Pemikiran
Auguste Comte
A. Riwayat Hidup Auguste Comte
1.
Biografi Aguste
Comte
Nama lengkap Aguste Comte adalah Isidore Marie Auguste Francois Xavier
Comte, dia dilahirkan di Montpellier,
Prancis Selatan 17 januari 1798. Keluarganya beragam Katholik yang berdara
bangsawan. Meskipun demikian, Aguste Comte tidak terlalu peduli dengan
kebangsawanannya. Dia memulai meniti pendidikan di Lycee Joffre dan
Montpellier, setelah ia menyelesaikan pendidikan itu, di melanjutkan
pendidikannya di Ecole Polytechnigue di paris Selatan selama 2 tahun antara
1814-1816.
2.
Perjalanan
Aguste Comte
Secara intelektual kehidupan Comte dapat diklafikasikan menjadi 3 tahap:
·
Pertama, ketika
ia berkerja dan bersahabat dengan Saint-Simon, pada tahap ini pemikirannya
tentang sistem politik baru, dimana fungsi-fungsi pendeta di abad pertengahan
diganti ilmuan dan fungsi tentara dialihkan kepada industri.
·
Kedua, ketika
ia telah menjalani proses pemulihan mental yang disebabkan kehidupan pribadinya
yang tidak stabil. Pada tahap inilah, Comte melahirkan karya besarnya tentang
filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-1842. Kehidupan Comte
berpengaruhluas justru terletak pada separuh awal kehidupannya
·
Ketiga,
kehidupan intelektual Comte berlangsung ketika ia menulis A syistem of
Positive Polity antara 1851-1854.
B.
Pengertian
Positivisme
Positivisme diperkenalkan oleh Aguste Comte (1798-1857) yang tertuang
dalam karya utama Aguste Comte adalah Cours de Philosophic Positive.
Positivisme berasal dari kata
"positif". Kata "positif" di sini sama artinya dengan
faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme,
pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Sedangkan menurut istilah
positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains.
Atau jaga bisa diartikan sebagai suatu aliran filsafat yang
menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya
spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Untuk memahami fisafat positivisme Auguste Comte dalam
pandangan umum dan khususnya dalam pengertian pengembangan, Perlu sekiranya
memahami lebih dulu apa yang dimaksud dengan
“positif”menurutAuguste Comte:
1. Sebagai lawan atau
kebalikan atas sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian “posiitif” pertama
diartikan sebagai sesuatu yang nyata.
2. Sebagai lawan atau kebalikan atas sesuatu yang tidak bermafaat, maka
pengertian “positif” diartikan sebagai pensidatan sesuatu yang bermanfaat.
3. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, makapengertian
“positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti.
C.
Perspektif Positivistik tentang Masyarakat
Meskipun Comte yang memberikan
istilah "positivisme", gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan
berasal dari dia. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari
alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk
menemukan hukum-hukumnya sudah tersebar luas lingkungan intelektual pada masa
Comte. Akan tetapi, sementara kebanyakan kelompok positivis berasal dari
kalangan orang-orang yang progresif, yang bertekad mencampakkan tradisi-tradisi
irasional dan memperbaharui masyarakat menurut hukum alam sehingga menjadi
lebih rasional, Comte percaya bahwa penemuan hukumhukum alam itu akan
membukakan batas-batas yang pasti yang (inherent) dalam kenyataan
sosial, dan jika melampaui batas-batas itu, usaha pembaharuan akan merusakkan
dan menghasilkan yang sebaliknya. Skeptisisme Comte berhubungan dengan
usaha-usaha pembaharuan besarbesaran serta penghargaan terhadap
tonggak-tonggak keteraturan sosial tradisional menyebabkan dia dimasukkan ke
dalam kategori orang konservatif.
Comte melihat masyarakat sebagai
suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada sekadar jumlah
bagian-bagian yang saling bergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini,
metode penelitian empiris ,harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat
merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Comte melihat perkembangan ilmu
tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan
intelektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari
bentuk-bentuk pemikiran teologis purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya
sampai terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang posifif. Bidang sosiologi (atau
fisika sosial) adalah paling akhir melewati tahap-tahap, ini, karena pokok
permasalahannya lebih kompleks daripada yang terdapat dalam ilmu fisika dan
biologi.
