Kamis, 08 Februari 2018

Perkembangan Pemikiran Filsafat



A.      Latar Belakang
Periode filsafat merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada periode tersebut terjadi perubahan pola pikir manusia seiring periode tersebut berlangsung. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya.
filsafat bukanlah suatu disiplin ilmu, maka sesuai dengan definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat tidak akan pernah habis untuk dibahas. Dalam perkembangannya filsafat akan terus berkembang seiring berkembangnya zaman sehinga melahirkan sebuah pemikiran-pemikiran yang baru di dunia.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan pemikiran filsafat pada zaman yunani kuno?
2.      Bagaimana perkembangan pemikiran filsafat pada zaman moderen?
3.      Bagaimana perkembangan pemikiran filsafat pada zaman post moderen?
C.      Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui perkembangan pemikiran filsafat pada zaman yunani kuno.
2.      Untuk mengetahui perkembangan pemikiran filsafat pada zaman moderen.
3.      Untuk mengetahui perkembangan pemikiran filsafat pada zaman post moderen.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Perkembangan Pemikiran Zaman Yunani Kuno
Periode filsafat Yunani merupakan periode terpenting dalam sejarah peradaban manusia. Hal ini disebabkan karena pada saat itu terjadi perubahan pola pikir mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir mitosntris adalah pola pikir yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam berserta kejadian alam yang lain. Pada saat itu, gempa bumi bukanlah suatu fenomena biasa melainkan suatu fenomena di mana Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Keluarnya orang Yunani dari kukungan mitologi dan mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah merupakan titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus dan mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Pada periode ini muncullah filosof pertama yang mengkaji tentang asal usul alam  yaitu Thales (624-546 SM). Pada masa itu, Ia mengatakan bahwa asal alam adalah air karena unsur terpenting bagi setiap makhluk hidup adalah air. Air dapat berubah menjadi gas seperti uap dan benda padat seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air.
Setelah Thales muncul Anaximandros (610-540SM) Anaximandros mencoba menjelaskan bahwa subtansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya unsur utama alam harus mencangkup segalanya yang dinamakan apeiron. Air harus meliputi segalanya, termasuk api yang merupakan lawannya. Padahal, tidak mungkin air menyingkirkan anasir api. Karena itu, Anaximandros tidak puas dengan penunjukan salah satu anasir sebagai prinsip alam, tetapi mencari yang lebih dalam, yaitu dzat yang tidak dapat diamati oleh panca indra.
Sedangkan Heraklitos berpendapat bahwa segala yang ada selalu berubah dan sedang menjadi. Ia mempercayai bahwa arche (asas yang pertama dari alam semesta) adalah api. Api dianggapnya sebagai lambang perubahan dan kesatuan. Api mempunyai sifat memusnahkan segala yang ada dan mengubah sesuatu tersebut menjadi abu atau asap. Sehingga Heraklitos menyimpulkan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah sesuatu yang dapat menjadi pengubah seluruh isi alam semesta ini, sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri.[1]
Selain Heraclitos ada pula Permenides. Permenides lahir di kota Elea. Ia merupakan ahli filsuf yang pertama kali memikirkan tentang hakikat tentang ada. Menurut pendapat Permenides apa yang disebut sebagai realitas adalah bukan gerak dan perubahan. Yang ada itu ada, yang ada dapat hilang menjadi ada, yang tidak ada adalah tidak ada sehingga tidak dapat dipikirkan. Yang dapat dipikirkan hanyalah yang ada saja, yang tidak ada tidak dapat dipikirkan. Dengan demikian, yang ada itu satu, umum, tetap, dan tidak dapat di bagi-bagi karena membagi yang ada akan menimbulkan atau melahirkan banyak yang ada, dan itu tidak mungkin.
Benar tidaknya sesuatu dapat diukur dengan logika. Bentuk ekstrem pertanyaan itu ukuran kebenaran adalah manusia dari pandangan ini bahwa alam tidak bergerak, tetapi diam karena alam ini satu yatu ada dan ada ini satu. Gerakan alam yang terlihat, menurut Permenides sejatinya alam itu diam. Akibat dari pandangan ini kemudian muncul prinsip panteisme dalam memandang realitas.
