A.
Latar Belakang
Periode filsafat merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sejarah
peradaban manusia karena pada periode tersebut terjadi perubahan pola pikir manusia seiring periode tersebut berlangsung. Filsafat berusaha untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta
tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya.
filsafat bukanlah suatu
disiplin ilmu, maka sesuai dengan definisinya, sejarah dan perkembangan
filsafat tidak akan pernah habis untuk dibahas. Dalam perkembangannya filsafat akan
terus berkembang seiring berkembangnya zaman sehinga melahirkan sebuah
pemikiran-pemikiran yang baru di dunia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perkembangan pemikiran
filsafat pada zaman yunani kuno?
2.
Bagaimana perkembangan pemikiran
filsafat pada zaman moderen?
3.
Bagaimana perkembangan pemikiran
filsafat pada zaman post moderen?
C.
Tujuan penulisan
1.
Untuk mengetahui perkembangan pemikiran
filsafat pada zaman yunani kuno.
2.
Untuk mengetahui perkembangan pemikiran
filsafat pada zaman moderen.
3.
Untuk mengetahui perkembangan pemikiran
filsafat pada zaman post moderen.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Pemikiran Zaman Yunani Kuno
Periode filsafat Yunani
merupakan periode terpenting dalam sejarah peradaban manusia. Hal ini
disebabkan karena pada saat itu terjadi perubahan pola pikir mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir mitosntris adalah pola
pikir yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam berserta kejadian alam yang lain.
Pada saat itu, gempa bumi bukanlah suatu fenomena biasa melainkan suatu
fenomena di mana Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Keluarnya orang Yunani dari kukungan mitologi
dan mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah merupakan titik awal manusia
menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus dan mempertanyakan dirinya dan
alam jagad raya.
Pada
periode ini muncullah filosof pertama yang mengkaji tentang asal usul alam
yaitu Thales (624-546 SM). Pada masa itu, Ia mengatakan bahwa asal alam
adalah air karena unsur terpenting bagi setiap makhluk hidup adalah air. Air
dapat berubah menjadi gas seperti uap dan
benda padat seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air.
Setelah Thales muncul Anaximandros (610-540SM) Anaximandros
mencoba menjelaskan bahwa subtansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya unsur utama alam harus mencangkup segalanya yang dinamakan apeiron.
Air harus meliputi segalanya, termasuk api yang merupakan lawannya. Padahal,
tidak mungkin air menyingkirkan anasir api. Karena itu, Anaximandros tidak puas dengan penunjukan salah
satu anasir sebagai prinsip alam, tetapi mencari yang lebih dalam, yaitu dzat
yang tidak dapat diamati oleh panca indra.
Sedangkan Heraklitos
berpendapat bahwa segala yang ada selalu berubah dan sedang menjadi. Ia
mempercayai bahwa arche (asas yang pertama dari alam semesta) adalah api. Api
dianggapnya sebagai lambang perubahan dan kesatuan. Api mempunyai sifat
memusnahkan segala yang ada dan mengubah sesuatu tersebut menjadi abu atau
asap. Sehingga Heraklitos menyimpulkan bahwa yang mendasar dalam alam semesta
ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api
adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan
roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah sesuatu yang dapat menjadi pengubah
seluruh isi alam semesta ini, sehingga api pantas dianggap
sebagai simbol perubahan itu sendiri.[1]
Selain Heraclitos ada
pula Permenides. Permenides lahir di kota Elea. Ia
merupakan ahli filsuf yang pertama kali memikirkan tentang hakikat tentang ada.
Menurut pendapat Permenides apa yang
disebut sebagai realitas adalah bukan gerak dan perubahan. Yang ada itu ada,
yang ada dapat hilang menjadi ada, yang tidak ada adalah tidak ada sehingga
tidak dapat dipikirkan. Yang dapat dipikirkan hanyalah yang ada saja, yang
tidak ada tidak dapat dipikirkan. Dengan demikian, yang ada itu satu, umum,
tetap, dan tidak dapat di bagi-bagi karena membagi yang ada akan menimbulkan
atau melahirkan banyak yang ada, dan itu tidak mungkin.