D. Hukum Tiga Tahap
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner
umat manusia dan masa primitif sampai peradaban Perancis abad kesembilan belas
yang sangat maju. Hukum ini, yang mungkin paling terkenal dan gagasan-gagasari
teoretis pokok Comte, tidak lagi
diterima sebagai suatu
penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas dan
umum sehiquga tidak dapat benar-benar tunduk pada pengujian empiris secara
teliti, yang menuntut Comte harus ada untuk membentuk hukum-hukum sosiologi.
Singkatnya, hukum itu menyatakan bahwa masyarakat (atau umat manusia)
berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara
berpikir yang dominan, yaitu teologis, metafisik, dan positif.
1. Tahap teologis merupakan
periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisis yang lebih
terperinci, Comte membaginya ke dalam periode fetisisme, politeisme, dan
monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat
primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan
hidupnya sendiri. Akhirnya, fetisisme ini diganti dengan kepercayaan
akan sejumlah hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam,
terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju,
kepercayaan akan banyak idea itu diganti dengan kepercayaan akan satu yang
tertinggi. Katolisme pada abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap
monoteisme.
2. Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan
positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukumhukum alam yang
asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Protestantisme dan Deisme
memperlihatkan penyesuaian yang berturutturut dari semangat teologis
kepada munculnya semangat metafisik yang mantap. Satu manifestasi yang serupa
dan semangat ini dinyatakan dalam Declaration of Independence: "Kita
menganggap kebenaran ini jelas dari dirinya sendiri ...... Gagasan bahwa ada kebenaran
tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut
pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.
3. Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan .data empiris sebagai sumber
pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak
mutlak; semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus
terhadap data baru atas dasar pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas.
Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh
data empiris. Analisis rasional mengenai data empiris akhirnya memungkinkan
manusia untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai
uniformitas empiris lebih daripada kemutlakan metafisik. (Doyle Paul Jhonson,
Robert MZ. Lawang, 86)
E.
Prinsif-prinsif
Keteraturan Sosial
Sejalan dengan perspektif organiknya, Comte sangat menerima saling
ketergantungan yang harmonis antara "bagian-bagian" masyarakat, clan
sumbangannya terhadap bertahannya stabilitas sosial. Meskipun keteraturan
sosial dapat terancam oleh anarki sosial, moral, dan intelektual, selalu akan
diperkuat kembali. Sesungguhnya periode sejarah yang lama sudah ditandai oleh stabilitas yang berarti, dan
sebagian tugas Comte, yang dia berikan sendiri adalah menemukan
sumber-sumber stabilitas ini.
Analisis
Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha
untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode
positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan
positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek.
F.
Tiga Zaman
Perkembangan Pemikiran Manusia
Titik tolak ajaran Comte yang terkenal adalah tanggapannya atas
perkembangan pengetahuan manusia, baik perseorangan maupun umat manusia secara
keseluruhan, melalui tiga zaman atau tiga stadia. Menurutnya, perkembangan
menurul tiga zaman ini merupakan hukum yang tetap. Ketiga zaman itu ialah zaman
teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau positif.
1.
Zaman Teologi
Pada zaman teologis, manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam
terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala
tersebut. Zaman teologis dapat dibagi lagi menjadi tiga periode berikut :
a. Animisme. Tahap animisme merupakan tahapan paling primitif karena
benda-benda dianggap mempunyai jiwa
b. Politeisme. Tahap politeisme merupakan perkembangan dari tahap
pertama, pada tahap ini, manusia percaya pada dewa yang masingmasing menguasai
suatu lapangan tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan
sebagainya
c. Monoteisme. Tahap monoteisme ini lebih tinggi daripada dua tahap
sebelumnya, karena pada tahap ini, manusia hanya memandang satu Tuhan sebagai
penguasa.
2. Zaman Metafisis
Pada zaman ini,
kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep dan prinsip yang abstrak, seperti
"kodrat" dan "penyedap". Metafisika pada zaman ini
dijunjung tinggi.
3.
Zaman Positif
Zaman ini dianggap Comte sebagai zaman tertinggi dari kehidupan manusia.
Alasannya ialah pada zaman ini tidak lagi ada usaha manusia untuk mencari
penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia kini telah
membatasi diri dalam penyelidikannya pada faktafakta yang disajikan kepadanya.,
Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusla berusaha
menetapkan relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara
fakta-fakta. Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti
yang sebenarnya.
