunan yang baru
dalam bidang filsafat, zaman Renaissance kurang menghasilkan karya penting bila
dibandingkan dengan bidang seni dan sains. Namun, diantara perkembangan itu,
terjadi pula perkembangan dalam bidang filsafat. Descartes sering disebut
sebagai tokoh pertama filsafat modern.
Sejak itu dan juga telah dimunculkan sebelumnya, yaitu sejak permulaan
Renaissance, sebenarnya individualisme dan humanisme telah dicanangkan.
Descartes memperkuat idea-idea ini. Humanisme dan Indevidualisme merupakan ciri
Renaissance yang penting. Humanisme adalah pandangan bahwa manusia mampu
mengatur dunia dan dirinya. Ini suatu pandangan yang tidak menyenangkan orang orang yang beragama. Oleh karena itu, zaman ini sering juga disebut
sebagai zaman Humanisme, maksudnya manusia diangkat dari abad pertangahan.
Ciri utama Renaissance ialah Humanisme, Individualisme, lepas dari agama
(tidak mau diatur oleh agama), Empirisme, dan Rasionalisme. Filsafat berkembang
bukan pada zaman Renaissance, melaunkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman
modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil Empirisme itu. Agama
Kristen semakin ditinggalkan, karena semangat Humanisme itu. Ini kelihatan
dengan jelas kelak pada zaman modern. Pada zaman modern filsafat di dahului
oleh zaman Renaissance. Ciri-ciri filsafat Renaissance ada pada filsafat
modern. Tokoh pertama filsafat modern adalah Descartes. Yaitu menghidupkan
kembali Rasionalisme Yunani, Individualisme, lepas dari pengaruh agama.
Sekalipun demikian, para ahli lebih senang menyebut Descartes sebagai tokoh
Rasionalisme.Pada zaman Renaissance ada banyak penemuan di bidang ilmu
pengetahuan. Di antara tokoh-tokohnya adalah:[7]
1.
Nicolaus Copernicus
(1473-1543)
Ia dilahirkan di Torun, Polandia dan belajar di Universitas Cracow.
Walaupun ia tidak mengambil studi astronomi, namun ia mempunyai koleksi
buku-buku astronomi dan matematika. Ia sering disebut sebagai Founder of
Astronomy. Ia mengembangkan teori bahwa matahari adalah pusat jagad raya dan
Bumimempunyai dua macam gerak, yaitu : perputaran sehari-hari pada porosnya dan
perputaran tahunan mengitari matahari. Teori itu disebut Heliocentric
menggeser teori Ptolemaic. Ini adalah perkembangan besar, tetapi yang
lebih penting adalah metode yang dipakai Copernicus, yaitu metode mencakup
penelitian terhadap benda-benda langit dan kalkulasi matematik dari pergerakan
benda-benda tersebut.
2.
Galileo Galilei
(1564-1642)
Galileo Galilei adalah salah seorang penemu terbesar dibidang ilmu
pengetahuan. Ia Menemukan bahwa sebuah peluru yang ditembakkan membuat suatu gerak
parabola, bukan gerak horizontal yang kemudian berubah menjadi gerak vertical.
Ia menerima pandangan bahwa matahari adalah pusat jagad raya. Dengan
teleskopnya, ia mengamati jagad raya dan menemukan bahwa bintang Bimasakti
terdiri dari bintang-bintang yang banyak sekali jumlahnya dan masing-masing berdiri
sendiri. Selain itu, ia juga berhasil mengamati bentuk Venus dan menemukan
beberapa satelit Jupiter.
3.
Francis Bacon
(1561-1626)
Francis Bacon adalah seorang filosof dan plitikus Inggris. Ia belajar di
Cambridge University dan kemudian menduduki jabatan penting dipemerintahan serta
pernah terpilih menjadi anggota parlemen. Ia adalah pendukung penggunaan Scientific
Methods, ia berpendapat bahwa pengakuan tentang pengetahuan pada zaman
dahulu kebanyakan salah, tetapi ia percaya bahwa orang dapat mengungkapkan
kebenaran dengan Inductive Methods, tetapi lebih dahulu harus
membersihkan pikiran dari prasangka yang ia namakan idols arca. Bacon
telah memberi kita pernyataan yang klasik tentang kesalahan-kesalahan berpikir
dalam Idols of the Mind.
