A. Latar Belakang.
Perkembangan hukum
islam setelah wafatnya Rasulullah SAW berkembang sangat pesat. Hal ini
dikarenakan muncul mutjahid yang terus bekerja keras untuk mengetahui
hukum-hukum syariat untuk disejalankan dengan kebutuhan-kebutuhan peradaban
yang terus tumbuh.
Dalam berijtihad, tentu
para mutjahid memiliki metode ijtihad masing-masing sehingga menimbulkan
perbedaan pendapat tentang suatu hukum. Walaupun para mutjahid dalam menentukan
suatu hukum sama-sama berdasarkan apa yang dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadits, tetapi memang Al-Quran
dan Hadis itu sendiri bersifat multi interpretasi.
Dari perbedaan pendapat
ini terbentuklah kelompok-kelompok fiqh yang mulanya terdiri dari murid-murid
para Imam Mutjahid. Kelompok-kelompok ini berkembang dan tersebar di seluruh dunia.
Selain itu, kelompok-kelompok ini pun mempertahankan pendapat Imamnya, kemudian
akhirnya terbentuklah madzhab-madzhab seperti yang lihat sekarang ini
B. Rumusan Masalah.
1.
Apa pengertian madzhab fiqih?
2.
Bagaimana proses lahirnya madzhab fiqih ?
3. Bagaimana riwayat empat para imam
madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali?
C. Tujuan Penulisan.
1.
Untuk mengetahui pengertian madzhab
fiqih.
2.
Untuk mengetahui proses lahirnya empat madzhab
fiqih Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali .
3.
Untuk mengetahui riwayat para imam
madzhab.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Madzhab Fiqih
Madzhab menurut bahasa
Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahaba yang artinya ‘pergi’. Jadi, pengertian madzhab
secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan. Sementara menurut Huzaemah
Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang
artinya “pendapat”.
Sedangkan secara
terminologis pengertian madzhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mutjahid dalam memecahkan masalah
atau mengstinbatan hukum Islam. Selanjutnya Imam Madzhab dan madzab itu
berkembang pengertiannya menjadi kelompokm umat Islam yang mengikuti cara
istinhbat Imam Mutjahid tertentu atau megikuti pendapat Imam Mutjahid tentang
masalah hukum Islam.Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud madzhab meliputi
dua pengertian :[1]
a.
Madzhab adalah jalan pikiran atau metode
yang ditempuh seorang Imam Mutjahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa
berdasarkan Al-Quran dan Hadits.
b.
Madzhab adalah fatwa atau pendapat
seorang Imam Mutjahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Quran
dan Hadits.
Sedangkan
menurut Muhammad Husain Abdullah, istilah madzhab mencakup dua hal :
1.
sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali
seorang imam mujtahid.
2.
ushul fiqh yang menjadi jalan yang
ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang
rinci.
Dengan
demikian, kendatipun madzhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat
(fiqh), harus dipahami bahwa madzhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqh
yang menjadi metode penggalian untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya
jika kita mengatakan madzhab syafi’i, itu artinya adalah fiqh dan ushul fiqh
menurut Imam Syafi’i.
B.
Proses
Lahirnya Madzhab Fiqih.
Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal
ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan
perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena
pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan
pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat Dari fragmentasi
sejarah, bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan
puncak Dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzhab-madzhab
fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hokum
romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
Fenomena perkembangan tasyrik pada periode ini, seperti
tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya
fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah
yang panjang dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah
fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhabfiqih pada
periode ini. Seperti contoh hokum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab
dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalk mati
oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu
pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut.
Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari
ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada
beberapa faktor yang mendorong, diantaranya :[2]
1.
Karena semakin meluasnya wilayah
kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi berbagai macam masyarakat
yang berbeda-beda tradisinya.
2.
Muncunya ulama-ulama besar pendiri
madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat
studi tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang
diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut
dijadikan oleh murid-muridnya.
3.
