Kamis, 26 April 2018

Hukum dan Sosial



HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

Perubahan terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang selalu berubah, aktif, kreatif, inovatif, agresif, selalu berkembang dan responsif terhadap perubahan yang terjadi di sekitar lingkungan sosial mereka. Di dalam masyarakat, nilai-nilai sosial tertentu yang lama dan sudah tidak memenuhi tuntutan zaman akan hilang dan diganti dengan nilai-nili baru. Kemudian, nilai-nilai itu diperbaharui lagi dan diganti dengan nilai-nilai yang lebih baru lagi. Nilai tradisional diganti dengan nilai modern, nilai modern diganti dan diperbaharui lagi dengan yang lebih baru lagi, yaitu post modern, dan seterusnya. Sejalan dengan perubahan nilai sosial itu, berubah pula pikiran dan perilaku anggota masyarakatnya.

Dalam kelompok teori-teori perubahan sosial klasik telah dibahas empat pandangan dari tokoh-tokoh terkenal yakni August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. August Comte menyatakan bahwa perubahan sosial berlangsung secara evolusi melalui suatu tahapan-tahapan perubahan dalam alam pemikiran manusia, yang oleh Comte disebut dengan evolusi intelektual. Tahapan-tahapan pemikiran tersebut mencakup tiga tahap, dimulai dari tahap Teologis Primitif, kedua; tahap Metafisik transisional, dan ketiga; tahap positif rasional.

Karl Marx pada dasarnya melihat perubahan sosial sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam tata perekonomian masyarakat, terutama sebagai akibat dari pertentangan yang terus terjadi antara kelompok pemilik modal atau alat-alat produksi dengan kelompok pekerja.

Di lain pihak Emile Durkheim melihat perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang merubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik. Sementara itu Max Weber pada dasarnya melihat perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah akibat dari pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dicontohkan Masyarakat Eropa yang sekian lama terbelenggu oleh nilai Katolikisme Ortodox, kemudian berkembang pesat kehidupan sosial ekonominya atas dorongan dari nilai Protestanisme yang dirasakan lebih rasional dan lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan modem.

Perubahan dan interaksi sosial adalah merupakan gejala perubahan dari suatu keadaan sosial tertentu ke keadaan sosial lain. Teori siklus menjelaskan, bahwa perubahan sosial bersifat siklus. Pandangan teori siklus sebenarnya telah dianut oleh bangsa Yunani, Romawi dan Cina Kuno jauh sebelum ilmu sosial modern lahir. Mereka membayangkan perjalanan hidup manusia yang pada dasarnya terperangkap dalam lingkaran sejarah yang tidak menentu. Menurut orang Cina, alam semesta dibayangkan berada dalam perubahan yang berkepanjangan. Namun perubahan itu mengikuti ayunan abadi gerakan melingkarnya perubahan itu sendiri. Masyarakat mempunyai sifat yang dinamis, ia selalu ingin berkembang dan berubah. Irama perubahan tersebut ada yang lambat, ada yang sedang, ada yang cepat karena dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pola-pola interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat pun semakin kompleks.

Dilihat dari segi bentuk-bentuk kejadiannya, maka perubahan sosial dapat dibahas dalam tiga dimensi atau bentuk, yaitu: perubahan sosial menurut kecepatan prosesnya, ada yang berlangsung lambat (evolusi) dan ada yang cepat (revolusi). Perubahan sosial menurut skala atau besar pengaruhnya luas dan dalam, serta ada pengaruhnya relatif kecil terhadap kehidupan masyarakat. Dan yang ketiga, adalah perubahan sosial menurut proses terjadinya, ada yang direncanakan (planned) atau dikehendaki, serta ada yang tidak direncanakan (unplanned). Menurut kecepatan prosesnya, perubahan sosial dapat terjadi setelah memulai proses perkembangan masyarakat yang panjang dan lama, yang disebut dengan proses evolusi. Tetapi ada juga perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat, yang disebut dengan revolusi.

Aspek-aspek perubahan sosial dapat dibahas dalam dua dimensi. Pertama, aspek yang dikaitkan dengan lapisan-lapisan kebudayaan yang terdiri dari aspek material, aspek norma-norma (norms) dan aspek nilai-nilai (values). Kedua, aspek yang dikaitkan dengan bidang-bidang kehidupan sosial masyarakat, yang dalam kegiatan belajar ini dikemukakan bidang kehidupan ekonomi, bidang kehidupan keluarga, dan lembaga-lembaga masyarakat.

Aspek kebudayaan material (artifacts) adalah aspek-aspek yang sifatnya material dan dapat diraba atau dilihat secara nyata, seperti pakaian, alat-alat kerja, dan sebagainya. Karena sifatnya material, maka aspek kebudayaan ini relatif cepat berubah. Adapun aspek norma (norms), menyangkut kaidah-kaidah atau norma-norma sosial yang mengatur interaksi antara semua warga masyarakat. Aspek ini relatif lebih lambat berubah dibandingkan dengan aspek kebudayaan material.

Aspek lain adalah nilai-nilai budaya (values), yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur yang menjadi pandangan atau falsafah hidup masyarakat. Nilai-nilai inilah yang mendasari norma-norma sosial yang menjadi kaidah interaksi antar warga masyarakat. Aspek nilai inilah paling lambat berubah dibandingkan dengan kedua aspek kebudayaan yang disebut terdahulu. Perubahan sosial dalam bidang ekonomi pada dasarnya menyangkut perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat dalam upaya mereka untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya, baik perubahan dalam nilai-nilai ekonomi, sikap, hubungan ekonomi dengan warga lainnya, maupun dalam cara atau alat-alat yang dipergunakan. Salah satu kunci dalam perubahan bidang ekonomi ini adalah proses “diferensiasi” dan spesialisasi”. 

Dalam aspek kehidupan keluarga, yang menjadi fokus perhatian adalah perubahan fungsi dan peranan keluarga dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Perubahan dalam struktur dan jumlah anggota keluarga mendorong terjadinya perubahan fungsi dan peranan keluarga. Salah satu aspek kehidupan keluarga yang paling jelas perubahannya adalah peranan kaum ibu. Adapun dalam aspek lembaga-lembaga masyarakat, perubahan sosial pada dasarnya berkembang, dari suasana kehidupan masyarakat tradisional dengan lembaga-lembaga masyarakat yang jumlah dan sifatnya masih sedikit dan terbatas, serta umumnya berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan. Berkembang menuju masyarakat modern dengan lembaga-lembaga masyarakat yang lebih bervariasi yang pada umumnya dibentuk atas dasar kepentingan warganya, baik dalam bidang ekonomi, kebudayaan, pendidikan, serta dalam bidang hukum, politik dan pemerintahan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial terdiri atas faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor internal yakni kondisi atau perkembangan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan yang mendorong perubahan sosial. Faktor-faktor ini yang mencakup terutama faktor demografis (kependudukan), adanya penemuan-penemuan baru, serta adanya konflik internal dalam masyarakat. Faktor-faktor Demografis adalah semua perkembangan yang berkaitan dengan aspek demografis atau kependudukan, yang mencakup jumlah, kepadatan, dan mobilitas penduduk. Sedangkan faktor penemuan-penemuan baru, adalah adanya penemuan di kalangan atau oleh warga masyarakat berkaitan dengan suatu alat atau cara yang selanjutnya diterima penggunaannya secara luas oleh masyarakat, dan karena itu mempengaruhi perkembangan kehidupan sosial mereka. 