Pada masa Renaissance muncul aliran yang menetapkan kebenaran berpusat
pada manusia, Yang kemudian disebut dengan Humanisme. Aliran ini lahir
disebabkan oleh kekuasaan gereja yang telah menafikan berbagai penemuan
manusia, bahkan dengan doktrin dan kekuasaan, gereja telah meredam para filosof
dan ilmuwan yang dipandang dengan penemuan ilmiahnya telah mengingkari kitab
suci yang selama ini diacu oleh kaum Kristiani.
Humanisme menurut Ali Syaryati, berkaitan dengan eksistensi manusia,
bagian dari aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok dari segala
sesuatu adalah kesempurnaan manusia. Aliran ini memandang bahwa manusia adalah
makhluk mulia yang semua kebutuhan pokok diperuntukkan untuk memperbaiki
spesiesnya. Ada empat aliran yang mengklaim sebagai bagian dari Humanisme,
yaitu :[8]
1.
Liberalisme Barat
2.
Marxisme
3.
Esiktensialisme
4.
Agama
Liberalisme barat menyatakan diri sebagai pewaris asli filsafat dan
peradaban. Humanisme Dalam sejarah dipandangnya sebagai aliran pemikiran peradaban yang dimulai dari
Yunani kuno dan mencapai puncak kematangan kesempurnaan relative pada Eropa
Modern.Teori Humanisme barat dibangun atas asas yang sama yang dimiliki oleh
mitologi Yunani kuno bahwa antara langit dan bumi, alam dewa-dewa dan alam
manusia, terdapat pertentangan dan pertarungan sampai-sampai muncul kebencian
dan kedengkian antara keduanya. Para dewa adalah kekuatan yang memusuhi
manusia. Seluruh perbuatan yang kesadarannya ditegakkan atas kekuasaannya yang
lazim terhadap manusia yang dibelenggu oleh kelemahan dan kebodohannya. Hal ini
dilakukan karena dewa-dewa takut menghadapi ancaman kesadaran, kebebasan,
kemerdekaan, dan kepemimpinan manusia atas alam. Setiap manusia yang menempuh
jalan ini dipandang telah melakukan dosa besar dan memberontak kepada
dewa-dewa. Karena pemberontakkannya itu, manusia dihukum dengan berbagai
siksaan yang amat kejam.
Berdasarkan hal itu, pertempuran antara dewa-dewa dan manusia, pada dasarnya
adalah pertempuran alam yang berlaku atas kehidupan, kehendak dan nasib
manusia. Dengan kekuatan, kecerdasan, dan kesadarannya yang terus meningkat,
manusia mencoba untuk membebaskan dirinya dari cengkraman kekuatan tersebut,
agar dia bisa menentukan urusannya sendiri dan menjadi kekuatan paling berkuasa
atas alam semesta ini. Artinya, ia bisa menjadi wakil zeus yang
merupakan fenomena kekuasaan alam atas manusia.
Kesalahan barat yang paling serius yang diatasnya ditegakkan bangunan Humanisme
modern dunia mitologi Yunani kuno yang bergerak di seputar jiwa yang terbatas,
alami dan fisikal, dan dunia spiritual yang sacral dalam pandangan agama-agama
besar timur sekalipun ada perbedaan esensial antara keduanya sebagai dunia yang sama dan menganalogikan fenomena yang ada dalam hubungan manusia
dengan Ahuramazda, Rhama, Tao, Yesus sang juru selamat, dengan hubungan
manusia dengan zeus, bahkan mereka menyatakan adanya kesamaan antara keduanya.
Padahal, mereka tahu bahwa kedua bentuk hubungan tersebut sepenuhnya berbanding
terbalik.[9]
Pada mitologi Yunani Kuno pada terdapat bramateuf
yang menghadiahkan api ketuhanan kepada manusia, yang dicurinya dari
pada dewa ketika mereka sedang tidur lelap, lalu dibawaknya kebumi. Bramateus
memproleh siksaan keras akibat dosanya itu. Adapun dalam agama-agama terdapat
malaikat besar, iblis, yang kemudian diusir dan dilaknat oleh tuhan,karena ia
mengingkari perintah Allah dan tidak mau bersujud kepada Adam sebagaimana
Malaikat lainnya.
