Perubahan
terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia itu sendiri. Manusia
adalah makhluk yang selalu berubah, aktif, kreatif, inovatif, agresif, selalu
berkembang dan responsif terhadap perubahan yang terjadi di sekitar lingkungan
sosial mereka. Di dalam masyarakat, nilai-nilai sosial tertentu yang lama dan
sudah tidak memenuhi tuntutan zaman akan hilang dan diganti dengan nilai-nili
baru. Kemudian, nilai-nilai itu diperbaharui lagi dan diganti dengan
nilai-nilai yang lebih baru lagi. Nilai tradisional diganti dengan nilai
modern, nilai modern diganti dan diperbaharui lagi dengan yang lebih baru lagi,
yaitu post modern, dan seterusnya. Sejalan dengan perubahan nilai sosial itu,
berubah pula pikiran dan perilaku anggota masyarakatnya.
Dalam
kelompok teori-teori perubahan sosial klasik telah dibahas empat pandangan dari
tokoh-tokoh terkenal yakni August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max
Weber. August Comte menyatakan bahwa perubahan sosial berlangsung secara
evolusi melalui suatu tahapan-tahapan perubahan dalam alam pemikiran manusia,
yang oleh Comte disebut dengan evolusi intelektual. Tahapan-tahapan pemikiran
tersebut mencakup tiga tahap, dimulai dari tahap Teologis Primitif, kedua;
tahap Metafisik transisional, dan ketiga; tahap positif rasional.
Karl
Marx pada dasarnya melihat perubahan sosial sebagai akibat dari
perubahan-perubahan yang terjadi dalam tata perekonomian masyarakat, terutama
sebagai akibat dari pertentangan yang terus terjadi antara kelompok pemilik
modal atau alat-alat produksi dengan kelompok pekerja.
Di
lain pihak Emile Durkheim melihat perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari
faktor-faktor ekologis dan demografis, yang merubah kehidupan masyarakat dari
kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi
masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik. Sementara itu Max
Weber pada dasarnya melihat perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat
adalah akibat dari pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan
masyarakat. Dalam hal ini dicontohkan Masyarakat Eropa yang sekian lama
terbelenggu oleh nilai Katolikisme Ortodox, kemudian berkembang pesat kehidupan
sosial ekonominya atas dorongan dari nilai Protestanisme yang dirasakan lebih
rasional dan lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan modem.
Perubahan
dan interaksi sosial adalah merupakan gejala perubahan dari suatu keadaan
sosial tertentu ke keadaan sosial lain. Teori siklus menjelaskan, bahwa
perubahan sosial bersifat siklus. Pandangan teori siklus sebenarnya telah
dianut oleh bangsa Yunani, Romawi dan Cina Kuno jauh sebelum ilmu sosial modern
lahir. Mereka membayangkan perjalanan hidup manusia yang pada dasarnya
terperangkap dalam lingkaran sejarah yang tidak menentu. Menurut orang Cina,
alam semesta dibayangkan berada dalam perubahan yang berkepanjangan. Namun
perubahan itu mengikuti ayunan abadi gerakan melingkarnya perubahan itu
sendiri. Masyarakat mempunyai sifat yang dinamis, ia selalu ingin berkembang
dan berubah. Irama perubahan tersebut ada yang lambat, ada yang sedang, ada yang
cepat karena dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pola-pola interaksi yang terjadi antara
kelompok-kelompok masyarakat pun semakin kompleks.
Dilihat
dari segi bentuk-bentuk kejadiannya, maka perubahan sosial dapat dibahas dalam
tiga dimensi atau bentuk, yaitu: perubahan sosial menurut kecepatan prosesnya,
ada yang berlangsung lambat (evolusi) dan ada yang cepat (revolusi). Perubahan
sosial menurut skala atau besar pengaruhnya luas dan dalam, serta ada
pengaruhnya relatif kecil terhadap kehidupan masyarakat. Dan yang ketiga,
adalah perubahan sosial menurut proses terjadinya, ada yang direncanakan
(planned) atau dikehendaki, serta ada yang tidak direncanakan (unplanned).
Menurut kecepatan prosesnya, perubahan sosial dapat terjadi setelah memulai
proses perkembangan masyarakat yang panjang dan lama, yang disebut dengan
proses evolusi. Tetapi ada juga perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat,
yang disebut dengan revolusi.
Aspek-aspek
perubahan sosial dapat dibahas dalam dua dimensi. Pertama, aspek yang dikaitkan
dengan lapisan-lapisan kebudayaan yang terdiri dari aspek material, aspek
norma-norma (norms) dan aspek nilai-nilai (values). Kedua, aspek yang dikaitkan
dengan bidang-bidang kehidupan sosial masyarakat, yang dalam kegiatan belajar
ini dikemukakan bidang kehidupan ekonomi, bidang kehidupan keluarga, dan
lembaga-lembaga masyarakat.
Aspek
kebudayaan material (artifacts) adalah aspek-aspek yang sifatnya material dan
dapat diraba atau dilihat secara nyata, seperti pakaian, alat-alat kerja, dan
sebagainya. Karena sifatnya material, maka aspek kebudayaan ini relatif cepat
berubah. Adapun aspek norma (norms), menyangkut kaidah-kaidah atau norma-norma
sosial yang mengatur interaksi antara semua warga masyarakat. Aspek ini relatif
lebih lambat berubah dibandingkan dengan aspek kebudayaan material.
Aspek
lain adalah nilai-nilai budaya (values), yang berkaitan dengan nilai-nilai
luhur yang menjadi pandangan atau falsafah hidup masyarakat. Nilai-nilai inilah
yang mendasari norma-norma sosial yang menjadi kaidah interaksi antar warga
masyarakat. Aspek nilai inilah paling lambat berubah dibandingkan dengan kedua
aspek kebudayaan yang disebut terdahulu. Perubahan sosial dalam bidang ekonomi
pada dasarnya menyangkut perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan
masyarakat dalam upaya mereka untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya,
baik perubahan dalam nilai-nilai ekonomi, sikap, hubungan ekonomi dengan warga
lainnya, maupun dalam cara atau alat-alat yang dipergunakan. Salah satu kunci
dalam perubahan bidang ekonomi ini adalah proses “diferensiasi” dan
spesialisasi”.
Dalam
aspek kehidupan keluarga, yang menjadi fokus perhatian adalah perubahan fungsi
dan peranan keluarga dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Perubahan dalam struktur dan jumlah anggota keluarga mendorong
terjadinya perubahan fungsi dan peranan keluarga. Salah satu aspek kehidupan
keluarga yang paling jelas perubahannya adalah peranan kaum ibu. Adapun dalam aspek
lembaga-lembaga masyarakat, perubahan sosial pada dasarnya berkembang, dari
suasana kehidupan masyarakat tradisional dengan lembaga-lembaga masyarakat yang
jumlah dan sifatnya masih sedikit dan terbatas, serta umumnya berdasarkan
kegotongroyongan dan kekeluargaan. Berkembang menuju masyarakat modern dengan
lembaga-lembaga masyarakat yang lebih bervariasi yang pada umumnya dibentuk
atas dasar kepentingan warganya, baik dalam bidang ekonomi, kebudayaan,
pendidikan, serta dalam bidang hukum, politik dan pemerintahan.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan sosial terdiri atas faktor-faktor internal dan
faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor internal yakni kondisi atau perkembangan
yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan yang mendorong
perubahan sosial. Faktor-faktor ini yang mencakup terutama faktor demografis
(kependudukan), adanya penemuan-penemuan baru, serta adanya konflik internal
dalam masyarakat. Faktor-faktor Demografis adalah semua perkembangan yang
berkaitan dengan aspek demografis atau kependudukan, yang mencakup jumlah,
kepadatan, dan mobilitas penduduk. Sedangkan faktor penemuan-penemuan baru,
adalah adanya penemuan di kalangan atau oleh warga masyarakat berkaitan dengan
suatu alat atau cara yang selanjutnya diterima penggunaannya secara luas oleh
masyarakat, dan karena itu mempengaruhi perkembangan kehidupan sosial
mereka.