Sementara itu, faktor konflik internal adalah pertentangan yang timbul di kalangan warga atau kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat adanya perbedaan kepentingan atau perbedaan persepsi yang dipertahankan oleh masing-masing kelompok. Adapun Faktor-faktor eksternal yaitu kondisi atau perkembangan yang terjadi di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan, tetapi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam faktor eksternal, yang terpenting di antaranya adalah pengaruh lingkungan alam, pengaruh unsur kebudayaan maupun aktualisasi, faktor eksternal juga dapat berupa adanya peperangan yang mengakibatkan terjadinya penaklukan suatu masyarakat atau bangsa oleh bangsa lain, yang selanjutnya memaksakan terjadinya perubahan sosial terutama di kalangan bangsa yang kalah perang.
Perubahan Sosial Dikaitkan Dengan Sosiologi Hukum

Perubahan sosial dikaitkan dengan sosiologi hukum terbagi dalam 2 (dua) variabel yakni masyarakat dan hukum. Masyarakat sendiri terdiri dari beberapa ciri, yakni ciri masyarakat tradisional, transisi, dan modern dimana uraian ini antara lain diarahkan kepada aspek politik, sosial budaya, demografis, dan aspek kelembagaan. Salah satu ahli yang banyak berjasa dalam teori perubahan model administrasi di negara sedang berkembang, adalah Fred W. Riggs. Ide-ide dasar Riggs, banyak yang diadaptasi dalam mendeskripsikan perubahan sifat dan prilaku masyarakat menurut tiga klasifikasi tersebut. Terutama pada karakteristik masyarakat transisi (masyarakat prismatik) merupakan kajian yang sangat relevan dengan masyarakat kita, mengingat posisi masyarakat Indonesia sekarang berada dalam masa transisi yang berarti segala keunggulan dan kelemahannya bermanfaat diketahui untuk selanjutnya dilakukan perbaikan (intervensi) di periode mendatang.

Misalnya, dilihat dari aspek politik, maka karakteristik masyarakat tradisional cenderung memiliki kesadaran politik yang rendah, di samping itu antara satu golongan yang lainnya cenderung saling mencurigai. Keadaan seperti ini berlaku terbalik pada masyarakat modern, di mana partisipasi dalam aspek politik cenderung tinggi dan sportivitas antara satu golongan/partai dengan yang lainnya relatif berjalan baik. Sementara itu, pada masyarakat transisi berada di antara dua kutub ini, dimana ciri-cirinya lebih banyak diwarnai oleh warna yang formalistis. Artinya, secara formal telah ada aturan dalam pelaksanaan suatu aktivitas, seperti dalam Pemilu, namun yang lazim terjadi pada masyarakat transisi adalah aturan itu lebih bersifat formalitas dibanding dipraktekkan atau ditegakkan di lapangan. 

Masyarakat mempunyai sifat yang dinamis, ia selalu ingin berkembang dan berubah. Irama perubahan tersebut ada yang lambat, ada yang sedang, ada yang cepat karena dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pola-pola interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat pun semakin kompleks. Gejala sosial sendiri tidak terlepas dari unsur sosial yakni struktur sosial dan proses sosial. Hal ini dimaksud karena dalam suatu struktur sosial otomatis terdiri dari beberapa bagian yang secara sistimatis mempengaruhi suatu gejalah sosial. Bagian yang dimaksud adalah kebudayaan, lembaga sosial, kekuasaan, kelompok sosial dan lapisan sosial.

Bagian-bagian dari struktur sosial tersebut jika berdinamika akan membentuk suatu proses sosial. Proses sosial itu sendiri terdiri dari : 
a. Interaksi sosial ( baik secara kodrati, organis maupun mekanis), 
b. Reaksi atau perubahan sosial (terarah, maju, mengambang dan mundur). 
c. Serta permasalahan sosial (sangat berat, amat berat, berat, tidak berat).

Terjadinya suatu interaksi sosial dengan sendirinya hukum melakukan atau melaksanakan fungsinya sebagai pengendalian sosial. Fungsi hukum dibedakan menjadi beberapa kategori berdasarkan proses sosial yakni :

1. Fungsi hukum sebagai pengatur apabila dalam proses interaksi sosial tersebut interaksi dilakukan dengan nurani (kodrati), organis (terorgisir) dan mekanis atau dilakukan berdasarkan keinginan hati.

2. Fungsi hukum sebagai pengawas apabila terjadi reaksi ( perubahan sosial). Perubahan sosial yang menjadikan hukum mengawasi adalah perubahan sosial terarah, maju, mengambang, dan mundur.

3. Fungsi hukum sebagai penyelesaian masalah. Peranan hukum dalam menyelesaikan masalah apabila terjadi permasalahan sosial. Permasalahan sosial terbagi atas beberapa kategori yakni, permasalahaqn sosial sangat berat, amat berat, berat, dan tidak berat.

Dari fungsi hukum dalam menyelesaikan masalah, apabila terjadi permasalahan sosial. Permasalahan sosial tidak terlepas dari perubahan sosial, karena permasalahan sosial akan timbul dengan sendirinya berdasarkan pola atau kategori perubahan sosial. Perubahan sosial terarah maka permasalahan sosialnya tidak berat. Perubahan sosial maju maka permasalahan sosialnya berat. Perubahan sosial mengambang maka permasalahan sosialnya amat berat. Sedangkan perubahan sosial mundur maka yang terjadi permasalahan sosialnya menjadi sangat berat. Dengan demikian hukum berdampingan dengan masyarakat, karena terjadinya suatu interaksi sosial hukum berperan sebagai pengatur masyarakat.

Penegakan Hukum Dan Perubahan Sosial Masyarakat Dalam Pencapaian Pembangunan.
Penegakan hukum. 

Hukum dalam penegakannya mengecewakan masyarakat, teori penegakan hukum (Soerjono Soekanto). Permasalahan hukum diakibatkan oleh beberapa faktor yakni.

1. Hukum itu sendiri.
Hukum dinilai sebagai salah satu faktor permasalahan hukum karena hukum itu sendiri seringkali masih dibawah tekanan politik.

2. Masyarakat.
Masyarakat merupakan salah satu faktor permasalahan hukum, karena seringkali masi terlihat tidak adanya kesadaran untuk mematuhi hukum dari masyarakat. 

3. Penegak hukum.
Penegak hukum dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum dinilai mengecewakan masyarakat, karena terdapat oknum-oknum tertentu dari aparat penegak hukum yang kurang tegas dan masi melakukan mafia kasus. 

4. Sarana dan prasarana penegakan hukum.
Kurangnya sarana dan prasarana penegakan hukum mengakibatkan lambannya proses penyelesaian masalah hukum. Misalnya kendaraan patroli, pos penjaga, rambu-rambu lalu lintas, dan lain-lain.

5. Budaya.
Budaya menjadi salah satu faktor penyebeb permasalahan hukum, karena pengaruh menurunnya budaya taat akan hukum.