Benar tidaknya sesuatu dapat diukur dengan logika. Bentuk ekstrem
pertanyaan itu ukuran kebenaran adalah manusia dari pandangan ini bahwa alam
tidak bergerak, tetapi diam karena alam ini satu yatu ada dan ada ini satu.
Gerakan alam yang terlihat, menurut Permenides sejatinya alam itu diam. Akibat dari pandangan ini
kemudian muncul prinsip panteisme dalam memandang realitas.
Pythagoras (580-500SM) mengembalikan segala sesuatu kepada bilangan.
Baginya tidak ada satupun yang dialam ini terlepas dari bilangan. Semua
realitas dapat diukur dengan bilangan (kuantintas) bilangan adalah unsur utama
dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Kesimpulan ini ditarik dari kenyataan
bahwa realitas alam adalah harmoni antara bilangan dan gabungan antara dua hal
yang berlawanan, seperti nada musik dapat dinikmati karna oktaf adalah hasil dari gabungan bilangan satu (bilangan ganji)
dan dua adalah (bilangan genap).
Unsur-unsur bilangan itu adalah
genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Demikian juga seluruh jagat raya
merupakan suatu harmoni yang mendamaikan hal-hal yang berlawanan. Artinya, segala sesuatu
berdasarkan dan dapat dikembalikan pada bilangan jasa Pythagoras ini sangat
besar dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang
dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat tergantung pada pendekatan
matematika. Pythagoras menegaskan bahwa alam ditulis
dalam bahasa matematika. Dalam filsafat ilmu, matematika, merupakan sarana
ilmiyah yang terpenting dan akurat untuk melakukan pendekatan. Karena dengan matematikalah ilmu dapat diukur dengan benar dan akurat.
Setelah berakhirnya masa para filosof alam, maka muncul masa transisi,
yakni penelitian terhadap alam tidak menjadi fokus utama, tetapi sudah mulai
menjurus pada penyelidikan pada manusia. Filosof alam ternyata tidak dapat
memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum “Sofis”. Tokoh
utamanya adalah Protagoras (481-411SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah
ukuran kebenaran. Pernyataan ini merupakan cikal bakal humanisme. Pertanyaan
yang muncul adalah apakah yang dimaksudnya itu manusia individu atau manusia
pada umumnya. Dua hal itu menimbulkan konsekuensi yang sungguh berbeda. Namun
yang jelas ialah ia menyatakan bahwa kebenaran itu berfilsafat subjektif dan
relatif. Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut
dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori
matematika tidak di anggapnya mempunyai kebenaran yang absolut.
Tokoh lain dari kaum sofis adalah Gorgias (483-375SM), ia datang ke Athena
pada tahun 427 SM dari Leontini. Menurutnya ada tiga proposisi: pertama, tidak
ada yang ada, maksudnya realitas sebenarnya itu tidak ada. Pemikiran lebih baik
tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Kedua, bila sesuatu
itu ada ia tidak akan dapat diketahui. Ini disebabkan oleh penginderaan itu
tidak dapat dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi. Akal, tidak juga mampu
meyakinkan kita bahwa semesta alam ini karna atau kita telah diperdaya oleh
dilema subjektivitas. Dan ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia
tidak dapat kita beritahukan kepada orang lain. Sikap skeptis Gorgias ini
dianggap oleh sebagian filosof sebagai pandangan nihilisme yakni kebenaran itu
tidak ada. Jadi, dia lebih ekstrim dibandingkan dengan Protagoras.
Pengaruh positif gerakan kaum sofis cukup terasa karena mereka
membangkitkan semngat berfilsafat. Ilmu juga mendapat ruang yang sangat
kondusif dalam pemikiran kaum sofis
karna mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori
ilmu, sehingga muncul sintesa baru.