Hukum tiga zaman tidak saja berlaku pada manusia sebagai allak manusia
berada pada zaman teologis, pada masa remaja, ia masuk-zaman metafisis dan pada
masa dewasa, ia memasuki zaman positif. Demikian pula, ilmu pengetahuan
berkembang mengikutiiiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak
kematangannya pada zaman positif.
G.
Susunsn Ilmu
Pengetahuan
Ilmu pengetahuan tidak semuanya mencapai kematangan yang sama pada saat
yang bersamaan. Oleh karena itu, memungkinkan untuk melukiskan perkembangan
ilmu pengetahuan berdasarkan rumitnya bahan yang dipelajari di dalamnya. Urutan perkembangan ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa sehingga yang
satu selalu mengandalkan ilmu pengetahuan yang lain mendahuluinya. Dengan
demikian, Comte membedakan enam ilmu pengetahuan pokok, yaitu: ilmu pasti,
astronomi, fisika, kimia, biologi, dan puncaknya pada sosiologi. Semua ilmu
pengetahuan, menurut Comte, dapat dijabarkan kepada salah satu dari enam ilmu
tersebut.
Ilmu pasti merupakan ilmu yang
paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya. Selain
relasi-relasi matematis, astronomi membicarakan juga tentang gerak. Dalam
fisika ditambah lagi dengan penelitian tentang materi. Selanjutnya, kimia
membahas proses perubahan yang berlangsung dalam materi yang telah dibicarakan
dan dikupas dalam fisika. Perkembangan selanjutnya menjelma dalam biologi Yang
kini membicarakan kehidupan. Akhirnya, sampailah pada puncak ilmu pengetahuan
yang diberi nama sosiologi yang mengambil objek' penyelidikannya gejala-gejala
kemasyarakatan yang terdapat pada makhluk-makhluk hidup yang merupakan objek
biologi, ilmu sebelum sosiologi. Karena istilah sosiologi merupakan puncak dan
penghabisan untuk usaha ilmiah seluruhnya, sosiologi baru dapat berkembang
sesudah ilmu-ilmu lain mencapai kematangan. Oleh karena itu, Comte beranggapan
bahwa selaku `pencipta' sosiologi, ia menghantarkan ilmu pengetahuan masuk ke
tahap positifnya. Dengan demikian, merancang sosiologi, Comte mempunyai maksud
praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum.- hukum yang menguasai
masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna. (Juhaya S.
Pradja, 2000 : 92)
Dengan demikian, positivisme adalah
aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu. yang di luar
fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu
pengetahuan.
Menurut Auguste Comte (1798 - 1857
M), indra itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus
dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indra
akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan. ukuran-ukuran
yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur denglan
meteran, berat dengan kiloan, clan sebagainya. Kita tidak cukup
mengatakan api panas, matahari panas; kopi panas, ketika panas. Kita juga tidak
cukup mengatakan palms sekali, panas, tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang
teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.
Positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. la
hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia
menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan
perlunya eksperimen clan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu
sama dengan empirisme plus rasionalisme.
PEMIKIRAN
KARL RAIMUND POPPER
Riwayat Hidup Karl Raimund Popper.
Karl
Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 28 Juli tahun 1902. Ayahnya Dr. Simon
Sigmund Carl Popper seorang pengacara yang sangat minat pada Filsafat.
Perpustakaannya luas mencakup kumpulan-kumpulan karya filsuf besar dan
karya-karya mengenai problem sosial. Agaknya Karl Popper mewarisi minatnya pada
filsafat dan problem sosial dari ayahnya. Orang tuanya keturunan Yahudi, tetapi
tidak lama setelah menikah mereka berdua dibabtis dalam gereja Protestan.
Ayahnya adalah sarjana hukum dan pengacara yang mencintai buku, dan musik. Pada
umur 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya “realgymnasium” dengan
alasan bahwa pelajaran-pelajarannya sangat membosankan. Lalu ia menjadi
pendengar bebas pada
Universitas
Wina dan baru tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa.
Suatu
dalil bahwa tindakan manusia didorong oleh perasan semacam inferioritas.