Pada prinsipnya kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan yang dikehendaki atau direncanakan (intended change atau planed change). Dengan perubahan yang direncanakan dan dikehendaki tersebut dimaksudkan sebagai perubahan yang dikehendaki dan direncanakan oleh warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor. Dalam masyarakat yang kompleks dimana birokrasi memegang peranan penting dalam tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam hal ini, maka hukum dapat menjadi alat ampuh untuk mengadakan perubahan sosial, walaupun secara tidak Langsung.

Selanjutnya sehubungan dengan perubahan ini, hukum juga bertujuan mengubah perikelakuan masyarakat. Satu masalah yang muncul seperti dikemukakan oleh Gunnar Myrdal yakni softdevelopment dimana hukum tertentu ternyata tidak efektif. Gejala ini terjadi karena beberapa faktor seperti pembentuk hukum, penegak hukum, pencari keadilan dan lainnya. oleh karena itu, selain mencapai tujuan, perlu dirumuskan sarana untuk mencapai tujuan tersebut.

Soerjono Soekanto mengemukakan ada 4 kaidah hukum yang bertujuan mengubah perikelakuan masyarakat yakni:

-Melakukan imbalan secara psikologis bagi pemegang peranan yang patuh maupun pelanggar kaidah hukum.
-Merumuskan tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan serasi-tidakserasinya perikelakuan pemegang peranan dengan kaidah hukum.
-Mengubah perikelakuan pihak ketiga, yang dapat mempengaruhi perikelakuan pemegang peranan yang mengadakan interaksi.
-Mengusahakan perubahan persepsi, sikap, dan nilai-nilai pemegang peranan.

Langkah di atas hanya merupakan suatu model yang tentunya memiliki banyak kelemahan. Akan tetapi dengan model tersebut, setidaknya dapat diidentifikasi masalah yang berkaitan dengan tidak efektifnya sistem hukum tertentu dalam mengubah dan mengatur perikelakuan masyarakat.

Perubahan Sosial Masyarakat Dalam Mencapai Pembangunan. 

Kelompok masyarakat berkembang dari bentuk yang sederhana sampai dengan yang kompleks. Bersamaan dengan itu, timbullah hukum dalam masyarakat, mulai dari yang sederhana sampai pada saatnya menjadi semakin rumit. Corak kehidupan masyarakat diikuti oleh corak hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya saling pengaruh mempengaruhi. Setiap kelompok masyarakat selalu ada permasalahan sebagai akibat perbedaan antara yang ideal dan aktual, antara yang standar dan yang praktis. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku individu. Penyimpangan nilai yang ideal dalam masyarakat seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Dalam situasi demikian, kelompok berhadapan dengan problema untuk menjamin ketertiban bila kelompok tersebut ingin mempertahankan eksistensinya

Dalam sistim sosial menurut teori Cybernetic (Soerjono Soekanto), masyarakat mengalami perubahan sosial berdasarkan beberapa aspek yaitu:

a. Budaya.

Aspek budaya dalam perubahan sosial menkontribusikan nilai. Nilai yang dimaksud adalah pembangsaan, pembangsaan agama, pembangsaan iptek, pembangsaan militer, pembangsaan persatuan dan kesatuan.

b. Sosial.

Aspek sosial menkontribusikan integrasi (pengikat). Dalam aspek ini nilai dijadikan sebagai pedoman yang harus dituliskan dalam bentuk hukum, sehingga nilai tersebut dijadikan sebagai pengikat kehidupan bersama. Bentuk hukum yang dimaksud adalah sistem hukum tidak tertulis (hukum adat), sistem hukum tertulis (Common Law, Anglo Saxon, Sosialis, Islam). 

c. Politik.

Aspek politik menkonktribusikan pencapaian tujuan. Dalam mencapai tujuan kehidupan harus terikat dengan aturan dan nilai. Dalam pencapaian tujuan harus menggunakan budaya politik, proses politik, partisipasi politik, komunikasi politik dan struktur politik.

d. Ekonomi.

Masyarakat dalam perubahan sosial dalam mencapai tujuan ekonomi harus menggunakan energi. Energi yang dimaksud harus bersifat liberal, kapitalis, sosialis dan pancasila sehingga akan mengalami pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi. 
Pembangunan sendiri terdiri dari beberapa konsep:

· Kemajuan karena adanya pembangunan
· Pembangunan belum tentu kemajuan
· Pembangunan karena adanya perubahan sosial
· Perubahan sosial belum tentu pembangunan.

Berdasarkan konsep perubahan di atas, Soerjono Soekanto mendefenisikan pembangunan merupakan proses yang dialami oleh suatu masyarakat menuju kepada keadaan hidup yang lebih baik, proses mana pada umumnya direncanakan serta dilakukan dengan sengaja.

Daftar Pustaka

Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Teori dan Filsafat Hukum, Cita Aditya Bakti, Bandung, 2004
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, 2003
HUKUM SEBAGAI MEKANISME INTEGRASI
 OLEH HARRY C. BREDEMEIER
Bredemeier mengatakan bahwa adalah sangat penting untuk membedakan antara dua jenis usaha yang menghubungkan antara sosiologi dan hukum.
1.     Sosiologi Tentang Hukum, adalah menjadikan hukum sebagai fokus dari investigasi yang bersifat sosiologis. Tujuannya adalah menggambarkan arti penting dari hukum terhadap masyarakat luas atau menggambarkan proses-proses internalnya atau bahkan kedua-duanya.
2.     Sosiologi Dalam Hukum, adalah memfasilitasi pelaksanaan hukum dari fungsi-fungsinya.Tujuannya adalah tergantung dari poin 1 dalam hal ini pengetahuan sosiologis tentang berbagai fungsi hukum dan mekanisme pelaksanaannya tersebut.
Bredemeier mengungkapkan suatu analisis terhadap fungsi-fungsi hukum dan hubungannya dengan sub sistem fungsional lain dari masyarakat. Ia kemudian membahas beberapa garis penting dalam sosiologi hukum yang menjadi penekanan analisis itu dan kedudukan sosiologi dalam hukum.
Bredemeier menggunakan teori yang didasarkan pada teori Sibernetica Talcott Parsons yang menggunakan empat proses fungsional dari suatu sistem sosial, antara lain :
1.     Dengan adapatation dimaksudkan sebagai proses ekonomi
2.     Goal Persuance adalah proses politik
3.     Pattern maintenance secara sederhana dapat diartikan sebagai proses sosialisasi
4.     integation adalah proses hukum 
Jadi pada dasarnya inti ajaran Bredemeier adalah sebagai berikut :