Selanjutnya, api ketuhanan itu ditemukan dalam
agama-agama dalam bentuk nur yang disebut dengan cahaya, hikmah atau dakwah
dari langit yang dibawak oleh para utusan ilahi untuk disampaikan kepada
manusia, dan seterusnya anak-cucu adam disuru untuk berkiprahdan berdakwah,
takut (akan siksa ilahi) dan berharap agar mereka terbebas dari kegelapan
menuju cahaya. Berbeda dengan zeus, dalam agama-agama, Tuhan berkhendak
membebaskan manusia dari belenggu tersebut adalah mengikuti api bramateus.Itulah
sebabnya, bila dalam pandangan Yunani Kuno yang memitoskan alam tersebut,
humanisme mengambil bentuk sebagai penentang kekuasaan para dewa, yakni
Tuhan-Tuhan alam dan sesembahan mereka. Berdasarkan itu hal itu, humanusme
yunani berusaha untuk mencapai jati diri manusia dengan seluruh kebenciandengan
tuhan pengingkarannya atas kekuasaannya serta memutuskan taliperhamban manusia
dengan “langit”, ketika ketika ia menjadikan manusia sebagai penentu benar atau
tidaknya suatu perbuatan, dan menentukan bahwa segala potensi keindahan itu
terletak pada tubuh manusia.
Kosistensi humanisme seperti itu, manakala
menampakkan dirinya di depan langit ia pun berubah sosoknya menjadi bercorak
bumi dan menyimpang kearah materialisme atau pengagungan terhadap nilai-nilai
materialis. Itu sebabnya, humanisme, dalam pandangan Barat sejak Yunani kuno
hingga Eropa modern bermuara pada materialisme, dan menemukan nasibnya yang
tercermin dalam liberalisasi sains, peradaban Borjuis barat, Marxisme timadur.
Semua menyeret humanisme yang mengagungkan
manusia di barat untuk memilih bentuk dengan posisi yang semakin meningkat
penentangnya terhadap theisme, karena katolik abad pertengahan menjadi agama
masehi yang dipandangnya sebagai agama mutlak, sebagai musuh humanisme, serta
menciptakan pertarungan langit dan bumi yang juga ada pada metologi Yunai dan
Romawi kuno. Akibatnya, manusia sejalan dengan interpretasi-interpretasi
tentang Yunani dosa asal dan pengusiran manusia dari surga dinyatakan
sebagai mutlak yang dipaksa tunduk kepada kehendak tuhan dan tertindas di
muka bumi, serta menyebutnya sebagai pendosa yang lemah dan terkutuk. yang
memperoleh pengecualian dari komunitas manusia seperti itu hanyalah lapisan
kaum pendekarvkarena pandang memiliki roh tuhan, dan bahwa satu-satunya jlan
menuju kebahagian yang harus ditempuh orang lain adalah taklik buta kepada
mereka, serta bergabung dalam lembaga resmi yang dikendalikan oleh suatu
institusi formal yang mengatas namakan diri sebagai wakil tuhan dimuka bumi.
Metode berfikir seperti inilah yang menyebabkan
theisme yang menjadi lawan humanisme, dan cara prealisasian kekuasaan tuhan
ini, secara paksa, digerakan diatas mazhab yang menjadikan humanisme sebagai
korbannya. Oleh karna itu, humanisme pada abad pertengahan betul-beul
tertindas. Itulah sebabnya fenomena-fenomena abad pertengahan merupakan
ungkapan dari lukisan-lukisan metafisik dan apa yang dibalik alam manusia: roh
kudus, yesus kristus, malaikat, mukjizat, dan sebagainnya. Walupun disitu
terlihat wajah manisnya, itu pasti wajah orang-orang suci. Itupun pasti dengan
jubah yang menutup kepala hingga mata kaki, dan lazimnya merekapun tersembunyi
demikian rupa, atau tenggelam dibalik cahaya malaikat. Inilah alasannya
perhatian sepenuhnya dalam estitika yunani dicurahkan pada tubuh manusia, dan
bangunan keindahan dipusatkan pada lekak-lekuk tubuh telanjang. Patung-patung
dan lukisan yunani yang mengemukakan keindahan kepada manusia dan menjadikan
puncak keindaha terletak pada tubuh telanjang, merupakan gaya yang muncul dari
humanisme seperi itu. Oleh karna itu, seni di eropa mengenal unsur-unsur
kemanusiaan.[10]
Kalau kita bisa mengatakan bahwa humanisme pasca
renaissance di eropa modern merupakan kelanjutan dari humanisme yunani kuno, kitapun
bisa mengatakan bahwa mazhab langit yang ada dalam agama masehi abad
pertengahan juga merupakan kelanjutan dari mazhab langit dalam metologi yunani
dan romawi kuno, baik yang ada pada abad pertengahan maupun abad modern
sekarang ini.