Namun, para filosof setelah kaum sofis dengan pandangan tersebut, seperti Socrates,
Plato, dan Aristoteles. Mereka menolak relativisme kaum sofis. Menurut mereka,
ada kebenaran objektif yang bergantung pada manusia. Socrates membuktikan
adanya kebenaran objektif itu dengan menggunakan metode yang bersifat praktis
dan di jalankan melalui percakapan-percakapan, sehingga metode yang
digunakannya biasanya disebut metode dialog karena dialog mempunyai peranan
penting dalam menggali kebenaran yang objektif. Contohnya, ketika dia ingin
menemukan makna adil, dia bertanya kepada pedagang, prajurit,
penguasa, dan guru. Dari semua penjelasan yang diberikan oleh semua lapisan
masyarakat itu dapat ditarik sebuah benang merah yang bersifat universal tentang keadilan. Dari
sinilah, menurut Socrates, kebenaran universal dapat ditemukan.
Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Oleh karna itu, dasar dari segala
penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Bagi Socrates,
pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Semboyan yang paling digemarinya adalah apa yang tertera pada kuil Delphi, yaitu
“kenalilah dirimu sendiri”.
Zaman keemasan atau puncak dari filsafat Yunani Kuno atau Klasik, dicapai
pada masa Sokrates (470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322
SM). Sokrates
merupakan anak dari seorang pemahat Sophroniscos, ibunya bernama
Phairmarete yang bekerja sebagai seorang bidan. Istrinya bernama Xantipe yang
terkenal galak dan keras. Socrates adalah seorang guru. Setiap kali Socrates
mengajarkan pengetahuannya, Socrates tidak pernah memungut bayaran kepada
murid-muridnya. Oleh karena itulah, kaum sofis menuduh dirinya memberikan
ajaran baru yang merusak moral dan menentang kepercayaan negara kepada para
pemuda. Kemudian ia ditangkap dan dihukum mati dengan minum racun pada umur 70
tahun yakni pada tahun 399 SM. Pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia
secara keseluruhan yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah
yang keduanya tidak dapat dipisahkan karena dengan keterkaitan kedua hal
tersebut banyak nilai yang dihasilkan.
Plato lahir di Athena, Ia belajar filsafat dari Socrates,
Pythagoras, Heracleitos dan Parmenindes. Sebagai titik tolak pemikiran
filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan lama yakni mana yang
benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenindes).
Pengetahuan yang diperoleh lewat indera disebutnya sebagai pengetahuan indera
dan pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebutnya sebagai pengetahuan akal.
Plato menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia yaitu
dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap dan dunia ide yang bersifat tetap.
Dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas adalah dunia ide. Menurut Plato ada
beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas jika manusia tidak
mengetahuinya, masalah tersebut adalah:[2]
a.
Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai
penciptanya.
b.
Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang
diperbuat manusia
c.
Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara
negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak dan lain-laian.
d.
Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari
tidak mempunyai peraturan menjadi memiliki peraturan yang di jadikan sebagai
pedoman manusia didunia.
Sebagai puncak
pemikiran filsafatnya adalah pemikiran tentang negara, yang tertera dalam Polites
dan Nomoi. Konsepnya mengenai etika sama seperti Socrates yakni tujuan hidup
manusia adalah hidup yang baik (eudaimonia atau well being). Menurut Plato di
dalam negara yang ideal terdapat tiga golongan, antara lain:[3]
1.
Golongan yang tertinggi (para penjaga
dan para filsuf).
2.
Golongan pembantu (prajurit yang
bertugas untuk menjaga keamanan negara).
3.
Golongan rakyat biasa (petani, pedagang,
dan tukang).
Plato mengemukakan
bahwa tugas seorang negarawan adalah mencipta keselarasan semua keahlian dalam
negara (polis) sehingga mewujudkan keseluruhan yang harmonis. Apabila suatu
negara telah mempunyai undang-undang dasar maka bentuk pemerintahan yang tepat
adalah monarki. Sementara itu, apabila suatu negara belum mempunyai
undang-undang dasar, bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah demokrasi. Filsafat
Plato dikenal sebagai idealisme dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak
lain adalah proyeksi atau bayang-bayang bayangan dari suatu dunia “ide” yang
abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri.
Karya-karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika,
epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik,
ontologi dan filsafat alam.