Pertama adalah Sistem Hukum ( badan peradilan maksudnya ) merupakan suatu mekanisme yang berfungsi untuk menciptakan integrasi yang menghasilkan koordinasi dalam masyarakat dan mendapat masukkan ( inputs ) dari : 
  • Sistem politik, berupa penetapan tujuan dan dasar kekuasaan penegakkan hukum sebagai imbalan dari penafsiran dan legitimasi yang diberikan oleh sistem hukum.
  • Sistem adaptif, berupa pengetahuan dan permasalahan-permasalahan sebagai patokan penelitian sebagai imbalan terhadap organisasi serta kebutuhan akan pengetahuan.
  • sistem pattern maintenance berupa konflik dan penghargaan sebagai imbalan dari pemecahan konflik dan keadilan yang diberikan oleh sistem hukum.  
Kedua adalah Didalam fungsinya untuk menciptakan integrasi maka efektifitasnya tergantung dari berhasilnya sistem hukum untuk menciptakan derajat stabilitas tertentu dalam proses hubungan antara sistem hukum dengan sektor-sektor lainnya. Beberapa faktor yang dapat mengganggu stabilitas tersebut antara lain :
1.     kemungkinan timbulnya konsepsi-konsepsi tujuan dalam hukum yang tidak konsisten dengan kebijaksanaan dengan sistem politik.
2.     tanggapan dari kekuasaan legislatif terhadap fluktuasi jangka pendek kepentingan-kepentingan pribadi.
3.     tidak adanya komunikasi perihal pengetahuan yang akurat dengan pengadilan.
4.     tidak adanya fasilitas untuk melembagakan fungsi peradilan dalam diri warga masyarakat.
5.     adanya perkembangan nilai-nilai dalam sistem pattern-maintenance yang berlawanan dengan konsepsi keadilan.
6.     tidak adanya atau kurangnya saluran-saluran melalui mana kebutuhan peradilan dapat dipenuhi.
Ketiga adalah, hal-hal tersebut di atas dapat membuka beberapa kemungkinan untuk mengadakan penelitian sosiologi hukum, terutama terhadap masalah-masalah sebagai berikut :
1.     latar belakang orang-orang yang berfungsi sebagai pembentuk hukum pada kekuasaan legislatif.
2.     mekanisme yang diperlukan untuk menjabarkan ideal-ideal hukum dalam profesi hukum.
3.     saluran komunikasi tentang ilmu pengetahuan kepada kalangan hukum.
4.     persepsi-persepsi dari masyarakat terhadap hukum, dan dasar-dasar dari persepsi tersebut.
5.     reaksi-reaksi warga masyarakat terhadap hukum yang di perlakukan kepadanya.
6.     sarana-sarana lainnya untuk menyelesaikan konflik.di samping hukum. 
Hukum disini ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur, atau seperti yang sudah disebutkan diatas sebagai mekanisme intgerasi. pada waktu timbul sengketa dalam masyarakat, maka ia memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar sengketa itu diselesaikan. Pembiaran terhadap sengketa-sengketa itu tanpa penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. pada itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu proses kerjasama yang produktif. Pada saat hukum itu mulai bekerja, maka pada saat itu pula mulai dilihat betapa bekerjanya hukum itu sebagai mekanisme pengintegrasi melibatkan pula ketiga proses yang lain, berupa pemberian masukan-masukan yang nantinya diubah menjadi keluaran-keluaran.
Masukan Dari Bidang Ekonomi; Fungsi adaptif atau proses ekonomi memberikan bahan informasi kepada hukum mengenai bagaimana penyelesaaian sengketa itu dilihat sebagai proses untuk mempertahankan kerjasama yang produktif. Untuk dapat menyelesaikan sengketa tersebut, hukum membutuhkan keterangan mengenai latar belakang sengketa dan bagaimana kemungkinannya diwaktu yang akan datang apabila sesuatu keputusan dijatuhkan. Pertukaran antara proses integrasi dan adaptasi atau antara proses hukum dan ekonomi ini akan menghasilkan keluaran yang berupa pengorganisasian atau penstrukturan masyarakat. Melalui keputusan-keputusan hukum itu ditegaskan apa yang merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban dan lain-lain. Keluaran yang berupa pengaruh yang datang dari pengorganisasian kembali oleh keputusan hukum ini tampak dalam keputusan-keputusan yang benar-benar menimbulkan perubahan dalam struktur atau organisasi bidang ekonomi tersebut.
Masukan Dari Bidang Politik; Proses politik ini menggarap masalah penentuan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh masyarakat dan negara serta bagaimana mengorganisasi dan memobilisasi sumber-sumber daya yang ada untuk mencapainya. Hukum dalam hal ini pengadilan, menerima masukkan dari sektor politik dalam benruk petunjuk tentang apa dan bagaimana menjalankan fungsinya. Petunjuk-petunjuk tersebut secara konkrit dan eksplisit tercantum dalam hukum positif dan menjadi pegangan pengadilan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya. Akan ganti masukan tersebut, pengadilan memutuskan untuk memberikan legitimasinya ( atau tidak ) kepada peraturan-peraturan hukum, yang di Indonesia dikenal sebagai masalah hak menguji undang-undang.
Masukan Bidang Budaya; Pertukaran yang terjadi disini bisa dikatakan sebagai yang terjadi antara proses sosialisasi dengan hukum. Hukum sebagai mekanisme pengintegrasi hanya dapat menjalankan pekerjaannya tersebut dengan seksama apabila memang dari pihak rakyat memang ada kesediaan untuk menggunakan jasa pengadilan. Keadaan tersebut bisa diciptakan melalui masukan yang datang dari proses sosialisasi tersebut diatas. proses ini akan bekerjan dengan cara mendorong rakyat untuk menerima pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai pertukaran bagi masukan yang datang dari bidang budaya tersebut, maka keluaran yang datang dari pengadilan berupa keadilan.
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela.
Para ahli hukum dalam pandangan mereka mengemukakan tentang hukum berbeda satu sama lain. Perbedaan pandangan itu dapat dilihat dari pengertian hukum yang mereka kemukakan. Meskipun ada perbedaan pandangan, namun pengertian itu dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok.
Pertama, hukum diartikan sebagai nilai-nilai. Misalnya Viktor Hugo yang mengartikan hukum sebagai kebenaran dan keadilan. Grotiusmengemukakan bahwa hukum adalah suatu aturan moral tindakan yang wajib yang merupakan sesuatu yang benar. Pembahasan hukum dalam konteks nilai-nilai berarti memahami hukum secara filosofi karena nilai -nilai merupakan abstraksi tertinggi dari kaidah-kaidah hukum.
Kedua, hukum diartikan sebagai asas-asas fundamental dalam kehidupan masyarakat definisi hukum dalam perspektif ini terlihat dalam pandangan Salmond yang mengatakan “hukum merupakan kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan”
Ketiga, hukum diartikan sebagai kaidah atau aturan tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Vinogradoff mengartikan hukum sebagai seperangkat aturan yang diadakan dan dilaksanakan oleh suatu masyarakat dengan menghormati kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan atas setiap manusia dan barang. Pengertian yang sama dikemukakan oleh Kantorowich, yang berpendapat bahwa hukum adalah suatu kumpulan aturan sosial yang mengatur perilaku lahir dan berdasarkan pertimbangan
B.            Tujuan Hukum
        sama halnya dengan pengertian hukum, banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli :
        1. Prof Subekti, SH :
Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula.  
        2. Prof. Mr. Dr. LJ. vanApeldoorn :
Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian antara sesama. Dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan seimbang.
          3. Geny :
Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.
Pada umumnya hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat serta mendapatkan kemanfaatan atas dibentuknya hukum tersebut. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku.
C.           Unsur Unsur dan Ciri Ciri Hukum
          Para ahli hukum di Indonesia berkesimpulan bahwa Hukum itu memiliki unsur-unsur dan ciri-ciri hukum.
Unsur-unsur hukum meliputi :
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam bermasyarakat
2. Peraturan tersebut dibuat oleh badan yang berwenang
3. Peraturan itu secara umum bersifat memaksa
4. Sanksi dapat dikenakan bila melanggarnya sesuai dengan ketentuan atau perundang-undangan yang berlaku.
Maksud dari uraian unsur-unsur hukum di atas adalah bahwa hukum itu berisikan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, hukum itu diadakan oleh badan yang berwenang yakni badan legislatif dengan persetujuan badan eksekutif begitu pula sebaliknya, secara umum hukum itu bersifat memaksa yakni hukum itu tegas bila dilanggar dapat dikenakan sanksi ataupun hukumnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan Ciri-ciri hukum antara lain :