Sementara
itu, faktor konflik internal adalah pertentangan yang timbul di kalangan warga
atau kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat adanya perbedaan kepentingan
atau perbedaan persepsi yang dipertahankan oleh masing-masing kelompok. Adapun
Faktor-faktor eksternal yaitu kondisi atau perkembangan yang terjadi di luar
lingkungan masyarakat yang bersangkutan, tetapi secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam faktor eksternal, yang terpenting di antaranya adalah pengaruh lingkungan
alam, pengaruh unsur kebudayaan maupun aktualisasi, faktor eksternal juga dapat
berupa adanya peperangan yang mengakibatkan terjadinya penaklukan suatu
masyarakat atau bangsa oleh bangsa lain, yang selanjutnya memaksakan terjadinya
perubahan sosial terutama di kalangan bangsa yang kalah perang.
Perubahan
Sosial Dikaitkan Dengan Sosiologi Hukum
Perubahan
sosial dikaitkan dengan sosiologi hukum terbagi dalam 2 (dua) variabel yakni
masyarakat dan hukum. Masyarakat sendiri terdiri dari beberapa ciri, yakni ciri
masyarakat tradisional, transisi, dan modern dimana uraian ini antara lain
diarahkan kepada aspek politik, sosial budaya, demografis, dan aspek
kelembagaan. Salah satu ahli yang banyak berjasa dalam teori perubahan model
administrasi di negara sedang berkembang, adalah Fred W. Riggs. Ide-ide dasar
Riggs, banyak yang diadaptasi dalam mendeskripsikan perubahan sifat dan prilaku
masyarakat menurut tiga klasifikasi tersebut. Terutama pada karakteristik
masyarakat transisi (masyarakat prismatik) merupakan kajian yang sangat relevan
dengan masyarakat kita, mengingat posisi masyarakat Indonesia sekarang berada
dalam masa transisi yang berarti segala keunggulan dan kelemahannya bermanfaat
diketahui untuk selanjutnya dilakukan perbaikan (intervensi) di periode
mendatang.
Misalnya,
dilihat dari aspek politik, maka karakteristik masyarakat tradisional cenderung
memiliki kesadaran politik yang rendah, di samping itu antara satu golongan
yang lainnya cenderung saling mencurigai. Keadaan seperti ini berlaku terbalik
pada masyarakat modern, di mana partisipasi dalam aspek politik cenderung
tinggi dan sportivitas antara satu golongan/partai dengan yang lainnya relatif
berjalan baik. Sementara itu, pada masyarakat transisi berada di antara dua
kutub ini, dimana ciri-cirinya lebih banyak diwarnai oleh warna yang
formalistis. Artinya, secara formal telah ada aturan dalam pelaksanaan suatu
aktivitas, seperti dalam Pemilu, namun yang lazim terjadi pada masyarakat
transisi adalah aturan itu lebih bersifat formalitas dibanding dipraktekkan
atau ditegakkan di lapangan.
Masyarakat
mempunyai sifat yang dinamis, ia selalu ingin berkembang dan berubah. Irama
perubahan tersebut ada yang lambat, ada yang sedang, ada yang cepat karena
dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan
ekonomi. Akibatnya pola-pola interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok
masyarakat pun semakin kompleks. Gejala sosial sendiri tidak terlepas dari
unsur sosial yakni struktur sosial dan proses sosial. Hal ini dimaksud karena
dalam suatu struktur sosial otomatis terdiri dari beberapa bagian yang secara
sistimatis mempengaruhi suatu gejalah sosial. Bagian yang dimaksud adalah
kebudayaan, lembaga sosial, kekuasaan, kelompok sosial dan lapisan sosial.
Bagian-bagian
dari struktur sosial tersebut jika berdinamika akan membentuk suatu proses
sosial. Proses sosial itu sendiri terdiri dari :
a.
Interaksi sosial ( baik secara kodrati, organis maupun mekanis),
b.
Reaksi atau perubahan sosial (terarah, maju, mengambang dan mundur).
c.
Serta permasalahan sosial (sangat berat, amat berat, berat, tidak berat).
Terjadinya
suatu interaksi sosial dengan sendirinya hukum melakukan atau melaksanakan
fungsinya sebagai pengendalian sosial. Fungsi hukum dibedakan menjadi beberapa
kategori berdasarkan proses sosial yakni :
1.
Fungsi hukum sebagai pengatur apabila dalam proses interaksi sosial tersebut
interaksi dilakukan dengan nurani (kodrati), organis (terorgisir) dan mekanis
atau dilakukan berdasarkan keinginan hati.
2.
Fungsi hukum sebagai pengawas apabila terjadi reaksi ( perubahan sosial).
Perubahan sosial yang menjadikan hukum mengawasi adalah perubahan sosial
terarah, maju, mengambang, dan mundur.
3.
Fungsi hukum sebagai penyelesaian masalah. Peranan hukum dalam menyelesaikan
masalah apabila terjadi permasalahan sosial. Permasalahan sosial terbagi atas
beberapa kategori yakni, permasalahaqn sosial sangat berat, amat berat, berat,
dan tidak berat.
Dari
fungsi hukum dalam menyelesaikan masalah, apabila terjadi permasalahan sosial.
Permasalahan sosial tidak terlepas dari perubahan sosial, karena permasalahan
sosial akan timbul dengan sendirinya berdasarkan pola atau kategori perubahan
sosial. Perubahan sosial terarah maka permasalahan sosialnya tidak berat.
Perubahan sosial maju maka permasalahan sosialnya berat. Perubahan sosial
mengambang maka permasalahan sosialnya amat berat. Sedangkan perubahan sosial
mundur maka yang terjadi permasalahan sosialnya menjadi sangat berat. Dengan
demikian hukum berdampingan dengan masyarakat, karena terjadinya suatu
interaksi sosial hukum berperan sebagai pengatur masyarakat.
Penegakan
Hukum Dan Perubahan Sosial Masyarakat Dalam Pencapaian Pembangunan.
Penegakan
hukum.
Hukum
dalam penegakannya mengecewakan masyarakat, teori penegakan hukum (Soerjono
Soekanto). Permasalahan hukum diakibatkan oleh beberapa faktor yakni.
1.
Hukum itu sendiri.
Hukum
dinilai sebagai salah satu faktor permasalahan hukum karena hukum itu sendiri
seringkali masih dibawah tekanan politik.
2.
Masyarakat.
Masyarakat
merupakan salah satu faktor permasalahan hukum, karena seringkali masi terlihat
tidak adanya kesadaran untuk mematuhi hukum dari masyarakat.
3.
Penegak hukum.
Penegak
hukum dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum dinilai mengecewakan
masyarakat, karena terdapat oknum-oknum tertentu dari aparat penegak hukum yang
kurang tegas dan masi melakukan mafia kasus.
4.
Sarana dan prasarana penegakan hukum.
Kurangnya
sarana dan prasarana penegakan hukum mengakibatkan lambannya proses
penyelesaian masalah hukum. Misalnya kendaraan patroli, pos penjaga,
rambu-rambu lalu lintas, dan lain-lain.
5.
Budaya.
Budaya
menjadi salah satu faktor penyebeb permasalahan hukum, karena pengaruh
menurunnya budaya taat akan hukum.
Pada
prinsipnya kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai
peranan penting terutama dalam perubahan yang dikehendaki atau direncanakan
(intended change atau planed change). Dengan perubahan yang direncanakan dan
dikehendaki tersebut dimaksudkan sebagai perubahan yang dikehendaki dan
direncanakan oleh warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor. Dalam
masyarakat yang kompleks dimana birokrasi memegang peranan penting dalam
tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam
hal ini, maka hukum dapat menjadi alat ampuh untuk mengadakan perubahan sosial,
walaupun secara tidak Langsung.