Sedangkan Aristoteles
sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju berlawanan dengan apa
yang diperoleh dari gurunya (Plato). Aristoteles lahir di Stageira, Yunani
Utara pada tahun 384 SM. Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi”
sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan
atau benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfe”). Lebih jauh bahkan
dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi,
sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka
bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan kenyataan
kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi. Karya-karya
Aristoteles meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi, ilmu alam,
Retorica dan poetika, politik dan ekonomi. Pemikiran-pemikirannya yang
sistematis tersebut banyak menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan.
Berikut ini beberapa pemikiran Aristoteles yang terdiri:[4]
a.
Ajarannya tentang logika yang memberikan
suatu pengertian memuat dua golongan, yaitu substansi dan aksidensia. Dan dari
dua golongan tersebut terurai menjadi sepuluh macam kategori, yaitu:
1.
Substansi (manusia, binatang).
2.
Kuantitas (dua, tiga).
3.
Kualitas (merah, baik).
4.
Relasi (rangkap, separuh).
5.
Tempat (di rumah, di pasar).
6.
Waktu (sekarang, besok).
7.
Keadaan (duduk, berjalan).
8.
Mempunyai (berpakaian, bersuami).
9.
Berbuat (memmbaca, menulis).
10. Menderita
(terpotong, tergilas). Sampai sekarang, Aristoteles dianggap sebagai Bapak
logika tradisional.
b.
Ajaranya tentang sillogisme.
c.
Ajarannya tentang pengelompokkan ilmu
pengetahuan. Aritoteles mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan.
d.
Ajarannya tentang potensia dan dinamika.
Hule adalah suatu unsur yang menjadi permacaman. Sementara itu, morfe adalah
unsur yang menjadi dasar kesatuan.
e.
Ajarannya tentang pengenalan.
f.
Ajarannya tentang etika.
g.
Ajarannya tentang negara.
B.
Perkembangan Pemikiran Filsafat Pada Zaman Moderen
Masa moderen menjadi identitas di
dalam filsafat Moderen. Pada masa ini rasionalisme semakin dipikirkan tidak mudah untuk menentukan mulai dari
kapan abad
pertengahan
berhenti. Namun, dapat dikatakan bahwa abad pertengahan itu berakhir pada abad
15 dan 16 atau pada akhir masa renaisans masa setelah abad pertengahan adalah masa moderen. Sekalipun,
memang tidak jelas kapan berakhirnya abad pertengahan itu. Akan tetapi, ada
hal-hal yang jelas menandai masa Moderen ini, yaitu berkembang pesat berbagai
kehidupan manusia barat,
khususnya dalam bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Usaha untuk
menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi.
Kebudayaan ini diresapi oleh suasana kristiani. di bidang filsafat, terdapat
aliran yang terus mempertahankan masa klasik. aliran-aliran dari kungfu dan mazhab stoa menjadi aliran-aliran yang terus
dipertahankan. pada masa renaissance ini tidak menghasilkan karya-karya yang
penting.[5]
Satu hal yang yang menjadi perhatian pada masa renaissance
ini adalah ketika kita melihat perkembangan pemikirannya. Perkembangan pada
masa ini menimbulkan sebuah masa yang amat berperan di dalam dunia filsafat.
Inilah yang menjadi awal dari masa moderen. Timbulnya ilmu pengetahuan yang moderen,
berdasarkan metode eksperimental dan matematis. Segala sesuatunya, khususnya di
dalam bidang ilmu pengetahuan mengutamakan logika dan empirisme. Aristotelian
menguasai seluruh Abad Pertengahan ini melalui hal-hal tersebut.
Pada masa moderen terjadi perkembangan yang pesat pada bidang
ekonomi. Hal ini terlihat dari kota-kota yang berkembang menjadi pusat
perdagangan, pertukaran barang, kegiatan ekonomi monoter, dan perbankan. Kaum
kelas menengah melakukan upaya untuk bangkit dari keterpurukan dengan
mengembangkan suatu kebebasan tertentu. Kebebasan ini berkaitan dengan
syarat-syarat dasar kehidupan. Segala macam barang kebutuhan bisa dibeli dengan
uang. Makanisme pasar pun sudah mulai mengambil peranan penting untuk menuntut
manusia untuk rajin, cerdik, dan cerdas. Dari sudut pandang sosiologi dan ekonomi
menjelaskan bahwa individu berhadapan dengan tuntutan-tuntutan baru dan praktis
yang harus dijawab berdasarkan kemampuan akal budi yang mereka miliki.