1. terdapat perintah ataupun larangan dan
2. perintah atau larangan tersebut harus dipatuhi oleh setiap orang
Tiap-tiap orang harus bertindak demikian untuk menjaga ketertiban dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang dapat disebut juga kaidah hukum yakni peraturan-peraturan kemasyarakatan.
D.           Pengertian Kekuasaan
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yang tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yang memerintah dan ada yang diperintah. Manusia berlaku sebagai subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Contohnya Presiden, ia membuat UU (subyek dari kekuasaan) tetapi juga harus tunduk pada UU (objek dari kekuasaan).
Menurut Lasswell dan Kaplan kekuasaan adalah hubungan atau relasi antara seseorang atau kelompok terhadap kelompok lainnya dimana salah satu individu atau kelompok mampu mendeterminasi pengaruh yang lain. Van Doorn menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemungkinan membatasi alternatif-alternatif tingkah laku orang-orang atau kelompok-kelompok lain sesuai dengan tujuan-tujuan seseorang atau suatu kelompok. Valkenvurgh menambahkah kekuasaan adalah suatu hubungan yang melahirkan kemungkinan membatasi alternatif-alternatif tingkah laku dari orang atau kelompok yang lain.
Kekuasaan dalam beberapa definisi tersebut di atas hanya diartikan sebagai suatu ‘pembatasan’ dan tidak perluasan alternatif-alternatif tingkah laku atau perilaku politik. Definisi lain yang sebenarnya juga tidak komprehensif diutarakan oleh Parsons dan Deutch yang menganggap kekuasaan sebagai alat tukar-menukar dan alat pembayaran yang unggul di dalam politik. Menurut pandangan ini, seorang politisi memperoleh kekuasaan dalam bentuk dukungan dari para konstituen dan memberi kekuasaan dalam bentuk keputusan-keputusan kebijaksanaan. Penggunaan kekuasaan yang efektif dan efisien seringkali dinamakan penguasaan (control).
Penggunaan kekuasaan adalah salah satu sarana yang paling banyak digunakan dan yang paling bervariasi dalam politik. Apabila tujuan utama suatu kebijaksanaan politik adalah memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, maka kita sebenarnya membicarakan politik kekuasaan. Namun, terlalu menyamaratakan atau menyederhanakan bila kita menganggap bahwa semua politik adalah politik kekuasaan. Kekuasaan kadang-kadang bukan menjadi tujuan, tetapi sarana atau tujuan untuk tujuan-tujuan lainnya. Kekuasaan juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan tujuan-tujuan seseorang atau kelompok yang menjadi aktor.
Kekuasaan dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Kekuasaan Negara berkaitan dengan otoritas negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan damai. Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/kemampuan masyarakat untuk mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial dapat berjalan secara lancar. Ketidakseimbangandiantara keduanya akan mendorong terjadinya kekuasaan hegemonikdimana negara sangat kuat dan masyarakat sangat lemah, sehingga tercipta pola hubungan dominatif dan eksploitatif. Hal ini mengakibatkan negara bukan hanya campur tangan dalam urusan-urusan kenegaraan dan kemasyarakatan, tetapi juga intervensi atas seluruh tindakan masyarakat yang sebenarnya bukan dalam lingkup wewenangnya. Selain kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dan penetapan alternatif-alternatif bertindak, kekuasaan juga mengandung makna sarana pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat dan atas nama masyarakat. Pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat mencakup pelaksanaan fungsi politik, pelaksanaan fungsi ekonomi, pelaksanaan fungsi sosial dan budaya, pelaksanaan fungsi hukum dan pemerintahan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi lainnya. Pelaksanaan fungsi itu bertujuan untuk memperlancar interaksi sosial dan penyelenggaraan kehidupan masyarakat.
E.            Hubungan Hukum dan Kekuasaan
        Pola hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu sendiri, Menurut Lassalle, konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara” Pendapat Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan. Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara tersebut dan hubungan-hubungan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, aturan-aturan hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubungan-hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivercrona tak lain daripada “kekuatan yang terorganisasi”, hukum adalah “seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”, dia mengingatkan “kekerasan fisik atau pemaksaan” sebagai demikian sama sekali tidak berbeda dari kekerasan yang dilakukan pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh. Walaupun kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan tidak identik dengan hukum. Van Apeldronmengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi ini berarti bahwa hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak semuanya hukum. “Mightis not right” pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu. Kedua, adalah bahwa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Artinya hukum dan kekuasaan merupakan dua hal yang terpisah, tapi ada hubungan yang erat diantara keduanya. Hubungan itu dapat berupa hubungan dominatif dan hubungan resiprokal (timbal balik)
Menurut Mahmud MD, hubungan kausalitas antara antara hukum dan politik atau tentang pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum maka ada 3 macam menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan, Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis berpegang teguh pada pandangan, bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan antar anggota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan politik. Sedangkan mereka yang memandang hukum dari sudut das sein (kenyataan) atau para penganut paham empiris melihat secara realistis, bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam perbuatannya, tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya. Kegiatan legislatif (pembuatan UU) dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih jika pekerjaan hukum itu dikaitkan dengan masalah prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislatif (yang menetapkan produk hukum).
F.            Fungsi Kekuasaan terhadap Hukum
Kekuasaan merupakan sarana untuk membentuk hukum, khususnya pembentukan undang-undang (lawmaking). Kekuasaan untuk membentuk hukum dinamakan kekuasaan legislatif (legislatif power), yang merupakan kekuasaan parlemen atau badan perwakilan. Kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan pembentuk undang-undang berasal dari pemikiran John Locke dan Montesquieu.
Dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara, terdapat konvergensi kekuasaan pembentukan undang-undang. Pembentukan undang-undang tidak lagi menjadi monopoli parlemen, tapi kerjasama antara parlemen dan pemerintah. kekuasaan merupakan alat untuk menegakkan hukum. Penegakan hukum adalah suatu proses mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum adalah di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Kekuasaan merupakan media untuk melaksanakan hukum. Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan hukum adalah upaya menjalankan (eksekusi) putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan badan peradilan tidak akan banyak artinya bagi pengorganisasian kehidupan masyarakat jika tidak dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten. Otoritas eksekusi merupakan kewenangan kejaksaan dan pengadilan.
G.           Fungsi hukum terhadap Kekuasaan
Hukum adalah media untuk melegalisasi kekuasaan. Legalisasi hukum terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan kekuasaan dari segi yuridisnya. Setiap kekuasaan yang memiliki landasan hukum secara formal memiliki legalitas. Namun yang sering menjadi masalah adalah bila kekuasaan yang legal itu adalah kekuasaan yang sewenang-wenang, tidak patut, dan tidak adil. Hal itu sebenarnya merupakan masalah legitimasi kekuasaan, yaitu pengakuan masyarakat terhadap keabsahan kekuasaan. Hukum adalah instrumen untuk mengatur kekuasaan. Hubungan-hubungan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara harus diatur sedemikian rupa supaya tidak menimbulkan kekacauan di antara kekuasaan-kekuasaan negara yang ada atau antara kekuasaan pejabat yang satu dengan kekuasaan pejabat yang lain. Adanya kekuasaan yang  paradoks bukan hanya akan menimbulkan ketidakjelasan wewenang dan pertanggungjawabannya, tapi juga akan melahirkan ketidaksinkronan dan ketidakpastian hukum.Hukum adalah alat untuk membatasi kekuasaan.Pembatasan kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penumpukan atau sentralisasi kekuasaan pada satu tangan atau pada satu lembaga.