Adanya kecenderungan masyarakat Islam
ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzhab ketika menghadapi
masalah hukum. Sehingga pemerintah (kholifah) merasa perlu menegakkan hukum
islam dalam pemerintahannya.
C.
Riwayat
Para Empat Imam Madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i Dan Imam Hambali.
a.
Imam Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah :
Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Seorang keturunan bangsa Ajam dari Persia.
Dilahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada
tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal
dengan sebutan : Abu Hanifah An Nu’man.Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang
ahli ibadah. Kata "Hanif" dalam bahasa Arab berarti
"cenderung" pada agama yang benar. Menurut riwayat lain dijelaskan
bahwa gelar "Abu Hanifah" itu beliau peroleh karena sedemikian
eratnya dengan tinta. Kata "Hanifah" itu menurut lughat Irak artinya
"dawat" atau "tinta".
Abu Hanifah memiliki ilmu yang
luas dalam semua kajian Islam hingga ia merupakan seorang mujtahid besar
(imamul a"zdam ) sepanjang masa. Meskipun demikian ia hidup sebagaimana
layaknya dengan melakukan usaha berdagang dalam rangka menghidupi keluarga.
Dengan prinsip berdiri di atas kemampuan sendiri, ia prihatin juga terhadap
kepentingan kaum muslimin , terutama bagi mereka yang berhajat akhlak yang
mulia yang dimilikinya mampu mengendalikan hawa nafsu, tidak goyah oleh imbauan
jabatan dan kebesaran duniawi dan selalu sabar dalam mengahadapi berbagai
cobaan. Meskipun ia berdagang ia hidup sebagai kehidupan sufi dengan zuhud,
wara, dan taat ibadah. Kalau kita hayati kehidupannya maka akan tampak kepada
kita bahwa Abu Hanifah hidup dengan ilmu dan bimbingan umat dengan penuh
kreatif, hidup dengan kemampuan sendiri tidak memberatkan orang lain.
Disamping menjalankan usaha dagangnya. ia juga hidup dengan ibadah yang
intensif siang dan malam.
Dasar-Dasar Istinbath Mazhab
Imam Abu Hanifah
Mazhab abu Hanifah
adalah gambaran yang hidup dan jelas bagi relevansi Hukum Islam dengan
tuntutan masyarakat, beliau mendasarkan hukumnya pada :[3]
1.
Al-Qur’an: Alqur’an merupakan
sumber pokok hukum islam sampai akhir zaman.
2.
Hadits: Hadits
merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat umum.
3.
Aqwalus shahabah (Ucapan Para
Sahabat): ucapan para sahbat menurut Imam hanafi itu sangat penting karena
menurut beliau para sahabat meupakan pembawa ajaran rasul setelah generasinya.
4.
Qiyas: beliau akan
menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam Nash Al-Qur’an, Hadits, maupun
Aqwalus shahabah. Istihsan: merupakan kelanjutan dari Qiyas. Epnggunaan
Ar-Ra’yu lebih menonjol lagi,istihsan menurut bahasa adalah “menganggap lebih
baik”, menurut ulama Ushul Fiqh Istihsan adalah meninggalkan ketentuan
Qiyas yang jelas Illatnya untuk mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
5.
Urf, beliaua mengambil
yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dalam kebutuhan srta memeperhatikan
muamalh manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau
menggunakan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan
Ijma’ atau Qiyas ), beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak bisa digunakan
dengan istihsan maka beliau kembalikan kepada Urf manusia.
Selain itu, dasar dasar ilmu
hukum tersebut ada pula berapa pendirian terhadap taqlik yaitu Sebagai seorang
ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid
buta (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para
Ulama beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam
ajaran agama. Bahakan beliau pernah berkata “Tidak Halal bagi seorang yang
ating fatwa dengan perkataanku, selam ia belum mengerti dari mana perkataanku”.
Dalam mengistinbathkan
hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada kitabullah, bila tifdak ditemukan
dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat
kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk
mengambil pendapat mana yang sesuai dengan jala pikiran dan ditiggal mana yang
tidak sesuai.
b.