Kemampuan ini tanpa harus mengacu kepada otoritas lain, entah itu dari
kekuasaan gereja, tuntutan tuan tanah feodal,
maupun ajaran muluk-muluk dari para filsuf.
Dari sudut pandang sejarah filsafat barat melihat bahwa masa moderen
merupakan periode dimana berbagai aliran pemikiran baru mulai bermunculan dan
beradu dalam kancah pemikiran filosofis barat. Filsafat barat
menjadi penggung perdebatan antar filsuf terkemuka. Setiap filsuf tampil dengan
gaya dan argumentasinya yang khas. Argumentasi mereka pun tidak jarang yang
bersifat kasar dan sini, kadang tajam dan pragmatis, ada juga yang sentimental.
Sejarah filsafat pada masa moderen ini dibagi ke dalam tiga zaman atau periode,
yaitu zaman Renaissans
(Renaissance), zaman Pencerahan Budi (Aufklarung), dan zaman Romantik, khususnya
periode Idealisme Jerman.
Ada beberapa tokoh yang menjadi perintis yang membuka jalan
baru menuju perkembangan ilmiah yang moderen. Mereka adalah Leonardo da
Vinci (1452-1519), Nicolaus Coperticus
(1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630) dan Galileo
Galilei (1564-1643). Sedangkan Francis Bacon
(1561-1623) merupakan filsuf yang meletakkan dasar filosofisnya untuk
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Dia merupakan bangsawan Inggris
yang terkenal dengan karyanya yang bermaksud untuk menggantikan teori Aristoteleles tentang ilmu
pengetahuan dengan teori baru.
Sekalipun demikian, Rene
Descartes merupakan filsuf yang paling terkenal pada masa filsafat moderen
ini. Rene Descartes (1596-1650) diberikan gelar sebagai bapa filsafat moderen.
Dia adalah seorang filsuf Prancis. Descartes belajar filsafat pada Kolese yang
dipimpin Pater Yesuit di desa La
Fleche. Descartes menulis sebuah buku yang terkenal, yaitu Discours
de la method pada tahun 1637. Bukunya tersebut berisi tentang uraian
tentang metode perkembangan intelektuilnya. Dia dengan lantang menyatakan bahwa
tidak merasa puas dengan filsafat dan ilmu pengetahuan yang menjadi bahan
pendidikannya. Dia juga menjelaskan bahwa di dalam dunia ilmiah tidak ada
sesuatu pun yang dianggapnya pasti. Segala sesuatu dapat dipersoalkan dan pada
kenyataannya memang dipersoalkan juga.[6]
C. Perkembangan
Pemikiran Filsafat Zaman Post Moderen
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan
belas perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran
besar: rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan
wilayah-wilayah yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan
abad kedelapan belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh
banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat antara lain: positivisme,
marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neokantianisme, neotomisme, dan
fenomenologi. Berkaitan dengan filosofi penelitian Ilmu Sosial, aliran yang
tidak bisa dilewatkan adalah positivisme yang digagas oleh filsuf A. Comte
(1798-1857). Menurut Comte pemikiran manusia dapat dibagi kedalam tiga tahap,
yaitu:[7]
1.
Teologi
2.
Metafisis.
3.
Positif-ilmiah.
Bagi era manusia dewasa (moderen) ini pengetahuan hanya
mungkin dengan menerapkan metode-metode positif ilmiah, artinya setiap
pemikiran hanya benar secara ilmiah bilamana dapat diuji dan dibuktikan dengan
pengukuran-pengukuran yang jelas dan pasti sebagaimana berat, luas dan isi
suatu benda. Dengan demikian Comte menolak spekulasi “metafisik”, dan oleh
karena itu ilmu sosial yang digagas olehnya ketika itu dinamakan “Fisika
Sosial” sebelum dikenal sekarang sebagai “Sosiologi”. Bisa dipahami, karena
pada masa itu ilmu-ilmu alam (natural sciences)
sudah lebih mantap dan mapan, sehingga banyak pendekatan dan metode-metode
ilmu-ilmu alam yang diambil oleh ilmu-ilmu sosial (social sciences) yang berkembang sesudahnya.