Selanjutnya
sehubungan dengan perubahan ini, hukum juga bertujuan mengubah perikelakuan
masyarakat. Satu masalah yang muncul seperti dikemukakan oleh Gunnar Myrdal
yakni softdevelopment dimana hukum tertentu ternyata tidak efektif. Gejala ini
terjadi karena beberapa faktor seperti pembentuk hukum, penegak hukum, pencari
keadilan dan lainnya. oleh karena itu, selain mencapai tujuan, perlu dirumuskan
sarana untuk mencapai tujuan tersebut.
Soerjono
Soekanto mengemukakan ada 4 kaidah hukum yang bertujuan mengubah perikelakuan
masyarakat yakni:
-Melakukan
imbalan secara psikologis bagi pemegang peranan yang patuh maupun pelanggar
kaidah hukum.
-Merumuskan
tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian rupa, sehingga sesuai
dengan serasi-tidakserasinya perikelakuan pemegang peranan dengan kaidah hukum.
-Mengubah
perikelakuan pihak ketiga, yang dapat mempengaruhi perikelakuan pemegang
peranan yang mengadakan interaksi.
-Mengusahakan
perubahan persepsi, sikap, dan nilai-nilai pemegang peranan.
Langkah
di atas hanya merupakan suatu model yang tentunya memiliki banyak kelemahan.
Akan tetapi dengan model tersebut, setidaknya dapat diidentifikasi masalah yang
berkaitan dengan tidak efektifnya sistem hukum tertentu dalam mengubah dan
mengatur perikelakuan masyarakat.
Perubahan
Sosial Masyarakat Dalam Mencapai Pembangunan.
Kelompok
masyarakat berkembang dari bentuk yang sederhana sampai dengan yang kompleks.
Bersamaan dengan itu, timbullah hukum dalam masyarakat, mulai dari yang
sederhana sampai pada saatnya menjadi semakin rumit. Corak kehidupan masyarakat
diikuti oleh corak hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut. Dalam
perkembangannya saling pengaruh mempengaruhi. Setiap kelompok masyarakat selalu
ada permasalahan sebagai akibat perbedaan antara yang ideal dan aktual, antara
yang standar dan yang praktis. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam
masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku
individu. Penyimpangan nilai yang ideal dalam masyarakat seperti pencurian,
pembunuhan, pemerkosaan menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Dalam situasi
demikian, kelompok berhadapan dengan problema untuk menjamin ketertiban bila
kelompok tersebut ingin mempertahankan eksistensinya
Dalam
sistim sosial menurut teori Cybernetic (Soerjono Soekanto), masyarakat
mengalami perubahan sosial berdasarkan beberapa aspek yaitu:
a.
Budaya.
Aspek
budaya dalam perubahan sosial menkontribusikan nilai. Nilai yang dimaksud
adalah pembangsaan, pembangsaan agama, pembangsaan iptek, pembangsaan militer,
pembangsaan persatuan dan kesatuan.
b.
Sosial.
Aspek
sosial menkontribusikan integrasi (pengikat). Dalam aspek ini nilai dijadikan
sebagai pedoman yang harus dituliskan dalam bentuk hukum, sehingga nilai tersebut
dijadikan sebagai pengikat kehidupan bersama. Bentuk hukum yang dimaksud adalah
sistem hukum tidak tertulis (hukum adat), sistem hukum tertulis (Common Law,
Anglo Saxon, Sosialis, Islam).
c.
Politik.
Aspek
politik menkonktribusikan pencapaian tujuan. Dalam mencapai tujuan kehidupan
harus terikat dengan aturan dan nilai. Dalam pencapaian tujuan harus
menggunakan budaya politik, proses politik, partisipasi politik, komunikasi
politik dan struktur politik.
d.
Ekonomi.
Masyarakat
dalam perubahan sosial dalam mencapai tujuan ekonomi harus menggunakan energi.
Energi yang dimaksud harus bersifat liberal, kapitalis, sosialis dan pancasila
sehingga akan mengalami pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi.
Pembangunan
sendiri terdiri dari beberapa konsep:
·
Kemajuan karena adanya pembangunan
·
Pembangunan belum tentu kemajuan
·
Pembangunan karena adanya perubahan sosial
·
Perubahan sosial belum tentu pembangunan.
Berdasarkan
konsep perubahan di atas, Soerjono Soekanto mendefenisikan pembangunan
merupakan proses yang dialami oleh suatu masyarakat menuju kepada keadaan hidup
yang lebih baik, proses mana pada umumnya direncanakan serta dilakukan dengan
sengaja.
Daftar
Pustaka
Lili
Rasjidi, Dasar-Dasar Teori dan Filsafat Hukum, Cita Aditya Bakti, Bandung, 2004
Satjipto
Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Satjipto
Rahardjo, Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, 2003
HUKUM SEBAGAI MEKANISME INTEGRASI
OLEH HARRY
C. BREDEMEIER
Bredemeier
mengatakan bahwa adalah sangat penting untuk membedakan antara dua jenis usaha
yang menghubungkan antara sosiologi dan hukum.
1. Sosiologi
Tentang Hukum,
adalah menjadikan hukum sebagai fokus dari investigasi yang bersifat
sosiologis. Tujuannya adalah menggambarkan arti penting dari hukum terhadap
masyarakat luas atau menggambarkan proses-proses internalnya atau bahkan
kedua-duanya.
2. Sosiologi Dalam
Hukum, adalah
memfasilitasi pelaksanaan hukum dari fungsi-fungsinya.Tujuannya adalah
tergantung dari poin 1 dalam hal ini pengetahuan sosiologis tentang berbagai
fungsi hukum dan mekanisme pelaksanaannya tersebut.
Bredemeier
mengungkapkan suatu analisis terhadap fungsi-fungsi hukum dan hubungannya
dengan sub sistem fungsional lain dari masyarakat. Ia kemudian membahas
beberapa garis penting dalam sosiologi hukum yang menjadi penekanan analisis
itu dan kedudukan sosiologi dalam hukum.
Bredemeier
menggunakan teori yang didasarkan pada teori Sibernetica Talcott Parsons yang
menggunakan empat proses fungsional dari suatu sistem sosial, antara lain :
1. Dengan
adapatation dimaksudkan sebagai proses ekonomi
2. Goal Persuance
adalah proses politik
3. Pattern
maintenance secara sederhana dapat diartikan sebagai proses sosialisasi
4. integation
adalah proses hukum
Jadi
pada dasarnya inti ajaran Bredemeier adalah sebagai berikut :
Pertama
adalah Sistem Hukum ( badan peradilan maksudnya ) merupakan suatu mekanisme
yang berfungsi untuk menciptakan integrasi yang menghasilkan koordinasi dalam
masyarakat dan mendapat masukkan ( inputs ) dari :
- Sistem politik, berupa penetapan tujuan dan dasar kekuasaan penegakkan hukum sebagai imbalan dari penafsiran dan legitimasi yang diberikan oleh sistem hukum.
- Sistem adaptif, berupa pengetahuan dan permasalahan-permasalahan sebagai patokan penelitian sebagai imbalan terhadap organisasi serta kebutuhan akan pengetahuan.
- sistem pattern maintenance berupa konflik dan penghargaan sebagai imbalan dari pemecahan konflik dan keadilan yang diberikan oleh sistem hukum.
Kedua
adalah Didalam fungsinya untuk menciptakan integrasi maka efektifitasnya tergantung
dari berhasilnya sistem hukum untuk menciptakan derajat stabilitas tertentu
dalam proses hubungan antara sistem hukum dengan sektor-sektor lainnya.
Beberapa faktor yang dapat mengganggu stabilitas tersebut antara lain :
1. kemungkinan
timbulnya konsepsi-konsepsi tujuan dalam hukum yang tidak konsisten dengan
kebijaksanaan dengan sistem politik.