H.           Hukum dalam Mempengaruhi Kekuasaan
Kekuasaan tanpa suatu aturan maka akan mengkondisikan keadaan seperti hal nya hutan rimba yang hanya berpihak kepada yang kuat dalam dimensi sosial. Disnilah hukum berperan dalam membentuk rambu-rambu cara bermain pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasan. Hal tersebut bisa ditemui di konstitusi dimana konstitusi secara garis besar berisi tentang bagaimana mengatur, membatasi dan menyelenggarakan kekuasaan dan mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Peran hukum dalam mengatur kekuasaan berada dalam lingkup formil.
Kekuasaan yang diatur hukum merupakan untuk kepentingan masyarakat luas agar masyarakat yang merupakan objek dari kekuasaan tidak menjadi korban dari kekuasaan. Selain sebagai kepentingan masyarakat, hukum dalam mempengaruhi kekuasaan juga berguna sebagai aturan bermain pihak-pihak yang ingin berkuasa atau merebut kekuasaan. Aturan tersebut berguna sebagai cara main yangfairyang bisa mengkordinir semua pihak yang terlibat dalam kekuasaan. Hukum dalam hal ini tidak hanya mengatur masyarakat tetapi juga mengatur pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
I.              Kekuasaan dalam Mempengaruhi Hukum
Eksistensi hukum tanpa ada kekuasaan yang melatarbelakanginya membuat hukum menjadi mandul. Oleh karena itu perlunya suatu kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Muncul pertanyaan bagaimana kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang bisa dipercaya untuk mempengaruhi hukum yang bertujuan untuk mengatur masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka bisa didekati dengan metode konseptual bukan empiris karena secara empiris kebanyakan hukum hanya digunakan untuk melegalkan kepentingan penguasa saja.
Secara konseptual, kekuasaan yang dimiliki oleh sebagian pihak berangkat dari rasa tidak nyaman masyarakat terhadap keadaan-keadaan yang dianggap bisa menggoyahkan kestabilan masyarakat. Hal ini sama saja baik dalam masyarakat yang liberal ataupun sosialis. Masyarakat tersebut sepakat untuk memberikan mandat kepada sekelompok orang untuk berkuasa dan memiliki kewenangan untuk mengatur mereka agar tetap tercipta kestabilan sosial. Kewenangan untuk mengatur masyarakat dari penguasa itulah terletak hukum.
Dalam perkembangannya tentu saja tidak dapat dihindari bahwa setiap rezim penguasa memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari karakteristik hukum yang menjadi produk politiknya. Karakteristik hukum ternyata berjalan linier dengan karakteristik rezim kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Apabila kekuasaannya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsif sedangkan apabila kekuasaannya  otoriter, maka produk hukumnya berkarakter konservatif atau ortodoks.
Namun ada asumsi bahwa antara demokrasi dan otoriter ambigu. Artinya tidak bisa dilihat secara tegas pembedanya. Bisa saja penguasa yang otoriter di suatu negara berdalih bahwa karakterisitik produk hukum yang bersifat konservatif digunakan untuk melindungi masyarakat. Dalam hal ini demokratis yang dari, untuk dan oleh rakyat mengalami pengurangan peran hanya untuk rakyat sehingga rakyat sekedar menikmati hasil atau kemanfaatannya.
PENDAHULUAN
Modernisasi merupakan gejala yang bisa ditemukan dimana saja. Proses modernisasi tidak hanya dialami oleh negara-negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika melainkan juga dialami oleh negara-negara berkembang baik di Asia maupun di Afrika. Atau dengan kata lain seluruh negara yang berada dibelahan dunia ini selalu terlibat dalam proses modernisasi.
Modernisme bersumber dari revolusi ekonomi, politik dan filosofis renaisance dan aufklarung abad ke 16 lahir dari akar ideologis: (1) bebas dari agama (gereja) dan; (2) fisika ditempatkan sebagai paradigma humaniora (kemanusian). (Mulkhan, 1999:315).  Sementara itu Ahmed (1996:22) menyatakan bahwa modernisme diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan pada keinginan untuk simetri dan tertib, serta akan keseimbangan dan otoritas yang juga telah menjadi karakternya.   Karakter khas dalam modernisme adalah bahwa ia selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan (episme, wissenschaff) tentang “apa”nya (ta onta) realitas, dengan cara kembali ke subyek yang mengetahui itu sendiri (dipahami secara psikologis maupun transendental).(Sugiharto, 1996:33)
 Dalam bidang filsafat, modernisme diartikan sebagai suatu gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh Descrates, kemudian dikokohkan oleh gerakan pencerahan (Aufklarung) dan mengabadikan dirinya hingga abad keduapuluh ini melalui dominasi sains dan kapitalisme (Sugiharto, 1996:29). Dalam hubungan ini adalah sangat beralasan jika Garna (1996:183) menyatakan bahwa modernisasi itu adalah penolakan terhadap sejarah.
 Modernisme pada awalnya dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar, namun dalam perkembangannya ia telah melahirkan berbagai konsekwensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Menurut Soewardi, (1999:346-347) kerusakan lingkungan pada alam dan manusia disebutnya sebagai akibat dari kesalahan ilmu Barat (sains modern), kerusakan pada alam berupa “planetory ecological crisis”, penguasaan sumber daya alam oleh segolongan tertentu, ketimpangan yang semakin menganga, belum lenyapnya kemiskinan. Pada manusia konsekwensi negatif itu dapat berupa sifat resah, berlombanya keganasan, ketidaksudian berpikir (dull mindeniss), kecelakaan mobil dan pesawat udara dan lain-lain.
Sementara menurut Sugiharto (1996:29-30), konsekwensi buruk yang ditimbulkan oleh modernisme bagi kehidupan manusia dan alam diantaranya: pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek dan obyek, spritual-material, manusia dunia, telah mengakatkan obyektivitas alam secara berlebihan dan pengurasan semena-mena. Hal ini menyebabkan krisis ekologi; kedua, pandangan modern yang bersifat obyektivitas dan positivitas akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah obyek juga, dan masyarakatpun direkayasa bagaikan mesin. Akibat dari hal ini adalah bahwa masyarakat cenderung menjadi tidak manusia; ketiga, dalam modernisme ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini nilai moral dan relegius kehilangan wibawanya; keempat, dalam materialisme,  bila kenyataan terdasar tak lagi ditemukan dalam religi, maka materilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar. Meterialisme ontologis ini didampingi pula dengan materialisme praktis, yaitu hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material.  Aturan main utama tak lain adalah survival of the fittest, atau dalam skala lebih besar, persaingan dalam pasar bebas. Etika persaingan dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan pola perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan modern; kelima, militerisme, dimana norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia, maka norma umum obyektif pun cenderung hilang, akibatnya adalah kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satu cara untuk  mengatur manusia, Ungkapan yang paling gamblang dari hal ini adalah militerisme dengan persejantaan nuklirnya. Meskipun demikian, perlu juga dicatat bahwa religipun bisa sama koersifnya manakala dihayati secara “fundamentalistis”, karena  di sana Tuhan biasanya juga dilihat sebagai “kekuasaan” yang menghancurkan pihak musuh. Jadi bila religi dihayati secara demikian, memang ia justru menjadi alat legitimasi militerisme; keenam, bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri  merupakan konsekwensi logis dari hukum survival of the fittest dan penggunaan kekuasaan yang koersif. Sebetulnya secara teoritis religi-religi telah selalu berusaha untuk mengatasi tribalisme dan menggantikannya dengan universalisme. Namun ia kini tak memiliki cukup kekuatan dan otoritas hingga pengaruhnya tak amat terasa. Lebih celaka lagi, setelah perang ideologi selesai kini agama menjadi kategori identitas penting yang justru cenderung mendukung kelompok-kelompok yang saling bertengkar, dengan kata lain ia justru mendukung tribalisme. Atas dasar segala konsekwensi yang bersifat negatif atau buruk  modernisme telah memicu berbagai gerakan  postmodernisme.