Pythagoras (580-500SM) mengembalikan segala sesuatu kepada bilangan. Baginya tidak ada satupun yang dialam ini terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan (kuantintas) bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Kesimpulan ini ditarik dari kenyataan bahwa realitas alam adalah harmoni antara bilangan dan gabungan antara dua hal yang berlawanan, seperti nada musik dapat dinikmati karna oktaf adalah hasil dari gabungan bilangan satu (bilangan ganji) dan dua adalah (bilangan genap).
 Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Demikian juga seluruh jagat raya merupakan suatu harmoni yang mendamaikan hal-hal yang berlawanan. Artinya, segala sesuatu berdasarkan dan dapat dikembalikan pada bilangan jasa Pythagoras ini sangat besar dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat tergantung pada pendekatan matematika. Pythagoras menegaskan bahwa alam ditulis dalam bahasa matematika. Dalam filsafat ilmu, matematika, merupakan sarana ilmiyah yang terpenting dan akurat untuk melakukan pendekatan. Karena dengan matematikalah ilmu dapat diukur dengan benar dan akurat.
Setelah berakhirnya masa para filosof alam, maka muncul masa transisi, yakni penelitian terhadap alam tidak menjadi fokus utama, tetapi sudah mulai menjurus pada penyelidikan pada manusia. Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum “Sofis”. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah ukuran kebenaran. Pernyataan ini merupakan cikal bakal humanisme. Pertanyaan yang muncul adalah apakah yang dimaksudnya itu manusia individu atau manusia pada umumnya. Dua hal itu menimbulkan konsekuensi yang sungguh berbeda. Namun yang jelas ialah ia menyatakan bahwa kebenaran itu berfilsafat subjektif dan relatif. Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak di anggapnya mempunyai kebenaran yang absolut.
Tokoh lain dari kaum sofis adalah Gorgias (483-375SM), ia datang ke Athena pada tahun 427 SM dari Leontini. Menurutnya ada tiga proposisi: pertama, tidak ada yang ada, maksudnya realitas sebenarnya itu tidak ada. Pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Kedua, bila sesuatu itu ada ia tidak akan dapat diketahui. Ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak dapat dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi. Akal, tidak juga mampu meyakinkan kita bahwa semesta alam ini karna atau kita telah diperdaya oleh dilema subjektivitas. Dan ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak dapat kita beritahukan kepada orang lain. Sikap skeptis Gorgias ini dianggap oleh sebagian filosof sebagai pandangan nihilisme yakni kebenaran itu tidak ada. Jadi, dia lebih ekstrim dibandingkan dengan Protagoras.
Pengaruh positif gerakan kaum sofis cukup terasa karena mereka membangkitkan semngat berfilsafat. Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif  dalam pemikiran kaum sofis karna mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru.
Namun, para filosof setelah kaum sofis dengan pandangan tersebut, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka menolak relativisme kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran objektif yang bergantung pada manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran objektif itu dengan menggunakan metode yang bersifat praktis dan di jalankan melalui percakapan-percakapan, sehingga metode yang digunakannya biasanya disebut metode dialog karena dialog mempunyai peranan penting dalam menggali kebenaran yang objektif. Contohnya, ketika dia ingin menemukan makna adil, dia bertanya kepada pedagang, prajurit, penguasa, dan guru. Dari semua penjelasan yang diberikan oleh semua lapisan masyarakat itu dapat ditarik sebuah benang merah yang bersifat universal tentang keadilan. Dari sinilah, menurut Socrates, kebenaran universal dapat ditemukan.
Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Oleh karna itu, dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Bagi Socrates, pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri. Semboyan yang paling digemarinya adalah apa yang tertera pada kuil Delphi, yaitu “kenalilah dirimu sendiri”.
Zaman keemasan atau puncak dari filsafat Yunani Kuno atau Klasik, dicapai pada masa Sokrates (470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates  merupakan anak dari seorang pemahat Sophroniscos, ibunya bernama Phairmarete yang bekerja sebagai seorang bidan. Istrinya bernama Xantipe yang terkenal galak dan keras. Socrates adalah seorang guru. Setiap kali Socrates mengajarkan pengetahuannya, Socrates tidak pernah memungut bayaran kepada murid-muridnya. Oleh karena itulah, kaum sofis menuduh dirinya memberikan ajaran baru yang merusak moral dan menentang kepercayaan negara kepada para pemuda. Kemudian ia ditangkap dan dihukum mati dengan minum racun pada umur 70 tahun yakni pada tahun 399 SM. Pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah yang keduanya tidak dapat dipisahkan karena dengan keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang dihasilkan.