Bagaimanapun, liberarisme barat yang borjuis maupun
komunis, kedoa duanya mengklaim bahwa tercapainya pengembangan potensi-potensi
manusia bisa dilakukan dengan cara pribadi dan kebebasan berfikir kepada
manusia dalam penelitian ilmiyah, mengemukakan pendapat, dan produk-produk
ekonomi. Adapun yang kedua mengklaim bahwa tujuan tersebut bisa tercapai dengan
cara tidak mengakui kebebasan-kebebasan filsafat dan memasungnya dalam
kepemimpinan diktator tunggal, yang di bantu kelompok tunggal, kemudian
membentuk manusia dalam sosok yang sama pula.
Akan tetapi filsafat dan rekayasa manusianya persis
sama dengan terkandung dalam filsafat borjuis-liberalis, yaitu meratanya
borjuis pada seluruh bangunan masyarakat. Sebagaimana halnya dengan liberalisme
barat borjuis yang mengklaim sebagai pewaris peradaban humanisme dalam sejarah,
marxismepun mengklaim diri sebagai metode untuk merealisasikan humanisme dalam
bentuk manusia sempurna. Eksistensialisme, mengajukan klaim lebih dari dua
aliran sebelumnya, seperti yang terlihat dalam ucapan sartre, eksistensialisme
adalah humanisme itu sendiri, dengan klaim seperti itu, otomatis
eksistensialisme mempunyai hak yang lebih besar dari pada dua yang tersebut
terdahul.
Mengingat semua agama menyatakan bahwa atas
dakwahnya memberi petunjuk kepada manusia menuju kebahagiaan abadi, tidak bisa
tidak, ia memilh filsafat tersendiri tentang manusia. Serba musthil berbicara
tentang kebahagiaan manusia, sepanjang belum dijelaskan terlebih dahulu makna
yang definitif tentang manusia.Dengan demikian, semua agama dimulai dengan
filsafat pembentukan dan perekayasaan manusia. Berdasarkan hal itu, sejalan
dengan pandangan berbagai aliran pemikiran tentang manusia yang berkembang
dewasa ini, yang menganggap manusia sebagai jati diri atau sejenis itu, dan itu
diklaim sesuai dengan pandangan aliran masing-masing.
Pemikiran filsafat dapat diupayakan lebih bersifat
praktis, karena semakin pesatnya orang mngunakan metode induksi eksperimental dalam
berbagai penelitian ilmiyah, akibatnya perkembangan pemikiran filsafat mulai
tertinggal oleh perkembangan ilmu-ilmu alam kodrat (natural sciences). Rene
Descartes (1596-1650) sebagai bapak filsafat modern yang berhasil melahrkan
sebuah konsep dari perpaduan antara metode ilmu alam denganilmu filsafat.
Upaya ini dimaksudkan agar kebenaran dan kenyataan
filsafat juga sebagai jelas dan terang. Pada abad ke-18, perkembangan pemikiran
filsafat mengarah kepada filsafat ilmu pengetahuan, dimana pemikiran filsafat
diisi dengan upaya manusia, bagaimana cara sarana apa yang dipakai untuk
mencari kebenaran dan kenyataan.