Mazhab Maliki
Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Amr al-Asbahi lahir di Madinah pada
tahun 93 H (714 M). Rumah leluhurnya itu di Yaman, namun kakeknya menetap di
Madinah setelah memeluk Islam.
Sebenarnya terdapat perbedaan pendapat tentang
kelahirannya, tetapi pendapat yang paling kuat adalah apa yang disebutkan oleh
Imam yahya bin Bakir bahwa beliau mendengar imam malik berkata: “aku dilahirkan
pada 93 H".
Lahir dalam keluarga berada, Imam Malik tidak perlu bekerja untuk
mencari nafkah. Dia sangat tertarik untuk mempelajari Islam, dan akhirnya
mengabdikan seluruh hidupnya untuk mempelajari Fiqh. Imam Malik menerima
pendidikan dalam kota yang paling penting dari pembelajaran Islam, Madinah, dan
tinggal di mana keturunan langsung dan pengikut para sahabat Nabi, sallallahu
alayhi wasallam, tinggal.
Dikatakan bahwa Imam Malik mencari lebih dari tiga
ratus Tabi'een atau mereka yang melihat dan mengikuti para sahabat Nabi,
sallallahu alayhi wasallam. Imam Malik memegang hadits Nabi, sallallahu alayhi
wasallam, dalam penghormatan sedemikian rupa sehingga dia tidak pernah
diriwayatkan, mengajarkan hadits apapun atau memberi fatwa tanpa terlebih
dahulu bersuci. Ismael bin abi Uwaiss berkata, "Aku bertanya pamanku Imam
Malik - tentang sesuatu. Dia mempersilakan saya duduk, kemudian berwudhu, lalu
berkata, 'Laa Hawla wala quwata illa billah. "Dia tidak memberikan fatwa
apapun tanpa mengucapkan kata tersebut terlebih dahulu."
Juga, Imam Malik melihat fatwa sebagai, tindakan
yang tepat, dan penting sensitif yang dapat memiliki hasil yang jauh ke depan,
dan dia sangat berhati-hati memberikan fatwa, jika ia tidak yakin tentang suatu
hal, ia tidak akan berani bicara . Al-Haytham berkata, "Saya pernah
bersama Imam Malik ketika ditanya lebih dari empat puluh pertanyaan dan aku
mendengar dia menjawab," Aku tidak tahu, 'tiga puluh dua dari mereka.
"
Namun, ia adalah orang tentang siapa asy-Syafi'ee berkata, "Ketika
ulama disebutkan, Malik adalah seperti bintang di antara mereka." Malik
mengatakan bahwa ia tidak duduk untuk memberikan fatwa, sebelum tujuh puluh
ulama Madinah pertama bersaksi kompetensinya dalam melakukannya. Imam Malik menjadi Imam di Madinah, dan salah satu
Imam yang paling terkenal dari Islam.
Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum
Islam adalah berpegang pada:[4]
a.
Al-Qur’an
Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas
zahir nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum
al-Aula dengan memperhatikan ‘illatnya.
b.
Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam
Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an.
Apabila dalil syar’iy menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan
pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara
makna zahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang
dipegang adalah makna zahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh
sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan
makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud
disini adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).
c.
Ijma’ Ahl al-Madinah
Ijma’ ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl
al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW,
bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah
oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh
Huzaemah T. Yanggo, yang dimaksud dengan ijma’ ahl al-Madinah tersebut ialah
ijma’ ahl al-Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang
berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup
kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya
dari al-Naql, sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih
diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan
pemberitaan oleh jama’ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan
perseorangan.
d.
Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar,
yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini
berarti bahwa yang dimaksud dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud
hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar itu
tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah
SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak
boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat
yang demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.
e.
Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu
yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu
yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil
istinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang
qath’iy. Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten.
Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad
itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal
ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal
dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan
sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah.
f.