2. tanggapan dari
kekuasaan legislatif terhadap fluktuasi jangka pendek kepentingan-kepentingan
pribadi.
3. tidak adanya
komunikasi perihal pengetahuan yang akurat dengan pengadilan.
4. tidak adanya
fasilitas untuk melembagakan fungsi peradilan dalam diri warga masyarakat.
5. adanya
perkembangan nilai-nilai dalam sistem pattern-maintenance yang berlawanan
dengan konsepsi keadilan.
6. tidak adanya
atau kurangnya saluran-saluran melalui mana kebutuhan peradilan dapat dipenuhi.
Ketiga
adalah, hal-hal tersebut di atas dapat membuka beberapa kemungkinan untuk
mengadakan penelitian sosiologi hukum, terutama terhadap masalah-masalah
sebagai berikut :
1. latar belakang
orang-orang yang berfungsi sebagai pembentuk hukum pada kekuasaan legislatif.
2. mekanisme yang
diperlukan untuk menjabarkan ideal-ideal hukum dalam profesi hukum.
3. saluran
komunikasi tentang ilmu pengetahuan kepada kalangan hukum.
4. persepsi-persepsi
dari masyarakat terhadap hukum, dan dasar-dasar dari persepsi tersebut.
5. reaksi-reaksi
warga masyarakat terhadap hukum yang di perlakukan kepadanya.
6. sarana-sarana
lainnya untuk menyelesaikan konflik.di samping hukum.
Hukum
disini ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang
timbul dalam masyarakat secara teratur, atau seperti yang sudah disebutkan
diatas sebagai mekanisme intgerasi. pada waktu timbul sengketa dalam
masyarakat, maka ia memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar
sengketa itu diselesaikan. Pembiaran terhadap sengketa-sengketa itu tanpa
penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam
masyarakat. pada itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan
suatu proses kerjasama yang produktif. Pada saat hukum itu mulai bekerja, maka
pada saat itu pula mulai dilihat betapa bekerjanya hukum itu sebagai mekanisme
pengintegrasi melibatkan pula ketiga proses yang lain, berupa pemberian
masukan-masukan yang nantinya diubah menjadi keluaran-keluaran.
Masukan
Dari Bidang Ekonomi;
Fungsi adaptif atau proses ekonomi memberikan bahan informasi kepada hukum
mengenai bagaimana penyelesaaian sengketa itu dilihat sebagai proses untuk
mempertahankan kerjasama yang produktif. Untuk dapat menyelesaikan sengketa
tersebut, hukum membutuhkan keterangan mengenai latar belakang sengketa dan
bagaimana kemungkinannya diwaktu yang akan datang apabila sesuatu keputusan
dijatuhkan. Pertukaran antara proses integrasi dan adaptasi atau antara proses
hukum dan ekonomi ini akan menghasilkan keluaran yang berupa pengorganisasian
atau penstrukturan masyarakat. Melalui keputusan-keputusan hukum itu ditegaskan
apa yang merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban dan
lain-lain. Keluaran yang berupa pengaruh yang datang dari pengorganisasian
kembali oleh keputusan hukum ini tampak dalam keputusan-keputusan yang
benar-benar menimbulkan perubahan dalam struktur atau organisasi bidang ekonomi
tersebut.
Masukan
Dari Bidang Politik; Proses
politik ini menggarap masalah penentuan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh
masyarakat dan negara serta bagaimana mengorganisasi dan memobilisasi
sumber-sumber daya yang ada untuk mencapainya. Hukum dalam hal ini pengadilan,
menerima masukkan dari sektor politik dalam benruk petunjuk tentang apa dan
bagaimana menjalankan fungsinya. Petunjuk-petunjuk tersebut secara konkrit dan
eksplisit tercantum dalam hukum positif dan menjadi pegangan pengadilan untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya. Akan ganti masukan
tersebut, pengadilan memutuskan untuk memberikan legitimasinya ( atau tidak )
kepada peraturan-peraturan hukum, yang di Indonesia dikenal sebagai masalah hak
menguji undang-undang.
Masukan
Bidang Budaya;
Pertukaran yang terjadi disini bisa dikatakan sebagai yang terjadi antara
proses sosialisasi dengan hukum. Hukum sebagai mekanisme pengintegrasi hanya
dapat menjalankan pekerjaannya tersebut dengan seksama apabila memang dari
pihak rakyat memang ada kesediaan untuk menggunakan jasa pengadilan. Keadaan
tersebut bisa diciptakan melalui masukan yang datang dari proses sosialisasi
tersebut diatas. proses ini akan bekerjan dengan cara mendorong rakyat untuk
menerima pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai
pertukaran bagi masukan yang datang dari bidang budaya tersebut, maka keluaran
yang datang dari pengadilan berupa keadilan.
Hukum adalah
sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.
Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan
masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam
hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana,
hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam
konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di
mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau
kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur
persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan
lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa
"Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan
peraturan tirani yang merajalela.
Para ahli hukum
dalam pandangan mereka mengemukakan tentang hukum berbeda satu sama lain.
Perbedaan pandangan itu dapat dilihat dari pengertian hukum yang mereka
kemukakan. Meskipun ada perbedaan pandangan, namun pengertian itu dapat
diklasifikasikan dalam tiga kelompok.
Pertama, hukum
diartikan sebagai nilai-nilai. Misalnya Viktor Hugo yang mengartikan hukum
sebagai kebenaran dan keadilan. Grotiusmengemukakan bahwa hukum adalah suatu
aturan moral tindakan yang wajib yang merupakan sesuatu yang benar. Pembahasan
hukum dalam konteks nilai-nilai berarti memahami hukum secara filosofi karena
nilai -nilai merupakan abstraksi tertinggi dari kaidah-kaidah hukum.
Kedua, hukum
diartikan sebagai asas-asas fundamental dalam kehidupan masyarakat definisi
hukum dalam perspektif ini terlihat dalam pandangan Salmond yang mengatakan
“hukum merupakan kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di
dalam peradilan”
Ketiga, hukum
diartikan sebagai kaidah atau aturan tingkah laku dalam kehidupan masyarakat.
Vinogradoff mengartikan hukum sebagai seperangkat aturan yang diadakan dan
dilaksanakan oleh suatu masyarakat dengan menghormati kebijakan dan pelaksanaan
kekuasaan atas setiap manusia dan barang. Pengertian yang sama dikemukakan oleh
Kantorowich, yang berpendapat bahwa hukum adalah suatu kumpulan aturan sosial
yang mengatur perilaku lahir dan berdasarkan pertimbangan
B.
Tujuan Hukum
sama halnya dengan pengertian hukum,
banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para
ahli :
1. Prof Subekti, SH :
Hukum itu
mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut bahwa
dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula.
2. Prof. Mr. Dr. LJ. vanApeldoorn :
Tujuan hukum
adalah mengatur hubungan antara sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki
perdamaian antara sesama. Dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara
teliti dan seimbang.
3. Geny :
Tujuan hukum
semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan daya guna dan
kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.
Pada umumnya
hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin adanya kepastian hukum
dalam masyarakat serta mendapatkan kemanfaatan atas dibentuknya hukum tersebut.
Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi hakim atas
dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh hakim berdasarkan
dengan ketentuan yang sedang berlaku.
C.
Unsur Unsur dan Ciri Ciri Hukum
Para ahli hukum di Indonesia
berkesimpulan bahwa Hukum itu memiliki unsur-unsur dan ciri-ciri hukum.
Unsur-unsur
hukum meliputi :
1. Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam bermasyarakat
2. Peraturan
tersebut dibuat oleh badan yang berwenang
3. Peraturan itu
secara umum bersifat memaksa
4. Sanksi dapat
dikenakan bila melanggarnya sesuai dengan ketentuan atau perundang-undangan
yang berlaku.