Sebagai tokohnya George Berkeley (1685-1753), David
Hume (1711-1776), J.Rousseaun (1722-1778). Dijerman muncul Cristian Wolft
(1679-1754) dan Immanuel Kant (1724-1804), yang mengupayakan agar filsafat
menjadi ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna, yaitu dengan cara membentuk
pengertian-pengertian yang jelas, bukti yang kuat. Pada abad ke-19,
perkembangan pemikiran filsafat terpecah belah. Pemkiran filsafat pada saat itu
telah mampu membentuk suatu kepribadian tiap-tiap bangsa dan pengertian dan
caranya sendiri.Ada filsafat Amerika, Prancis, Inggris, Jerman, Tokoh-tokohnya
adalah Hegel (1770-18311), Karl Marx (1818-1883), Augst Comte (1798-1857),
JS.Mill (1806-1873), Jhon Dewey (1858-1952).
Demikian beberapa uraian tentang sejarah kelahiran
filsaft secara umum.Dengan adanya ragam variasi model peikiran filsafat
tersebut di maksudkan akan menciptakan suasana pikir generasi mendatang untuk
lebih kritis. Terpacu dan terinspirasi untuk mengimplementasikan pemikiran
filsafatyang kontekstual dengan perubahan zaman dimana ia tinggal. Karena
hakikatnya berfikir secara mendalam sampai hakikat, atau berpikir secara
global, menyeluruh, atau berpikir yang dilihat dari berbagai sudut pandang ilmu
pengetahuan. Berfikir yang demikian ini sebagai upaya untuk dapat berpikir
secara tepat dan benar serta dapat dipertanggung jawabkan.Dengan memahami
konsep yang mendasari sejarah kelahiran masing-masing pemikiran filsafat,
diharapkan dapat menjadikannya sebagai pandangan hidup, sebagai penjelmaan manusia secara total dan sentral sesuai dengan hakikat
manusia sebagai makhluk modoalisme (manusia secara kodrat terdiri dari jiwa dan
raga).[11]
C. Perkembangan Pemikiran Filsafat Zaman Post Moderen
Perkembangan filsafat abad ke-20 juga ditandai oleh
munculnya berbagai aliran filsafat, dan kebanyakan dari aliran filsafat itu
merupakan kelanjutan dari aliran aliran filsafat yang telah berkembang pada
abad Modern, seperti neokantianisme, neohegelianisme, neomarxisme,
neopositivisme, dan lain sebagainya. Namun demikian ada juga aliran filsafat yang baru dengan ciri dan corak
yang lain sama sekali, seperti fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme,
strukturalisme, dan yang paling mutakhir adalah aliran Postmodernisme. Oleh
karena banyaknya keterbatasan, maka dalam hal ini hanya dibicarakan beberapa
aliran dan tokoh yang banyak pengaruhnya pada abad ke-20 ini.
Tokoh
utama fenomenologi, yaitu Edmund Husserl (Tahun 1859-1938) yang sekaligus juga pendirinya,
ia banyak mempengaruhi pemikiran filsafat abad ke-20 ini secara amat
spektakuler. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang
tampak (Yunani: Phainomenon). Dengan demikian fenomenologi adalah ilmu yang
mempelajari apa yang menampakkan diri atau fenomenon . Fenomenon bagi Husserl
adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang
memisahkan subjek dengan realitas, sehingga realitas itu sendiri yang tampak
bagi subjek. Husserl dengan pandangannya tentang fenomenon ini, mengadakan
semacam revolusi dalam filsafat Barat. Karena sejak Descartes, bahwa kesadaran
selalu dimengerti sebagai kesadaran tertutup atau cogito tertutup, artinya
bahwa kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan jalan itu mengenal
realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah pada realitas atau kesadaran bersifat intensional sebetulnya sama artinya dengan mengatakan
realitas menampakkan diri.
Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat dan
menunjukkan pemberontakan tambahan terhadap metode-metode dan pandangan
pandangan filsafat Barat. Istilah eksistensialisme tidak menunjukkan suatu
sistem filsafat secara khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang besar
antara para pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai
ciri khas aliran ini yang tampak pada para penganutnya. Aliran Eksistensialisme
mengidentifikasi ciri-cirinya adalah sebagai berikut:[12]
1.
Eksistensialisme
adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat Modern,
khususnya terhadap idealisme Hegel.
2.