Misalnya kasus seorang laki-laki tidak mau menolong seorang anak yang terseret
oleh arus, karena takut dan karena ia memutuskan tidak menolong. Keputusan
tidak menolong ini dibenarkan oleh Adler, karena laki-laki tersebut telah
mengatasi perasaan inferioritas mendemontrasikan bahwa ia mempunyai kemauan
keras untuk tetap berdiri di tepi sungai. Ketika umur 17 tahun, selama beberapa
tahun ia menganut komunisme, tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan aliran
politik ini, karena ia yakin bahwa penganutnya menerima begitu saja suatu
dokmatisme yang tidak kritis dan ia menjadi anti Marxis untuk seumur hidup.
Perjumpaannya dengan Marxisme diakui olehnya sebagai satu diantara peristiwa
penting dalam perkembangan intelektualnya. Dalam outobiografinya bercerita
bahwa ia mengikuti aneka macam kuliah, tentang sejarah, kesusasteraan,
psikologi, filsafat bahkan tentang ilmu kedokteran.
Pada
tahun yang sama tahun 1919, Popper mendengar apa yang dikerjakan oleh Einstein
dan menurut pengakuannya merupakan suatu pengaruh dominan atas pemikirannya,
bahkan dalam jangka panjang pengaruhnya sangat berarti. Dalam suatu waktu
Popper mendengarkan ceramah Einstein di Wina. Ia terpukau oleh sikap Einsten
terhadap teorinya yang tidak dapat dipertahankan kalau gagal dalam tes
tertentu. Ia mencari eksperimen-eksperimen yang kesesuaiannya dengan ramalan-ramalannya
belum berarti meneguhkan teorinya.
Sedangkan
ketidaksesuaian antara teori dengan eksperimen akan menentukan apakah teorinya
bisa dipertahankan atau tidak. Sikap ini menurutnya berlainan dengan sikap
Marxis yang dogmatis dan selalu mencari pembenaran-pembenaran (verifikasi)
terhadap teori kesayangannya. Sampai pada kesimpulan bahwa sikap ilmiah adalah
sikap kritis, yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang
serius, pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak
pernah dapat meneguhkannya.
Pada
tahun 1928 ia meraih gelar Doktor Filsafat dengan suatu disertasi tentang Zur
Methodenfrage der Denkp Psychologei (Masalah Metode dalam Psikologi
Pemikiran), suatu karangan yang tidak diterbitkan. Pada tahun berikutnya Popper
memperoleh gelar Diploma pada bidang Matematika dan ilmu pengetahuan Alam.
Dalam catatan sejarah, Popper tidak pernah menjadi anggota Lingkaran Wina,
tetapi ia mengenal anggota Lingkaran Wina yang bekerja di universitas dan pada
beberapa di antara mereka, ia mempunyai hubungan khusus dengan anggota
Lingkaran Wina di antaranya Viktor Kraft, Herert Feigl. Dalam usaha studinya,
Popper belajar banyak dari Karl Buhler, Profesor Psychologi di Universitas Wina
yang paling penting dalam perkembangannya di masa mendatang ialah teori Buhler
tentang tiga tingkatan bahasa yaitu fungsi ekspresi, fungsi stimulasi dan
fungsi deskriptif. Menurut Buhler fungsi pertama selalu hadir pada bahasa
manusia maupun binatang, sementara fungsi yang ketiga khas pada bahasa manusia.
Popper sendiri kelak menambahkan fungsi yang keempat yaitu fungsi argumentatif,
yang dianggap penting karena merupakan basis pemikiran krisis. Pada tahun kedua
di Institut Pedagogis, Popper berjumpa dengan Prof Heinrich Gomperz dan banyak
dimanfaatkan untuk berdiskusi dengan problem psikologi pengetahuan atau
psikologi penemuan. Hasil pertemuannya dengan Prof. Heinrich melahirkan
keyakinan Popper bahwa data indrawi, data atau kesan sederhana itu semua
khayalan yang berdasarkan usaha keliru yang mengalihkan Atomisme dari fisika ke
psikologi.
Sesudah
perang dunia II selesai, Popper diangkat sebagai dosen di London School of
Economics, sebuah institut di bawah naungan Universitas London. Di sini
ia mempersiapkan suatu buku yang menguraikan perkembangan pemikirannya sejak
buku The Logic of Scientific Discovery, di antara buku yang
diterbitkan antara lain Realism and Aim of Science: Quantum Theory
and the Schism in Physics The Open Sociaty and Its Enemies, dan The
Poverty of Historicism yang memberi analisis dan kritik Popper atas
pemikiran tiga tokoh yang menurut dia termasuk historisisme, yaitu Plato,
Hegel, dan Marx.