Plato lahir di Athena, Ia belajar filsafat dari Socrates, Pythagoras, Heracleitos dan Parmenindes. Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan  lama yakni mana yang benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenindes). Pengetahuan yang diperoleh lewat indera disebutnya sebagai pengetahuan indera dan pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebutnya sebagai pengetahuan akal. Plato menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap dan dunia ide yang bersifat tetap. Dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas adalah dunia ide. Menurut Plato ada beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas jika manusia tidak mengetahuinya, masalah tersebut adalah:[2]
a.       Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai penciptanya.
b.      Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat manusia
c.       Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak dan lain-laian.
d.      Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari tidak mempunyai peraturan menjadi memiliki peraturan yang di jadikan sebagai pedoman manusia didunia.
Sebagai puncak pemikiran filsafatnya adalah pemikiran tentang negara, yang tertera dalam Polites dan Nomoi. Konsepnya mengenai etika sama seperti Socrates yakni tujuan hidup manusia adalah hidup yang baik (eudaimonia atau well being). Menurut Plato di dalam negara yang ideal terdapat tiga golongan, antara lain:[3]
1.      Golongan yang tertinggi (para penjaga dan para filsuf).
2.      Golongan pembantu (prajurit yang bertugas untuk menjaga keamanan negara).
3.      Golongan rakyat biasa (petani, pedagang, dan tukang).
Plato mengemukakan bahwa tugas seorang negarawan adalah mencipta keselarasan semua keahlian dalam negara (polis) sehingga mewujudkan keseluruhan yang harmonis. Apabila suatu negara telah mempunyai undang-undang dasar maka bentuk pemerintahan yang tepat adalah monarki. Sementara itu, apabila suatu negara belum mempunyai undang-undang dasar, bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah demokrasi. Filsafat Plato dikenal sebagai idealisme dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. Karya-karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.
Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju berlawanan dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Aristoteles lahir di Stageira, Yunani Utara pada tahun 384 SM. Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan atau benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfe”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi. Karya-karya Aristoteles meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi, ilmu alam, Retorica dan poetika, politik dan ekonomi. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan. Berikut ini beberapa pemikiran Aristoteles yang terdiri:[4]
a.       Ajarannya tentang logika yang memberikan suatu pengertian memuat dua golongan, yaitu substansi dan aksidensia. Dan dari dua golongan tersebut terurai menjadi sepuluh macam kategori, yaitu:
1.      Substansi (manusia, binatang).
2.      Kuantitas (dua, tiga).
3.      Kualitas (merah, baik).
4.      Relasi (rangkap, separuh).
5.      Tempat (di rumah, di pasar).
6.      Waktu (sekarang, besok).
7.      Keadaan (duduk, berjalan).
8.      Mempunyai (berpakaian, bersuami).
9.      Berbuat (memmbaca, menulis).
10.  Menderita (terpotong, tergilas). Sampai sekarang, Aristoteles dianggap sebagai Bapak logika tradisional.
b.      Ajaranya tentang sillogisme.
c.       Ajarannya tentang pengelompokkan ilmu pengetahuan. Aritoteles mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan.
d.      Ajarannya tentang potensia dan dinamika. Hule adalah suatu unsur yang menjadi permacaman. Sementara itu, morfe adalah unsur yang menjadi dasar kesatuan.
e.       Ajarannya tentang pengenalan.
f.       Ajarannya tentang etika.
g.      Ajarannya tentang negara.
B.        Perkembangan Pemikiran Filsafat Pada Zaman Moderen
Masa moderen menjadi identitas di dalam filsafat Moderen. Pada masa ini rasionalisme semakin dipikirkan tidak mudah untuk menentukan mulai dari kapan abad pertengahan berhenti. Namun, dapat dikatakan bahwa abad pertengahan itu berakhir pada abad 15 dan 16 atau pada akhir masa renaisans masa setelah abad pertengahan adalah masa moderen. Sekalipun, memang tidak jelas kapan berakhirnya abad pertengahan itu. Akan tetapi, ada hal-hal yang jelas menandai masa Moderen ini, yaitu berkembang pesat berbagai kehidupan manusia barat, khususnya dalam bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Kebudayaan ini diresapi oleh suasana kristiani. di bidang filsafat, terdapat aliran yang terus mempertahankan masa klasik. aliran-aliran dari kungfu dan mazhab stoa menjadi aliran-aliran yang terus dipertahankan. pada masa renaissance ini tidak menghasilkan karya-karya yang penting.[5]
Satu hal yang yang menjadi perhatian pada masa renaissance ini adalah ketika kita melihat perkembangan pemikirannya. Perkembangan pada masa ini menimbulkan sebuah masa yang amat berperan di dalam dunia filsafat. Inilah yang menjadi awal dari masa moderen. Timbulnya ilmu pengetahuan yang moderen, berdasarkan metode eksperimental dan matematis. Segala sesuatunya, khususnya di dalam bidang ilmu pengetahuan mengutamakan logika dan empirisme. Aristotelian menguasai seluruh Abad Pertengahan ini melalui hal-hal tersebut.