Eksistensialisme
adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep filsafat
akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
3.
Eksistensialisme
juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian)
dari zaman industri Modern dan teknologi, serta gerakan masa. Oleh sebab itu
masyarakat industri cenderung untuk seseorang kepada mesin.
4.
Eksistensialisme
merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fisis,
komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan dalam
kolektif atau massa. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek
(harapan) manusia di dunia.
5.
Eksistensialisme
menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang
dalam dan langsung.
Salah seorang tokoh eksistensialisme yang populer adaah Jean Paul Sartre
(Tahun 1905-1980), ia membedakan rasio dialektis dengan rasio analitis. Rasio
analitis dijalankan dalam ilmu pengetahuan. Rasio dialektis harus digunakan,
jika berpikir tentang manusia, sejarah dan kehidupan sosial. Rasio terakhir ini
bersifat dialektis, karena terdapat identitas dialektis antara Ada dan pengetahuan.
Rasio ini dialektis, karena objek yang diselidikinya bersifat dialektis, dan
juga karena ditentukan oleh tempatnya dalam sejarah.
Aliran filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat pada
pertengahan abad ke-20 mendapat reaksi dari aliran strukturalisme. Jika aliran
eksistensialisme menekankan pada peranan individu, maka aliran strukturalisme
justru melihat manusia terkungkung dalam berbagai struktur dalam kehidupannya.
Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan
strukturalisme sebagai aliran filsafat.
Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan
untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari
prinsip-prinsip lingustik yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Ilmu-ilmu
kemanusiaan di sini dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminologi Dilthey
disebut Geisteswissenschaften yang dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam
atau Naturwissenschaften.
Kedua, struturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahamimasalah
yang muncul dalam sejarah filsafat. Metodologi struktural di sini dipakai
untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayaan, serta hubungan antara
kebudayaan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur
yang lebih luas dalam kesusastraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar
yang menggerakkan tindakan manusia.
Para strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip
strukturalisme linguistik dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat
fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari sudut pandangan
yang subjektif. Para penganut aliran strukturalisme ini memilki corak yang
beragam, namun demikian mereka memiliki kesamaan, yaitu: penolakan terhadap
prioritas kesadaran. Bagi mereka manusia tidak lagi merupakan titik pusat yang
otonom, manusia tidak lagi menciptakan sistem, melinkan takluk pada sistem.[13]
Tokoh berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme, yaitu Michel
Foucault (Tahun 1926-1984). Kesudahan manusia sudah dekat, itulah pendirian
Foucault yang sudah terkenal tentang kematian manusia. Maksud Foucault bukannya
bahwa nanti tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep manusia
sebagai suatu kategori istimewa dalam pikiran manusia. Manusia akan kehilangan
tempatnya yang sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur seluruhnya.
Di abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praksis
cukup besar, yaitu aliran filsafat Pragmatisme. Pragmatisme merupakan gerakan
filsafat Amerika yang menjadi terkenal selama satu abad terakhir. Aliran
filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai
akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk
menetapkan nilai kebenaran. Kelompok pragmatis bersikap kritis terhadap
sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk-bentuk aliran materialisme,
idealisme, dan realisme. Mereka mengatakan bahwa pada masa lalu filsafat telah
keliru karena mencari hal-hal mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi,
substansi, prinsip yang tetap dan sistem kelompok empiris, dunia yang berubah
serta problema-problemanya, dan alam sebagai sesuatu dan manusia tidak dapat
melangkah keluar daripadanya.
Salah satu tokoh Pragmatisme adalah William James
(Tahun 1842-1910), berpandangan bahwa pikirannya sendiri sebagai kelanjutan
empirisme Inggris, namun empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun
kenyataan berdasar atas fakta lepas sebagai hasil pengamatan. James membedakan
dua macam bentuk pengetahuan, yaitu:[14]
1.
Pengetahuan yang
langsung diperoleh dengan jalan pengamatan.
2.
Pengetahuan merupakan
tidak langsung yang diperoleh dengan melalui pengertian.