Maksud dari
uraian unsur-unsur hukum di atas adalah bahwa hukum itu berisikan peraturan
dalam kehidupan bermasyarakat, hukum itu diadakan oleh badan yang berwenang
yakni badan legislatif dengan persetujuan badan eksekutif begitu pula
sebaliknya, secara umum hukum itu bersifat memaksa yakni hukum itu tegas bila
dilanggar dapat dikenakan sanksi ataupun hukumnya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Sedangkan
Ciri-ciri hukum antara lain :
1. terdapat
perintah ataupun larangan dan
2. perintah atau
larangan tersebut harus dipatuhi oleh setiap orang
Tiap-tiap orang
harus bertindak demikian untuk menjaga ketertiban dalam bermasyarakat. Oleh
karena itu, hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur
hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang dapat disebut juga
kaidah hukum yakni peraturan-peraturan kemasyarakatan.
D.
Pengertian Kekuasaan
Kekuasaan adalah
kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan
kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak
boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang
atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai
dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan
kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan
kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Dalam
pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja,
kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang
kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan
untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan
memberi perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat
dan cara yang tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yang
memerintah dan ada yang diperintah. Manusia berlaku sebagai subjek sekaligus
objek dari kekuasaan. Contohnya Presiden, ia membuat UU (subyek dari kekuasaan)
tetapi juga harus tunduk pada UU (objek dari kekuasaan).
Menurut Lasswell
dan Kaplan kekuasaan adalah hubungan atau relasi antara seseorang atau kelompok
terhadap kelompok lainnya dimana salah satu individu atau kelompok mampu
mendeterminasi pengaruh yang lain. Van Doorn menyatakan bahwa kekuasaan adalah
kemungkinan membatasi alternatif-alternatif tingkah laku orang-orang atau
kelompok-kelompok lain sesuai dengan tujuan-tujuan seseorang atau suatu
kelompok. Valkenvurgh menambahkah kekuasaan adalah suatu hubungan yang
melahirkan kemungkinan membatasi alternatif-alternatif tingkah laku dari orang
atau kelompok yang lain.
Kekuasaan dalam
beberapa definisi tersebut di atas hanya diartikan sebagai suatu ‘pembatasan’
dan tidak perluasan alternatif-alternatif tingkah laku atau perilaku politik.
Definisi lain yang sebenarnya juga tidak komprehensif diutarakan oleh Parsons
dan Deutch yang menganggap kekuasaan sebagai alat tukar-menukar dan alat
pembayaran yang unggul di dalam politik. Menurut pandangan ini, seorang
politisi memperoleh kekuasaan dalam bentuk dukungan dari para konstituen dan
memberi kekuasaan dalam bentuk keputusan-keputusan kebijaksanaan. Penggunaan
kekuasaan yang efektif dan efisien seringkali dinamakan penguasaan (control).
Penggunaan
kekuasaan adalah salah satu sarana yang paling banyak digunakan dan yang paling
bervariasi dalam politik. Apabila tujuan utama suatu kebijaksanaan politik
adalah memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, maka kita sebenarnya
membicarakan politik kekuasaan. Namun, terlalu menyamaratakan atau
menyederhanakan bila kita menganggap bahwa semua politik adalah politik
kekuasaan. Kekuasaan kadang-kadang bukan menjadi tujuan, tetapi sarana atau
tujuan untuk tujuan-tujuan lainnya. Kekuasaan juga dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai
dengan tujuan-tujuan seseorang atau kelompok yang menjadi aktor.
Kekuasaan dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, dapat dibedakan
dalam dua kelompok, yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Kekuasaan
Negara berkaitan dengan otoritas negara untuk mengatur kehidupan masyarakat
secara tertib dan damai. Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/kemampuan
masyarakat untuk mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu
dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga interaksi
sosial dapat berjalan secara lancar. Ketidakseimbangandiantara keduanya akan
mendorong terjadinya kekuasaan hegemonikdimana negara sangat kuat dan
masyarakat sangat lemah, sehingga tercipta pola hubungan dominatif dan
eksploitatif. Hal ini mengakibatkan negara bukan hanya campur tangan dalam
urusan-urusan kenegaraan dan kemasyarakatan, tetapi juga intervensi atas
seluruh tindakan masyarakat yang sebenarnya bukan dalam lingkup wewenangnya.
Selain kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dan penetapan
alternatif-alternatif bertindak, kekuasaan juga mengandung makna sarana
pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat dan atas nama masyarakat.
Pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat mencakup pelaksanaan fungsi politik,
pelaksanaan fungsi ekonomi, pelaksanaan fungsi sosial dan budaya, pelaksanaan
fungsi hukum dan pemerintahan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi lainnya.
Pelaksanaan fungsi itu bertujuan untuk memperlancar interaksi sosial dan
penyelenggaraan kehidupan masyarakat.
E.
Hubungan Hukum dan Kekuasaan
Pola hubungan hukum dan
kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu sendiri, Menurut
Lassalle, konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang
hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang
nyata dalam suatu negara” Pendapat Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut
kekuasaan. Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam
konstitusi suatu negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam
negara tersebut dan hubungan-hubungan kekuasaan diantara lembaga-lembaga
negara. Dengan demikian, aturan-aturan hukum yang termuat dalam Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan
Indonesia dan hubungan-hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara.
Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivercrona tak lain
daripada “kekuatan yang terorganisasi”, hukum adalah “seperangkat aturan
mengenai penggunaan kekuatan”, dia mengingatkan “kekerasan fisik atau
pemaksaan” sebagai demikian sama sekali tidak berbeda dari kekerasan yang
dilakukan pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh. Walaupun kekuasaan itu adalah
hukum, namun kekuasaan tidak identik dengan hukum. Van Apeldronmengemukakan
bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi ini berarti bahwa hukum tidak lain
daripada kekuasaan belaka. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak
semuanya hukum. “Mightis not right” pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya
akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu. Kedua, adalah bahwa
hukum tidak sama dengan kekuasaan. Artinya hukum dan kekuasaan merupakan dua
hal yang terpisah, tapi ada hubungan yang erat diantara keduanya. Hubungan itu
dapat berupa hubungan dominatif dan hubungan resiprokal (timbal balik)
Menurut Mahmud MD, hubungan kausalitas antara antara hukum dan politik
atau tentang pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah
politik yang mempengaruhi hukum maka ada 3 macam menjelaskannya. Pertama, hukum
determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh
dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas
hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan, Ketiga, politik
dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat
determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun
hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua
kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Mereka yang hanya
memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis berpegang
teguh pada pandangan, bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat
hubungan antar anggota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan politik.
Sedangkan mereka yang memandang hukum dari sudut das sein (kenyataan) atau para
penganut paham empiris melihat secara realistis, bahwa produk hukum sangat
dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam perbuatannya, tetapi juga dalam
kenyataan-kenyataan empirisnya. Kegiatan legislatif (pembuatan UU) dalam
kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik
dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih
jika pekerjaan hukum itu dikaitkan dengan masalah prosedur. Tampak jelas bahwa
lembaga legislatif (yang menetapkan produk hukum).
F.
Fungsi Kekuasaan terhadap Hukum
Kekuasaan merupakan sarana untuk membentuk hukum, khususnya pembentukan
undang-undang (lawmaking). Kekuasaan untuk membentuk hukum dinamakan kekuasaan
legislatif (legislatif power), yang merupakan kekuasaan parlemen atau badan
perwakilan. Kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan pembentuk undang-undang
berasal dari pemikiran John Locke dan Montesquieu.
Dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara, terdapat konvergensi
kekuasaan pembentukan undang-undang. Pembentukan undang-undang tidak lagi
menjadi monopoli parlemen, tapi kerjasama antara parlemen dan pemerintah.
kekuasaan merupakan alat untuk menegakkan hukum. Penegakan hukum adalah suatu
proses mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut
sebagai keinginan-keinginan hukum adalah di sini tidak lain adalah
pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam
peraturan-peraturan hukum. Kekuasaan merupakan media untuk melaksanakan hukum.
Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan hukum adalah upaya menjalankan
(eksekusi) putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Putusan badan peradilan tidak akan banyak artinya bagi pengorganisasian
kehidupan masyarakat jika tidak dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten.
Otoritas eksekusi merupakan kewenangan kejaksaan dan pengadilan.
G.
Fungsi hukum terhadap Kekuasaan
Hukum adalah media untuk melegalisasi kekuasaan. Legalisasi hukum
terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan kekuasaan dari segi yuridisnya.
Setiap kekuasaan yang memiliki landasan hukum secara formal memiliki legalitas.
Namun yang sering menjadi masalah adalah bila kekuasaan yang legal itu adalah
kekuasaan yang sewenang-wenang, tidak patut, dan tidak adil. Hal itu sebenarnya
merupakan masalah legitimasi kekuasaan, yaitu pengakuan masyarakat terhadap
keabsahan kekuasaan. Hukum adalah instrumen untuk mengatur kekuasaan. Hubungan-hubungan
kekuasaan dalam penyelenggaraan negara harus diatur sedemikian rupa supaya
tidak menimbulkan kekacauan di antara kekuasaan-kekuasaan negara yang ada atau
antara kekuasaan pejabat yang satu dengan kekuasaan pejabat yang lain. Adanya
kekuasaan yang paradoks bukan hanya akan
menimbulkan ketidakjelasan wewenang dan pertanggungjawabannya, tapi juga akan
melahirkan ketidaksinkronan dan ketidakpastian hukum.Hukum adalah alat untuk
membatasi kekuasaan.Pembatasan kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
penumpukan atau sentralisasi kekuasaan pada satu tangan atau pada satu lembaga.
H.
Hukum dalam Mempengaruhi Kekuasaan
Kekuasaan tanpa
suatu aturan maka akan mengkondisikan keadaan seperti hal nya hutan rimba yang
hanya berpihak kepada yang kuat dalam dimensi sosial. Disnilah hukum berperan
dalam membentuk rambu-rambu cara bermain pihak-pihak yang berada di lingkaran
kekuasan. Hal tersebut bisa ditemui di konstitusi dimana konstitusi secara
garis besar berisi tentang bagaimana mengatur, membatasi dan menyelenggarakan
kekuasaan dan mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Peran hukum dalam mengatur
kekuasaan berada dalam lingkup formil.
Kekuasaan yang
diatur hukum merupakan untuk kepentingan masyarakat luas agar masyarakat yang
merupakan objek dari kekuasaan tidak menjadi korban dari kekuasaan. Selain
sebagai kepentingan masyarakat, hukum dalam mempengaruhi kekuasaan juga berguna
sebagai aturan bermain pihak-pihak yang ingin berkuasa atau merebut kekuasaan.
Aturan tersebut berguna sebagai cara main yangfairyang bisa mengkordinir
semua pihak yang terlibat dalam kekuasaan. Hukum dalam hal ini tidak hanya
mengatur masyarakat tetapi juga mengatur pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
I.
Kekuasaan dalam Mempengaruhi Hukum
Eksistensi hukum
tanpa ada kekuasaan yang melatarbelakanginya membuat hukum menjadi mandul. Oleh
karena itu perlunya suatu kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Muncul
pertanyaan bagaimana kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang bisa
dipercaya untuk mempengaruhi hukum yang bertujuan untuk mengatur masyarakat.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka bisa didekati dengan metode konseptual
bukan empiris karena secara empiris kebanyakan hukum hanya digunakan untuk
melegalkan kepentingan penguasa saja.
Secara
konseptual, kekuasaan yang dimiliki oleh sebagian pihak berangkat dari rasa
tidak nyaman masyarakat terhadap keadaan-keadaan yang dianggap bisa menggoyahkan
kestabilan masyarakat. Hal ini sama saja baik dalam masyarakat yang liberal
ataupun sosialis. Masyarakat tersebut sepakat untuk memberikan mandat kepada
sekelompok orang untuk berkuasa dan memiliki kewenangan untuk mengatur mereka
agar tetap tercipta kestabilan sosial. Kewenangan untuk mengatur masyarakat
dari penguasa itulah terletak hukum.
Dalam
perkembangannya tentu saja tidak dapat dihindari bahwa setiap rezim penguasa
memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari
karakteristik hukum yang menjadi produk politiknya. Karakteristik hukum
ternyata berjalan linier dengan karakteristik rezim kekuasaan yang
melatarbelakangi hukum. Apabila kekuasaannya demokratis, maka produk hukumnya
berkarakter responsif sedangkan apabila kekuasaannya otoriter, maka
produk hukumnya berkarakter konservatif atau ortodoks.
Namun ada asumsi
bahwa antara demokrasi dan otoriter ambigu. Artinya tidak bisa dilihat secara
tegas pembedanya. Bisa saja penguasa yang otoriter di suatu negara berdalih
bahwa karakterisitik produk hukum yang bersifat konservatif digunakan untuk
melindungi masyarakat. Dalam hal ini demokratis yang dari, untuk dan oleh
rakyat mengalami pengurangan peran hanya untuk rakyat sehingga
rakyat sekedar menikmati hasil atau kemanfaatannya.
PENDAHULUAN
Modernisasi merupakan gejala yang bisa
ditemukan dimana saja. Proses modernisasi tidak hanya dialami oleh
negara-negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika melainkan juga dialami oleh
negara-negara berkembang baik di Asia maupun di Afrika. Atau dengan kata lain
seluruh negara yang berada dibelahan dunia ini selalu terlibat dalam proses
modernisasi.
Modernisme bersumber dari revolusi
ekonomi, politik dan filosofis renaisance dan aufklarung abad ke
16 lahir dari akar ideologis: (1) bebas dari agama (gereja) dan; (2) fisika
ditempatkan sebagai paradigma humaniora (kemanusian). (Mulkhan, 1999:315). Sementara itu Ahmed (1996:22) menyatakan
bahwa modernisme diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai
dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan pada keinginan
untuk simetri dan tertib, serta akan keseimbangan dan otoritas yang juga telah
menjadi karakternya. Karakter khas
dalam modernisme adalah bahwa ia selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan
(episme, wissenschaff) tentang “apa”nya (ta onta) realitas,
dengan cara kembali ke subyek yang mengetahui itu sendiri (dipahami secara
psikologis maupun transendental).(Sugiharto, 1996:33)
Dalam bidang filsafat, modernisme diartikan
sebagai suatu gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya
diinspirasikan oleh Descrates, kemudian dikokohkan oleh gerakan pencerahan (Aufklarung)
dan mengabadikan dirinya hingga abad keduapuluh ini melalui dominasi sains dan
kapitalisme (Sugiharto, 1996:29). Dalam hubungan ini adalah sangat beralasan
jika Garna (1996:183) menyatakan bahwa modernisasi itu adalah penolakan
terhadap sejarah.
Modernisme pada awalnya dianggap sebagai hal
yang biasa dan wajar, namun dalam perkembangannya ia telah melahirkan berbagai
konsekwensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Menurut
Soewardi, (1999:346-347) kerusakan lingkungan pada alam dan manusia disebutnya
sebagai akibat dari kesalahan ilmu Barat (sains modern), kerusakan pada alam
berupa “planetory ecological crisis”, penguasaan sumber daya alam oleh
segolongan tertentu, ketimpangan yang semakin menganga, belum lenyapnya
kemiskinan. Pada manusia konsekwensi negatif itu dapat berupa sifat resah, berlombanya
keganasan, ketidaksudian berpikir (dull mindeniss), kecelakaan mobil dan
pesawat udara dan lain-lain.