Pada masa moderen terjadi perkembangan yang pesat pada bidang ekonomi. Hal ini terlihat dari kota-kota yang berkembang menjadi pusat perdagangan, pertukaran barang, kegiatan ekonomi monoter, dan perbankan. Kaum kelas menengah melakukan upaya untuk bangkit dari keterpurukan dengan mengembangkan suatu kebebasan tertentu. Kebebasan ini berkaitan dengan syarat-syarat dasar kehidupan. Segala macam barang kebutuhan bisa dibeli dengan uang. Makanisme pasar pun sudah mulai mengambil peranan penting untuk menuntut manusia untuk rajin, cerdik, dan cerdas. Dari sudut pandang sosiologi dan ekonomi menjelaskan bahwa individu berhadapan dengan tuntutan-tuntutan baru dan praktis yang harus dijawab berdasarkan kemampuan akal budi yang mereka miliki. Kemampuan ini tanpa harus mengacu kepada otoritas lain, entah itu dari kekuasaan gereja, tuntutan tuan tanah feodal, maupun ajaran muluk-muluk dari para filsuf.
Dari sudut pandang sejarah filsafat barat melihat bahwa masa moderen merupakan periode dimana berbagai aliran pemikiran baru mulai bermunculan dan beradu dalam kancah pemikiran filosofis barat. Filsafat barat menjadi penggung perdebatan antar filsuf terkemuka. Setiap filsuf tampil dengan gaya dan argumentasinya yang khas. Argumentasi mereka pun tidak jarang yang bersifat kasar dan sini, kadang tajam dan pragmatis, ada juga yang sentimental. Sejarah filsafat pada masa moderen ini dibagi ke dalam tiga zaman atau periode, yaitu zaman Renaissans (Renaissance), zaman Pencerahan Budi (Aufklarung), dan zaman Romantik, khususnya periode Idealisme Jerman.
Ada beberapa tokoh yang menjadi perintis yang membuka jalan baru menuju perkembangan ilmiah yang moderen. Mereka adalah Leonardo da Vinci (1452-1519), Nicolaus Coperticus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643). Sedangkan Francis Bacon (1561-1623) merupakan filsuf yang meletakkan dasar filosofisnya untuk perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Dia merupakan bangsawan Inggris yang terkenal dengan karyanya yang bermaksud untuk menggantikan teori Aristoteleles tentang ilmu pengetahuan dengan teori baru.
Sekalipun demikian, Rene Descartes merupakan filsuf yang paling terkenal pada masa filsafat moderen ini. Rene Descartes (1596-1650) diberikan gelar sebagai bapa filsafat moderen. Dia adalah seorang filsuf Prancis. Descartes belajar filsafat pada Kolese yang dipimpin Pater Yesuit di desa La Fleche. Descartes menulis sebuah buku yang terkenal, yaitu Discours de la method pada tahun 1637. Bukunya tersebut berisi tentang uraian tentang metode perkembangan intelektuilnya. Dia dengan lantang menyatakan bahwa tidak merasa puas dengan filsafat dan ilmu pengetahuan yang menjadi bahan pendidikannya. Dia juga menjelaskan bahwa di dalam dunia ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggapnya pasti. Segala sesuatu dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga.[6]