Al-Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: “Menurut hukum
dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully
(menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas,
sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada
pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud
pembuat syara’ secara keseluruhan”. Dari ta’rif tersebut, jelas bahwa istihsan
lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan
dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan yang lain sering
dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang
dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Artinya jika
terdapat satu masalah yang menurut qiyas semestinya diterapkan hukum tertentu,
tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu mashlahah
atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu harus
dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif.
Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan sampai
suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum
harus mendatangkan mashlahat atau menghindarkan madharat.
g.
Al-Mashlahah Al-Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada
ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash.
Dengan demikian, maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan
syari’at diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui
Al-Qur’an, sunnah atau ijma’. Para ulama yang berpegang kepada maslahah
mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai
berikut:
1.
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut
penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
2.
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang
bersifat umum, bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang
tertentu.
3.
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang
bersifat umum dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma’.
h.
Sadd Al-Zara’i
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’i sebagai landasan
dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada
yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau
sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i.
Istishhab
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa
sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada
di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang
keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya
tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.
j.
Syar’u Man Qablana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik
menggunakan kaedah syar’u man qablana syar’un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi
menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam
Malik yang menyatakan demikian. Menurut Abd. Wahab Khallaf, bahwa apabila
Al-Qur’an dan sunnah shahihah mengisahkan suatu hukum yang pernah diberlakukan
buat umat sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah untuk mereka dan
hukum-hukum tersebut dinyatakan pula di dalam Al-Qur’an dan sunnah shahihah,
maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita.
c.
Imam
Syafi’i
Abū Abdullāh Muhammad bin Idrīs
al-Syafi’i atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil
Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, 150 H / 767 dan wafat di Fusthat, Mesir
204H / 819M. Beliau adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri
mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia
termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara
dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat
Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam
perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’
karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga beliau hafal dengan
lancar hanya dalam waktu 9 hari saja, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan
sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau
kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti
kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya
inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk
di kursi mufti kota Mekkah.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada
ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak,
untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.Karena kehebatan ilmunya imam syafi’I
menghasilkan beberapa karya tulis diantaranya:[5]
a.
Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama
tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru.
Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia
mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang
Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As
Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu)
melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di
Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin
ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah
(kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya
yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan
hidupnya saja masih kurang lengkap,”
b.
Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama
diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al
Karabisyi dari Imam Syafi’i.
c.
Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam
Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar
Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika
sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah
madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam
Syafi’i dalam Istinbāţ hukum, antara lain :
1.
Alquran dan sunnah
2.
Ijmak
3.
Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila
menghadapi ikhtilaf.
Sedangkan manhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam
Syafi’i, seperti yang dikutip DR. Jaih Mubarok dari Ahmad Amin dalam kitabnya
Duha al-Islam, yaitu sebagai berikut : rujukan pokok adalah Alquran dan sunnah.
Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam Alquran dan sunnah, hukumnya
ditentukan dengan qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak
diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna
zahir. Apabila suatu lafaz ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zahir
lebih diutamakan.hadis munqati’ ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab.
As-Asltidak boleh diqiyaskan kepada al-asl. Kata “mengapa” dan “bagaimana”
tidak boleh dipertanyakan kepada Alquran dan sunnah, keduanya dipertanyakan
hanya kepada al-Furu’
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi’i menggunakan lima sumber, yaitu:
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi’i menggunakan lima sumber, yaitu:
1.
Nash-nash
Baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber
utama bagi fikih Islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat
terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan
dengan Alquran atau sunnah.
2.
Ijmak
merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh
imam Syafi’i menempati urutan setelah Alquran dan sunnah. Beliau
mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu
masalah hukum syar’i dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijmak pertama yang
digunakan oleh imam Syafi’i adalah ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan
bahwa ijmak diakhirkan dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila mmasalah
yang sudah disepakati bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak
adahujjah padanya.
3.
Pendapat para sahabat.
Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian.
Pertama, sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijmak mereka untuk membiarkan
lahan pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak
seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat
dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam
suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi’i tetap mengambilnya.
Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam
Syafi’i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah
atau ijmak, atau mrnguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak
akan membuat pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
4.
Qiyas.
Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat
Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada nash
pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum
dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam
masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.
5.
Istidlal.
Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila tidak
menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua sumberistidlal yang
diakui oleh imam Syafi’i adalah adat istiadat (‘urf) dan undang-undang agama
yang diwahyukan sebelum Islam (istishab). Namun begitu, kedua sumber ini tidak
termasuk metode yang digunakan oleh imam Syafi’i sebagai dasar istinbath hukum
yang digunakan oleh imam Syafi’i.
6.
Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Ulama membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu
Kaul Qadim dan Kaul Jadid. Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang
dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan Kaul Jadid adalah pendapat imam
Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada
ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ra’y.
Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat imam Syafi’i dan berhasil
dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu
Tsaur. Setelah tinggal di Irak, imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir
kemudian tinggal di sana. Di Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada)
ulama Mesir yang pada umumnya sahabat imam Malik. Imam Malik adalah penerus
fikih Madinah yang dikenal sebagai ahl al-hadits. Karena perjalanan
intelektualnya itu, imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian
disebut Kaul Jadid. Dengan demikian, Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i
yang bercorak ra’yu, sedangkan Kaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak
sunnah.
d.
Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah Al Imam Abu Abdillah
Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada
tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang
banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara
lain Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun
sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah
Imam Ahmad yang menyebarkan mazhab Hambali, diantaranya :[6]
1.
Muwaquddin Ibnu Qudaamah al Maqdisi yang mengarang
kitab Al Mughni.
- Syamsuddin Ibnu Qudaamah al Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
- Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al Fataawa.
- Ibnul Qaiyim al Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab Hambali.
Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn
Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:[7]
1.
Nash
dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan dari Sunnah
Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu.
2.
Fatwa
para sahabat Nabi SAW
Apabila ia
tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari hadits
shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada
perselisihan di kalangan mereka. Apabila terdapat perbedaan di antara fatwa
para sahabat, maka Imam Ahmad ibn Hanbal memilih pendapat yang lebih dekat
kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
3.
Hadits
Mursal dan Hadits Dha’if
Apabila ia
tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan
hadits mursal dan hadits dha’if. Dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits
hanya dua kelompok yaitu, hadits shahih dan hadits dha’if.
4.
Qiyas
Apabila Imam
Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits dha’if,
maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan
dalam keadaan dharurat (terpaksa)
5.
Sadd al-dzara’I,
yaitu
melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.
Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di
Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab
Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi.
Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan
mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Madzhab menurut bahasa
Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahaba yang artinya ‘pergi’. Jadi, pengertian madzhab
secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan. Sedangkan secara
terminologis pengertian madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan
oleh imam Mutjahid dalam memecahkan masalah atau mengstinbatan hukum Islam.
Sebenarnya ikhtilaf
telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan
pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada
mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak
sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan
berlainan tempat Dari fragmentasi sejarah, bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih
pada periode ini merupakan puncak Dari perjalanan kesejarahan tasyri’
Pendiri mazhab Hanafi ialah
Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Seorang keturunan bangsa Ajam dari Persia. Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Amr
al-Asbahi lahir di Madinah pada tahun 93 H (714 M). Rumah leluhurnya itu di
Yaman, namun kakeknya menetap di Madinah setelah memeluk Islam. Abū Abdullāh Muhammad bin Idrīs
al-Syafi’i atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil
Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, 150 H / 767 dan wafat di Fusthat, Mesir
204H / 819M. Pendiri Mazhab Hambali ialah Al Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin
Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. Yang mana ke empat tokoh tersebut merupankan
tokoh-tokoh yang termasyhur didunia.
B. Saran
Tiada
gading yang tak retak karena sesungguhnya makalah ini masih banyak kekuranganya,
saran dan masukan sangat kami butuhkan untuk lebih baik kedepanya.
Daftar
Pustaka
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. 1980. Pengantar
Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad. 1995. Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar
Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos.
0 komentar:
Posting Komentar