Sementara menurut Sugiharto
(1996:29-30), konsekwensi buruk yang ditimbulkan oleh modernisme bagi kehidupan
manusia dan alam diantaranya: pertama, pandangan dualistiknya yang
membagi seluruh kenyataan menjadi subyek dan obyek, spritual-material, manusia
dunia, telah mengakatkan obyektivitas alam secara berlebihan dan pengurasan
semena-mena. Hal ini menyebabkan krisis ekologi; kedua, pandangan modern
yang bersifat obyektivitas dan positivitas akhirnya cenderung menjadikan
manusia seolah obyek juga, dan masyarakatpun direkayasa bagaikan mesin. Akibat
dari hal ini adalah bahwa masyarakat cenderung menjadi tidak manusia; ketiga,
dalam modernisme ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar
kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini nilai moral dan relegius kehilangan
wibawanya; keempat, dalam materialisme,
bila kenyataan terdasar tak lagi ditemukan dalam religi, maka materilah
yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar. Meterialisme ontologis ini
didampingi pula dengan materialisme praktis, yaitu hidup pun menjadi keinginan
yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Aturan main utama tak lain adalah survival
of the fittest, atau dalam skala lebih besar, persaingan dalam pasar bebas.
Etika persaingan dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan
pola perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan modern;
kelima, militerisme, dimana norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya
bagi perilaku manusia, maka norma umum obyektif pun cenderung hilang, akibatnya
adalah kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satu cara
untuk mengatur manusia, Ungkapan yang
paling gamblang dari hal ini adalah militerisme dengan persejantaan nuklirnya.
Meskipun demikian, perlu juga dicatat bahwa religipun bisa sama koersifnya
manakala dihayati secara “fundamentalistis”, karena di sana Tuhan biasanya juga dilihat sebagai
“kekuasaan” yang menghancurkan pihak musuh. Jadi bila religi dihayati secara
demikian, memang ia justru menjadi alat legitimasi militerisme; keenam,
bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau
kelompok sendiri merupakan konsekwensi
logis dari hukum survival of the fittest dan penggunaan kekuasaan yang koersif.
Sebetulnya secara teoritis religi-religi telah selalu berusaha untuk mengatasi
tribalisme dan menggantikannya dengan universalisme. Namun ia kini tak memiliki
cukup kekuatan dan otoritas hingga pengaruhnya tak amat terasa. Lebih celaka
lagi, setelah perang ideologi selesai kini agama menjadi kategori identitas
penting yang justru cenderung mendukung kelompok-kelompok yang saling
bertengkar, dengan kata lain ia justru mendukung tribalisme. Atas dasar segala
konsekwensi yang bersifat negatif atau buruk
modernisme telah memicu berbagai gerakan
postmodernisme.
MODERNISME
DAN POSTMODERNISME
Perdebatan mengenai hakikat peralihan
dari modernisme menuju postmodernisme disarati dengan permasalahan-permasalahan
filosofis, khususnya masalah epistemologis yang belum terjawab secara memadai,
hal ini disebabkan peralihan ini tidak bisa dilepaskan dari konflik dan kritik
terhadap modernitas itu sendiri.
Perdebatan yang berkepanjangan
antara modernisme dan posmodernisme ini
telah melahirkan dua kubu filsafat, yaitu pertama adalah kubu yang
bermaksud melawan (against) dan melenyapkan keberadaan filsafat
modernisme. Kedua, kubu yang berkehendak mengatasi (overcome) sebagai
cacat yang disandang oleh modernitas dengan tetap konsisten pada paham itu
(Nugroho, 1999:88).
Meskipun beragamnya aliran pemikiran
dalam perdebatan tersebut, kiranya masih dapat diindentifikasi bahkan
dikelompokkan. Secara agak kasar yaitu kedalam kelompok kubu “Dekonstruktif”
dan kubu “Konstruktif atau Revisioner” (Sugiharto, 1996:16). Kubu pertama
disebut sebagai “orang dari luar” modernitas yang oleh Nietzsche dan Heideger,
dan dilanjutkan oleh para pemikir posmodern dan post- strukturalis, seperti
Foucault, Deleize, Guattari, Lyotard, Bataille, Baudrillard, Kristeva dan
Vattimo (dalam Piliang,1992:21). Sementara kubu kedua disebut sebagai “kritik
diri” (self-criticism) yang dilakukan oleh kelompok Frankfurt School,
seperti Adorno, Horkheimer, Marcuse dan Hubermas (dalam Piliang, 1999:21).
Munculnya dua kubu dalam perdebatan ini
merupakan refleksi atas kekecewaan terhadap modrenitas, dimana para pemikir
posmodernisme menganggap bahwa modernitas telah kehilangan kemampuan kritisnya
(critical power), sehingga ia tidak mampu lagi menemukan tujuan
teleologis dan utopis yang ingin dicapai (Piliang, 1999:15).
Perdebatan atau perselisihan modernisme
versus postmodernisme, memuncul posisi
filosofis, dua posisi diantaranya saling bertabrakan secara diametral sedang
yang satu lebih bersifat ambivalen. Posisi pertama dinamakan Hegelian sayap kiri. Ini merupakan
posisi dari kaum postmodernisme yang beranggapan bahwa filsafat pencerahan
sudah kehabisan spirit sehingga harus ditinggalkan. Posisi kedua adalah
Hegelian sayap pembaharu, yang terdiri dari kaum Marxian, Neo Marxian, hingga
mazhab Franfurt. Pandangan ini memiliki keyakinan bahwa modernitas merupakan
warisan budaya dan cacat-cacat yang terkandung di dalamnya yang perlu mendapat
pencerahan. Sedang posisi ketiga adalah kaum ambivalen. Posisi ini
dipelopori oleh Adorno dan Horkheimer. Pandangan mereka dianggap satu kaki berdiri pada posisi
modernisme dan kaki lain ikut berlari bersama postmodernisme. Ambivalensi
seperti ini berakibat pada kebingungan filosofis. (Budiman, 1993:177-232).
Menurut Hubermas (1990), postmoderisme
sama artinya dengan modern, yaitu teori-teori sesudah era pencerahan (Nack
aufklarung). Spirit postmodernisme adalah “Die Gegenwart der
Vergangenheil”, yang artinya mengaburkan tradisi kesejarahan dan menganggap
bahwa dirinya merupakan sebuah historisme baru. Pandangan seperti ini dapat
dianggap ahistoris.(Nugroho, 1999:90)
Gerakan posmodernisme yang merupakan
suatu gerakan pemikiran yang ingin melakukan revisi terhadap paradigma modern
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu pertama adalah
pemikiran-pemikiran yang dalam rangka merevisi kemodernan itu cenderung kembali
ke pola berpikir pramodern; kedua adalah pemikran-pemikiran yang terkait
erat pada dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik; ketiga dalah segala pemikiran yang hendak merivisi
modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan
memperbaharui premis-premis modern disana sini (Sugiharto, 1996:30).
Berdasarkan atas beragamnya pemikiran tentang
postmodernisme ini sehingga sangat sulit dipahami makna yang sebenarnya,
menurut Ahmed, (1996:22), kesulitan dalam memahami konsep postmodernisme adalah
bahwa konsep postmodernisme pada tingkat yang paling jelas, ini kurang jelas,
dan asal muasalnya pun belum jelas. Apakah ini merupakan periode sejarah
(postmodernitas) atau gaya maka kini (postmodernisme) ? apakah ini merupakan
kecongkakan sastra, konsep filosofis atau konsep arsitektur ? apakah ini
merupakan variasi estetis, respon terhadap kecenderungan globalisasi, gaya seni
atau fenomena sosial ? apakah ini merupakan fenomena eksklusif Eropa, atau
dapatkah diterapkan ditempat lain. Karena istilah postmodernisme itu menjukkan
kemenduaan atau ironi.