Kebenaran itu suatu proses, suatu idea dapat menjadi benar apabila didukung
oleh peristiwa-peristiwa sebagai akibat atau buah dari idea itu. Oleh karena
kebenaran itu hanya satu yang potensial, baru setelah verifikasi praktis
berdasarkan hasil atau buah pikiran, maka kebenaran potensial menjadi real. Postmodernisme sebagai trend dari suatu pemikiran yang sangat populer
pada penghujung abad ke-20 ini merambah ke berbagai bidang dan disiplin
filsafat serta ilmu pengetahuan. Istilah Postmodern telah digunakan dalam
demikian banyak bidang dengan meriah dan hiruk-pikkuk. Kemeriahan ini
menyebabkan setiap referensi kepadanya mengandung resiko dicap sebagai ikut
mengabadikan mode intelektual yang dangkal dan kosong.
Pada awalnya Postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan
Modernisme. Filsafat dalam Modernisme memang berpusat pada Epistemologi yang
bersabda pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang satu
sama lain terpisah dan tak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah mencari
fondasi segala pengetahuan Fondasionalisme, dan tugas pokok subjek
adalah merepresentasikan kenyataan objektif Representasionalisme. Dengan
demikian klaim-klaim dari kaum Posmodernis tentang berakhirnya Modernisme
biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan Modern tentang subjek
dan dunia objektif.
Wacana Postmodern menjadi populer setelah Francois Lyotard Tahun 1924
menerbitkan bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowldge Modernitas menurut Lyotard ditandai oleh
kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat
Modern, mirip dengan mitos-mitos yang mendasari masyarakat primitive dulu.
Seperti halnya dengan mitos dalam masyarakat primitive, kisah-kisah besar pun
melegitimasi institusi-institusi serta praktek-praktek social politik, sistem hukum
serta moral, dan seluruh cara berpikir. Namun berbeda dengan mitos-mitos,
kisah-kisah besar itu tidak mencari legitimasi dalam suatu peristiwa yang
terjadi pada awal mula seperti penciptaan oleh dewa-dewa melainkan dalam suatu
masa depan, dalam suatu idea yang harus diwujudkan . Salah satu contoh kisah
besar yang berusaha mewujudkan idea seperti itu adalah emansipasi progresif dan
rasio serta kebebasan dalam liberalisme politik.[15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perkembangan pemikiran filsafat terus mengalami perkembangan
pemikirannya semenjak zaman yunani kuno yang merubah pemikiran orang yunani
yang semula mitosentris menjadi logosentris menggunakan rasio untuk meneliti
sekaligus mempertanyakan dirinya. Berbagai pemikiran filsafat terus berkembang
yang dilanjutkan dengan kemunculan kaum sofis sampai pada saat filsafat
mengalami puncak kejayaannya pada masa yunani klasik.
Pada masa perkembangan pemikiran fisafat moderen perkembangan ilmu
sangatlah terbatas kerena pada masa ini perkembngan ilmu pengetahuan sangat
dipengaruhi oleh kekuasan gereja sehingga pada masa ini para filosof berusaha
untuk melepaskan diri dari tekanan gereja, dan pada masa ini pula muncul
berbagai aliran moderen yang sangat berpengaruh pada masa itu.
Perkembangan filsafat
post moderen ditandai dengan munculnya berbagai aliran filsafat, dan kebanyakan
dari aliran filsafat itu merupakan kelanjutan dari aliran aliran filsafat yang
telah berkembang pada abad Modern, seperti neokantianisme, neohegelianisme,
neomarxisme, neopositivisme, dan lain sebagainya. Namun
demikian ada juga aliran filsafat yang baru dengan ciri dan corak yang lain
sama sekali, seperti fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme,
strukturalisme, dan yang paling mutakhir adalah aliran Postmodernisme.
B. Saran
Tiada gading yang tak retak karena sesungguhnya kesempurnaan itu hanya
milik allah semata dan segala kekurangan itu semuanya berasal dari kami semata.
Saran dan masukan sangat kami butuhkan untuk lebih maju kedepannya.
Daftar Pustaka
Hadi, Muhdafir. Epistimologi
dalam Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kansius,1997.
Muhdhafar, Ali. Filsafat
Ilmu.Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1996.
Muhdhafir, Noeng. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001.
0 komentar:
Posting Komentar