Pada periode terkini (kontemporer) setelah aliran-aliran
sebagaimana disebut di atas munculah aliran-aliran filsafat, misalnya: Strukturalisme dan postmoderenisme.
Strukturalisme dengan tokoh-tokohnya misalnya Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M.
Faoucault. Tokoh-tokoh Postmoderenisme antara lain. J. Habermas, J. Derida.
Kini oleh para epistemolog (ataupun dari kalangan sosiologi pengetahuan) dalam
perkembangannya kemudian, struktur ilmu pengetahuan semakin lebih sistematik
dan lebih lengkap (dilengkapi dengan, teori, logika dan metode sain),
sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter L.Wallace dalam bukunya The Logic of Science in Sociology. Dari
struktur ilmu tersebut tidak lain hendak dikatakan bahwa kegiatan keilmuan ilmiah
itu tidak lain adalah penelitian (search dan
research).
Pada periode ini juga muuncul aliran pragmatisme. Pragmatisme
berasal dari kata pragma yang artinya guna. Maka pragmatisme adalah suatu
aliran yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar
dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Tokohnya William James
(1842-1910) lahir di New York, memperkenalkan ide-idenya tentang pragmatisme
kepada dunia. Ia ahli dalam bidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi dan
filsafat.
Selain itu juga muncullah filsafat analitis. Tokoh aliran ini adalah Ludwig Josef Johan Wittgenstein (1889-1951). Ilmu yang ditekuninya adalah ilmu penerbangan yang memerlukan studi dasar matematika yang mendalam. Filsafat analitis ini berpengaruh di Inggris dan Amerika sejak tahun 1950. Filsafat ini membahas mengenai analisis bahasa dan anlisis konsep-konsep.[8]
Selain itu juga muncullah filsafat analitis. Tokoh aliran ini adalah Ludwig Josef Johan Wittgenstein (1889-1951). Ilmu yang ditekuninya adalah ilmu penerbangan yang memerlukan studi dasar matematika yang mendalam. Filsafat analitis ini berpengaruh di Inggris dan Amerika sejak tahun 1950. Filsafat ini membahas mengenai analisis bahasa dan anlisis konsep-konsep.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perkembangan
pemikiran filsafat terus mengalami perkembangan pemikirannya semenjak zaman
yunani kuno yang merubah pemikiran orang yunani yang semula mitosentris menjadi
logosentris menggunakan rasio untuk meneliti sekaligus mempertanyakan dirinya.
Dilanjutkan pada
zaman moderen yang ditemukan kemajuan ilmu-ilmu dan teknologi yang terus
dikembangkan pada zaman post moderen hingga sekarang Masa moderen
menjadi identitas di dalam filsafat Moderen.
Pada masa ini rasionalisme semakin dipikirkan Tidak gampang
untuk menentukan mulai dari kapan Abad
Pertengahan berhenti. Namun, dapat dikatakan bahwa Abad Pertengahan
itu berakhir pada abad 15 dan 16 atau pada akhir masa renaisans
masa setelah abad pertengahan adalah masa moderen.
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas merupakan zaman post moderen yang merupakan
perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran besar
rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan wilayah-wilayah
yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan abad kedelapan
belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak bermunculan
aliran-aliran baru dalam filsafat antara lain: positivisme, marxisme,
eksistensialisme, pragmatisme, neokantianisme, neo-tomisme dan fenomenologi.
B.
Saran
Tiada gading yang tak retak karena sesungguhnya kesempurnaan itu hanya
milik allah semata dan segala kekurangan itu semuanya berasal dari kami semata.
Saran dan masukan sangat kami butuhkan untuk lebih maju kedepannya.
Daftar
Pustaka
Hadi, Muhdafir. Epistimologi dalam
Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kansius,1997.
Muhdhafar, Ali. Filsafat Ilmu.Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 1996.
Muhdhafir, Noeng. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Rake Sarasin,
2001.
0 komentar:
Posting Komentar