Dipihak lain Bryan Turner (2000:35),
menyatakan bahwa konsep posmodernisme pertama kali muncul dalam
kontek sastra berkenaan dengan reaksi konservatif dalam modernisme. Istilah
tersebut kemudian digunakan dalam hubungannya dengan rangkaian teks dan
sensibilitas yang lebih luas, untuk mensifati teks atau narasi yang bersifat
afirmatif dan kritis, untuk menilai periode sejarah dan corak estetik, dan
untuk menkonsepsikan perbedaan, bentuk khas dari luar yang modern., sebagaimana
kesamaan, berbagai varian, yang sebenarnya menjadi batas modernisme.
Berdasarkan
pendapat Ahmed dan Turner tersebut, dapat diketahui bahwa diantara para ahli
masih belum ada kesamaan dalam memberikan pengertian yang tegas tentang
postmodernisme. Bahkan Hubermas dalam (Nugroho,1999:91) menyatakan bahwa postmodernisme sama artinya
dengan proses menuju masyarakat modern yang belum selesai. Modernisasi masih meninggalkan sejumlah
masalah yang diambil alih oleh postmodern. Jadi faham postmodernisme tidak
ubahnya seperti logika dialektika pencerahan. Malcolm Bradbury dalam Ahmed,
(1996:24), mengatakan bahwa istilah postmoderninsme pertama kali digunakan tiga
puluh tahun lalu, tetapi setelah beberapa dekade istilah tersebut lalu memiliki arti yang berbeda bagi orang yang
berbeda.
Berdasarkan
pendapat diatas dapatlah dikatakan
bahwa postmodernisme hanya akan
menjadi sebuah ungkapan yang menarik karena apa sebenarnya postmoderisme itu
masih belum jelas artinya, disamping itu
juga tidak ada penggambaran fase sejarah baru tentang manusia.
RELEVANSINYA
BAGI PEMBANGUNAN
Sebagaimana telah dinyatakan dalam
tulisan ini dibagian atas konsekwensi
negatif dari modernisme adalah terjadinya kerusakan lingkungan, ketidak adilan,
kemiskinan, dehumanisasi, bahkan semakin buruknya perdaban global.
Pembangunan sebagai usaha untuk merubah
masyarakat kenyataannya melahirkan fenomena yang sekaligus berlawanan. Disatu
pihak pembangunan menjadi kebanggaan bangsa karena menghasilkan pertumbuhan
ekonomi, sedangkan dipihak lain pertumbuhan ekonomi tinggi membentuk tingkat
kesenjangan ekonomi, sosial, politik yang semakin lebar. Kalau dikaji
bahwa pembangunan dalam pelaksanaan
selalu menimbulkan berbagai macam masalah sosial, hal ini mengindikasikan bahwa
pola pembangunan dan strategi kebijakan yang diterapkan tidak menyentuh akar
permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Sebagai konsekwensi logis
dari permasalahan tersebut adalah membuat kehidupan masyarakat semakin terpuruk dan jumlah penduduk yang
miskin semakin meningkat. Melihat kenyataan tersebut, memang ada benarnya apa
yang dikemukakan oleh Susilo (1994:67) bahwa pembangunan yang tujuannya merubah
kondisi sosial menjadi lebih baik yang dilaksanakan dengan cara pemberdayaan ekonomi, ironisnya
cenderung menciptakan ketidak berdayaan politis masyarakat lapisan tertentu.
Dapatlah
dikatakan bahwa makna pembangunan yang sebenarnya adalah bertujuan untuk menuju
kondisi tertentu yang lebih baik, nilai kebaikannya tersembunyi dibalik
pelaksanaan pembangunan. Kebaikan yang ditimbulkan oleh pembangunan itu sendiri
hanya dapat dinikmati oleh kelompok tertentu yang memiliki power,
sementara lapisan masyarakat tertentu (lemah) tetap berada pada posisi yang
menyedihkan dan menjadi korban dalam pelaksanaan pembangunan. Karena tujuan dan
anggapan dasarnya adalah baik maka proses pembangunan yang selama ini kita
lihat mengizinkan pengorbanan-pengorbanan berbagai dimensi kemanusian, tidak
jarang demi pembangunan, muncullah berbagai bentuk paksaan terhadap masyarakat kecil yang tertindas,
yaitu melakukan penggusuran. Bila dikaitkan dengan konsep pembangunan yaitu
melakukan tujuan tertentu agar tercipta kondisi yang lebih baik, secara
substansi konsep atau arti tersebut mengalami kontradiksi yaitu melakukan
pembebasan manusia.
Dalam pelaksanaan pembangunan agar tidak
terjebak dalam hal hanya masyarakat yang
dikorban atau dengan kata lain masyarakat selalu menjadi korban dan berada pada
posisi yang lemah, pembangunan memerlukan persyaratan normatif yaitu adanya
dialektis antara pengejaran ekonomi dengan nilai-nilai moral dan semuanya harus
diletakkan dalam sistem politik yang demokratis, yaitu adanya kebebasan
berpikir secara kritis dengan melakukan kritik baik bersifat konstruktif maupun
destruktif terhadap jalannya pembangunan
yang ditujukan untuk mencari kebenaran atau solusi yang tepat. Dengan demikian
arti pembangunan yang bertujuan untuk merubah kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat yang lebih baik akan dapat terwujud, karena keputusan yang diambil
dalam berbagai kegiatan pembangunan tersebut telah didasarkan atas diskusi dan opini publik.
Dalam hubungannya dengan uraian
diatas pada kenyataannya selama ini,
menurut Nugroho (1999:100) dalam proses
pembangunan yang menjalani distorsi
instrumen ruang publik telah diintervensi oleh kekuatan politis negara,
sehingga opini publik yang muncul adalah bukan opini masyarakat tetapi justru
opini elit politik. Akibat dari dominasi ruang publik oleh negara adalah adanya
kecenderungan keputusan teknis bukan didasarkan atas diskusi dan opini publik
tetapi didasarkan pada keputusan elit politik yang dipaksakan ke dalam
masyarakat luas. Mengikuti persyaratan secara normatif, sebenarnya dalam
pembangunan diskusi publik merupakan landasan untuk mengejar target-target yang
telah disepakati, bukan sebaliknya dianggap tidak efisien demi mengejar target
pertumbuhan ekonomi.
Kemudian lebih jauh, sebagai akibat dari
intervensi yang terlalu besar dari
kekuatan politis negara, peranan birokrasi sebagai instrumen politis dan penggerak roda pembangunan untuk melayani
kepentingan publik semakin tercabut dari
masyarakat dan tidak mengakar. Pada hal menurut Nugroho (1999:99), birokrasi dalam negara liberal justru
mengakar dalam masyarakatnya dan bersifat melayani setiap warga masyarakat yang
membutuhkan karena ada proses dialektis antara birokrasi yang menyembunyikan
rasionalitas instrumen dengan sistem politik dan moral masyarakat yang liberal
dan demokratis. Dalam iklim politis demokratis maka birokrasi, lanjut Nugroho
(1999:99) eksistensi yang tujuannya
adalah mengejar target-target efisiensi dan efektifitas berada dibelakang
“politis” masyarakat itu sendiri.(Nugroho,1999:99).
Dengan demikian, mengakar dan
tumbuhnya opini publik dalam arti
substansial ditengah-tengah masyarakat dapat dipakai sebagai sarana kontrol
atas jalannya pembangunan atau bahkan kekuatan atas kontrol kekuasaan
pembangunan sehingga menghindarkan masyarakat dari berbagai bentuk dominasi.
Selain itu dengan terciptanya diskusi publik yang tidak terbatas terutama dalam
memecahkan persoalan pembangunan dan
kemasyarakatan, menurut Nugroho, (1999:104), ketegangan dialektis permanen akan
selalu tercipta antara pengambil kebijakan (penguasa), teknokrat, opini publik
demi terwujudnya kontrol sosial dari masing-masing pihak.
0 komentar:
Posting Komentar