C.      Perkembangan Pemikiran Filsafat Zaman Post Moderen
1.      Teologi
2.      Metafisis.
3.      Positif-ilmiah.
Bagi era manusia dewasa (moderen) ini pengetahuan hanya mungkin dengan menerapkan metode-metode positif ilmiah, artinya setiap pemikiran hanya benar secara ilmiah bilamana dapat diuji dan dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran yang jelas dan pasti sebagaimana berat, luas dan isi suatu benda. Dengan demikian Comte menolak spekulasi “metafisik”, dan oleh karena itu ilmu sosial yang digagas olehnya ketika itu dinamakan “Fisika Sosial” sebelum dikenal sekarang sebagai “Sosiologi”. Bisa dipahami, karena pada masa itu ilmu-ilmu alam (natural sciences) sudah lebih mantap dan mapan, sehingga banyak pendekatan dan metode-metode ilmu-ilmu alam yang diambil oleh ilmu-ilmu sosial (social sciences) yang berkembang sesudahnya.
Pada periode terkini (kontemporer) setelah aliran-aliran sebagaimana disebut di atas munculah aliran-aliran filsafat, misalnya: Strukturalisme dan postmoderenisme. Strukturalisme dengan tokoh-tokohnya misalnya Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault. Tokoh-tokoh Postmoderenisme antara lain. J. Habermas, J. Derida. Kini oleh para epistemolog (ataupun dari kalangan sosiologi pengetahuan) dalam perkembangannya kemudian, struktur ilmu pengetahuan semakin lebih sistematik dan lebih lengkap (dilengkapi dengan, teori, logika dan metode sain), sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter L.Wallace dalam bukunya The Logic of Science in Sociology. Dari struktur ilmu tersebut tidak lain hendak dikatakan bahwa kegiatan keilmuan ilmiah itu tidak lain adalah penelitian (search dan research).
Pada periode ini juga muuncul aliran pragmatisme. Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Maka pragmatisme adalah suatu aliran yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Tokohnya William James (1842-1910) lahir di New York, memperkenalkan ide-idenya tentang pragmatisme kepada dunia. Ia ahli dalam bidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi dan filsafat.
Selain itu juga muncullah filsafat analitis. Tokoh aliran ini adalah Ludwig Josef Johan Wittgenstein (1889-1951). Ilmu yang ditekuninya adalah ilmu penerbangan yang memerlukan studi dasar matematika yang mendalam. Filsafat analitis ini berpengaruh di Inggris dan Amerika sejak tahun 1950. Filsafat ini membahas mengenai analisis bahasa dan anlisis konsep-konsep.[8]


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dalam perkembangan pemikiran filsafat terus mengalami perkembangan pemikirannya semenjak zaman yunani kuno yang merubah pemikiran orang yunani yang semula mitosentris menjadi logosentris menggunakan rasio untuk meneliti sekaligus mempertanyakan dirinya.
Dilanjutkan pada zaman moderen yang ditemukan kemajuan ilmu-ilmu dan teknologi yang terus dikembangkan pada zaman post moderen hingga sekarang Masa moderen menjadi identitas di dalam filsafat Moderen. Pada masa ini rasionalisme semakin dipikirkan Tidak gampang untuk menentukan mulai dari kapan Abad Pertengahan berhenti. Namun, dapat dikatakan bahwa Abad Pertengahan itu berakhir pada abad 15 dan 16 atau pada akhir masa renaisans masa setelah abad pertengahan adalah masa moderen.
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas merupakan zaman post moderen yang merupakan perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran besar rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan wilayah-wilayah yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan abad kedelapan belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat antara lain: positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neokantianisme, neo-tomisme dan fenomenologi.
B.   Saran
Tiada gading yang tak retak karena sesungguhnya kesempurnaan itu hanya milik allah semata dan segala kekurangan itu semuanya berasal dari kami semata. Saran dan masukan sangat kami butuhkan untuk lebih maju kedepannya.




                                                     Daftar Pustaka
Hadi, Muhdafir. Epistimologi dalam Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kansius,1997.
Muhdhafar, Ali. Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1996.
Muhdhafir, Noeng. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001.



[1] Muhdafir Hadi. Epistimologi dalam Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kansius,1997), hl .34.
[2]Ali Muhdhafar. Filsafat Ilmu.(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1996), hl.27.
[3] Hadi. Epistimologi,hl. 40.
[4] Hadi. Epistimologi, hl.43.
[5] Noeng Muhdhafir. Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001), hl.56.
[6] Muhdhafar. Filsafat, hl.59
[7] Hadi. Epistimologi,hl.60
[8] Muhdhafir. Filsafat, hl.73

0 komentar:

Posting Komentar