MODERNISME DAN POSTMODERNISME
Perdebatan mengenai hakikat peralihan dari modernisme menuju postmodernisme disarati dengan permasalahan-permasalahan filosofis, khususnya masalah epistemologis yang belum terjawab secara memadai, hal ini disebabkan peralihan ini tidak bisa dilepaskan dari konflik dan kritik terhadap modernitas itu sendiri.
Perdebatan yang berkepanjangan antara  modernisme dan posmodernisme ini telah melahirkan dua kubu filsafat, yaitu pertama adalah kubu yang bermaksud melawan (against) dan melenyapkan keberadaan filsafat modernisme. Kedua, kubu yang berkehendak mengatasi (overcome) sebagai cacat yang disandang oleh modernitas dengan tetap konsisten pada paham itu (Nugroho, 1999:88).    
Meskipun beragamnya aliran pemikiran dalam perdebatan tersebut, kiranya masih dapat diindentifikasi bahkan dikelompokkan. Secara agak kasar yaitu kedalam kelompok kubu “Dekonstruktif” dan kubu “Konstruktif atau Revisioner” (Sugiharto, 1996:16). Kubu pertama disebut sebagai “orang dari luar” modernitas yang oleh Nietzsche dan Heideger, dan dilanjutkan oleh para pemikir posmodern dan post- strukturalis, seperti Foucault, Deleize, Guattari, Lyotard, Bataille, Baudrillard, Kristeva dan Vattimo (dalam Piliang,1992:21). Sementara kubu kedua disebut sebagai “kritik diri” (self-criticism) yang dilakukan oleh kelompok Frankfurt School, seperti Adorno, Horkheimer, Marcuse dan Hubermas (dalam Piliang, 1999:21). 
Munculnya dua kubu dalam perdebatan ini merupakan refleksi atas kekecewaan terhadap modrenitas, dimana para pemikir posmodernisme menganggap bahwa modernitas telah kehilangan kemampuan kritisnya (critical power), sehingga ia tidak mampu lagi menemukan tujuan teleologis dan utopis yang ingin dicapai (Piliang, 1999:15). 
Perdebatan atau perselisihan modernisme versus postmodernisme, memuncul  posisi filosofis, dua posisi diantaranya saling bertabrakan secara diametral sedang yang satu lebih bersifat ambivalen. Posisi pertama  dinamakan Hegelian sayap kiri. Ini merupakan posisi dari kaum postmodernisme yang beranggapan bahwa filsafat pencerahan sudah kehabisan spirit sehingga harus ditinggalkan. Posisi kedua adalah Hegelian sayap pembaharu, yang terdiri dari kaum Marxian, Neo Marxian, hingga mazhab Franfurt. Pandangan ini memiliki keyakinan bahwa modernitas merupakan warisan budaya dan cacat-cacat yang terkandung di dalamnya yang perlu mendapat pencerahan. Sedang posisi ketiga adalah kaum ambivalen. Posisi ini dipelopori oleh Adorno dan Horkheimer. Pandangan mereka  dianggap satu kaki berdiri pada posisi modernisme dan kaki lain ikut berlari bersama postmodernisme. Ambivalensi seperti ini berakibat pada kebingungan filosofis. (Budiman, 1993:177-232).
Menurut Hubermas (1990), postmoderisme sama artinya dengan modern, yaitu teori-teori sesudah era pencerahan (Nack aufklarung). Spirit postmodernisme adalah “Die Gegenwart der Vergangenheil”, yang artinya mengaburkan tradisi kesejarahan dan menganggap bahwa dirinya merupakan sebuah historisme baru. Pandangan seperti ini dapat dianggap ahistoris.(Nugroho, 1999:90)
Gerakan posmodernisme yang merupakan suatu gerakan pemikiran yang ingin melakukan revisi terhadap paradigma modern dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu pertama adalah pemikiran-pemikiran yang dalam rangka merevisi kemodernan itu cenderung kembali ke pola berpikir pramodern; kedua adalah pemikran-pemikiran yang terkait erat pada dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik; ketiga  dalah segala pemikiran yang hendak merivisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbaharui premis-premis modern disana sini (Sugiharto, 1996:30).         
 Berdasarkan atas beragamnya pemikiran tentang postmodernisme ini sehingga sangat sulit dipahami makna yang sebenarnya, menurut Ahmed, (1996:22), kesulitan dalam memahami konsep postmodernisme adalah bahwa konsep postmodernisme pada tingkat yang paling jelas, ini kurang jelas, dan asal muasalnya pun belum jelas. Apakah ini merupakan periode sejarah (postmodernitas) atau gaya maka kini (postmodernisme) ? apakah ini merupakan kecongkakan sastra, konsep filosofis atau konsep arsitektur ? apakah ini merupakan variasi estetis, respon terhadap kecenderungan globalisasi, gaya seni atau fenomena sosial ? apakah ini merupakan fenomena eksklusif Eropa, atau dapatkah diterapkan ditempat lain. Karena istilah postmodernisme itu menjukkan kemenduaan atau ironi.
Dipihak lain Bryan Turner (2000:35), menyatakan bahwa  konsep  posmodernisme pertama kali muncul dalam kontek sastra berkenaan dengan reaksi konservatif dalam modernisme. Istilah tersebut kemudian digunakan dalam hubungannya dengan rangkaian teks dan sensibilitas yang lebih luas, untuk mensifati teks atau narasi yang bersifat afirmatif dan kritis, untuk menilai periode sejarah dan corak estetik, dan untuk menkonsepsikan perbedaan, bentuk khas dari luar yang modern., sebagaimana kesamaan, berbagai varian, yang sebenarnya menjadi batas modernisme.
Berdasarkan pendapat Ahmed dan Turner tersebut, dapat diketahui bahwa diantara para ahli masih belum ada kesamaan dalam memberikan pengertian yang tegas tentang postmodernisme. Bahkan Hubermas dalam (Nugroho,1999:91)  menyatakan bahwa postmodernisme sama artinya dengan proses menuju masyarakat modern yang belum selesai.  Modernisasi masih meninggalkan sejumlah masalah yang diambil alih oleh postmodern. Jadi faham postmodernisme tidak ubahnya seperti logika dialektika pencerahan. Malcolm Bradbury dalam Ahmed, (1996:24), mengatakan bahwa istilah postmoderninsme pertama kali digunakan tiga puluh tahun lalu, tetapi setelah beberapa dekade  istilah tersebut lalu  memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda.  
Berdasarkan pendapat diatas dapatlah dikatakan  bahwa  postmodernisme hanya akan menjadi sebuah ungkapan yang menarik karena apa sebenarnya postmoderisme itu masih  belum jelas artinya, disamping itu juga tidak ada penggambaran fase sejarah baru tentang manusia.


RELEVANSINYA BAGI  PEMBANGUNAN
Sebagaimana telah dinyatakan dalam tulisan ini dibagian atas  konsekwensi negatif dari modernisme adalah terjadinya kerusakan lingkungan, ketidak adilan, kemiskinan, dehumanisasi, bahkan semakin buruknya perdaban global.
Pembangunan sebagai usaha untuk merubah masyarakat kenyataannya melahirkan fenomena yang sekaligus berlawanan. Disatu pihak pembangunan menjadi kebanggaan bangsa karena menghasilkan pertumbuhan ekonomi, sedangkan dipihak lain pertumbuhan ekonomi tinggi membentuk tingkat kesenjangan ekonomi, sosial, politik yang semakin lebar. Kalau dikaji bahwa  pembangunan dalam pelaksanaan selalu menimbulkan berbagai macam masalah sosial, hal ini mengindikasikan bahwa pola pembangunan dan strategi kebijakan yang diterapkan tidak menyentuh akar permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Sebagai konsekwensi logis dari permasalahan tersebut adalah membuat kehidupan masyarakat  semakin terpuruk dan jumlah penduduk yang miskin semakin meningkat. Melihat kenyataan tersebut, memang ada benarnya apa yang dikemukakan oleh Susilo (1994:67) bahwa pembangunan yang tujuannya merubah kondisi sosial menjadi lebih baik yang dilaksanakan  dengan cara pemberdayaan ekonomi, ironisnya cenderung menciptakan ketidak berdayaan politis masyarakat lapisan tertentu.
Dapatlah dikatakan bahwa makna pembangunan yang sebenarnya adalah bertujuan untuk menuju kondisi tertentu yang lebih baik, nilai kebaikannya tersembunyi dibalik pelaksanaan pembangunan. Kebaikan yang ditimbulkan oleh pembangunan itu sendiri hanya dapat dinikmati oleh kelompok tertentu yang memiliki power, sementara lapisan masyarakat tertentu (lemah) tetap berada pada posisi yang menyedihkan dan menjadi korban dalam pelaksanaan pembangunan. Karena tujuan dan anggapan dasarnya adalah baik maka proses pembangunan yang selama ini kita lihat mengizinkan pengorbanan-pengorbanan berbagai dimensi kemanusian, tidak jarang demi pembangunan, muncullah berbagai bentuk paksaan  terhadap masyarakat kecil yang tertindas, yaitu melakukan penggusuran. Bila dikaitkan dengan konsep pembangunan yaitu melakukan tujuan tertentu agar tercipta kondisi yang lebih baik, secara substansi konsep atau arti tersebut mengalami kontradiksi yaitu melakukan pembebasan manusia.
Dalam pelaksanaan pembangunan agar tidak terjebak dalam hal hanya  masyarakat yang dikorban atau dengan kata lain masyarakat selalu menjadi korban dan berada pada posisi yang lemah, pembangunan memerlukan persyaratan normatif yaitu adanya dialektis antara pengejaran ekonomi dengan nilai-nilai moral dan semuanya harus diletakkan dalam sistem politik yang demokratis, yaitu adanya kebebasan berpikir secara kritis dengan melakukan kritik baik bersifat konstruktif maupun destruktif terhadap jalannya  pembangunan yang ditujukan untuk mencari kebenaran atau solusi yang tepat. Dengan demikian arti pembangunan yang bertujuan untuk merubah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang lebih baik akan dapat terwujud, karena keputusan yang diambil dalam berbagai kegiatan pembangunan tersebut telah didasarkan atas  diskusi dan opini publik.
Dalam hubungannya dengan uraian diatas  pada kenyataannya selama ini, menurut Nugroho  (1999:100) dalam proses pembangunan  yang menjalani distorsi instrumen ruang publik telah diintervensi oleh kekuatan politis negara, sehingga opini publik yang muncul adalah bukan opini masyarakat tetapi justru opini elit politik. Akibat dari dominasi ruang publik oleh negara adalah adanya kecenderungan keputusan teknis bukan didasarkan atas diskusi dan opini publik tetapi didasarkan pada keputusan elit politik yang dipaksakan ke dalam masyarakat luas. Mengikuti persyaratan secara normatif, sebenarnya dalam pembangunan diskusi publik merupakan landasan untuk mengejar target-target yang telah disepakati, bukan sebaliknya dianggap tidak efisien demi mengejar target pertumbuhan ekonomi.
Kemudian lebih jauh, sebagai akibat dari intervensi yang terlalu besar  dari kekuatan politis negara, peranan birokrasi sebagai instrumen politis dan  penggerak roda pembangunan untuk melayani kepentingan publik semakin tercabut dari  masyarakat dan tidak mengakar. Pada hal menurut Nugroho (1999:99),  birokrasi dalam negara liberal justru mengakar dalam masyarakatnya dan bersifat melayani setiap warga masyarakat yang membutuhkan karena ada proses dialektis antara birokrasi yang menyembunyikan rasionalitas instrumen dengan sistem politik dan moral masyarakat yang liberal dan demokratis. Dalam iklim politis demokratis maka birokrasi, lanjut Nugroho (1999:99) eksistensi  yang tujuannya adalah mengejar target-target efisiensi dan efektifitas berada dibelakang “politis” masyarakat itu sendiri.(Nugroho,1999:99).
Dengan demikian, mengakar dan tumbuhnya  opini publik dalam arti substansial ditengah-tengah masyarakat dapat dipakai sebagai sarana kontrol atas jalannya pembangunan atau bahkan kekuatan atas kontrol kekuasaan pembangunan sehingga menghindarkan masyarakat dari berbagai bentuk dominasi. Selain itu dengan terciptanya diskusi publik yang tidak terbatas terutama dalam memecahkan persoalan  pembangunan dan kemasyarakatan, menurut Nugroho, (1999:104), ketegangan dialektis permanen akan selalu tercipta antara pengambil kebijakan (penguasa), teknokrat, opini publik demi terwujudnya kontrol sosial dari masing-masing pihak.

0 komentar:

Posting Komentar