Pada
tahun 1977 Popper banyak memberikan ceramah dan kuliah tamu di Eropa, Amerika,
Jepang dan Australia. Ia banyak mengenali secara pribadi ahli-ahli kimia modern
yang besar seperti, Albert Einstein, Neil Bohr, Edwin Schrodinger. Popper
meninggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di Croydon, London Selatan,
dalam usia 92 tahun akibat komplikasi penyakit kanker. Menjelang akhir hayatnya
beberapa karyanya diterbitkan dengan bantuan orang lain. Buku yang paling
penting dari periode terakhir ini adalah A World of Propensities (1999)
di mana ia menguraikan pemikiran definitifnya tentang probabilitas dalam logika
dan Ilmu Pengetahuan.
B.
Pokok Pemikiran
Karl Raimund Popper
Menurut
Popper, metode induktif meninggalkan banyak masalah dalam ilmu pengetahuan,
masalah itu apakah menyangkut proses cara memperoleh pengetahuan, ukuran
validitas kebenaran, hasil pengetahuannya bersifat subyektif dan lain
sebagainya.
Pertama, dalam proses penyelidikan misalnya, kaum
induktivis menggunakan observasi dan pengalaman sebagai dasar satu-satunya
dalam membuat pernyataan tunggal (singular statemen) dan kemudian hasil
pengamatan dan pengalaman pribadi yang belum teruji dapat ditarik sebuah
kesimpulan berupa teori, ironinya kebenarannya bersiftat general (berlaku
secara umum).Teori-teori ilmiah ditarik dengan cara ketat dari fakta-fakta
pengalaman yang diperoleh lewat observasi dan eksperimen. Ilmu didasarkan atas
apa yang dapat dilihat, didengar, diraba, dan sebagainya. Pengetahuan akan
diterima bila berasal dari sense, expretion, (sensasional impresion,
perseptian visual or auditory. Prinsip di atas dipertanyakan oleh
Popper terutama volume eksperimen, berapa banyak observasi yang diperlukan
untuk memenuhi? Haruslah sebatang logam tertentu dipanasi 10 kali, 100 kali
atau seberapa banyak kali sebelum kita dapat menyimpulkan logam selalu memuai
bila dipanaskan.
Di
sini sebenarnya tingkat kesulitan yang dihadapi oleh kelompok Induktifis, bila
mereka mensyaratkan observasi dan eksperimen jadi acuan ilmu pengetahuan.
Sanggahnya, penarikan kesimpulan ini sangat berbahaya, sebagaimana Karl Maxs
telah membuat teori sejarah dengan ramalan-ramalan/prediksi yang salah tentang
masyarakat kelas. Juga contoh lain mereka punya anggapan bahwa semua angsa
berwarna putih tanpa memperdulikan angsa yang berwarna lain, Kertas Litmus
berubah menjadi merah bila dicelupkan ke dalam cairan tanpa merinci cairan apa
yang dapat merubah.
Kedua , tugas bagi ilmu
pengetahuan adalah merumuskan hukum-hukum yang bersifat umum dan mutlak. Jika
mencari contoh yang sederhana: pernyataan bahwa logam yang dipanaskan akan
memuai “merupakan hukum “bagimana hukum ilmiah serupa itu sampai terbentuk,
pasti jawabanya bahwa hukum itu dihasilkan oleh suatu proses induktif. Artinya
dari sejumlah kasus yang cukup besar (bermacam-macam logam yang memuai setelah
dipanaskan), disimpulkan bahwa dalam keadaan yang tertentu gejala yang sama dan
dimana-mana akan terjadi. Pendek kata metode ini dijalankan dengan observasi
dan eksperimen serta berdasarkan fakta-fakta. Teori ini mendapatkan catatan
dari David Home. Ia menyatakan bahwa dari sejumlah fakta berapapun besar
jumlahnya, secara logis tidak dapat disimpulkan suatu kebenaran umum. Tidak ada
keharusan logis bahwa fakta-fakta yang sampai sekarang selalu berlangsung
dengan cara yang sama. Dengan demikian bahwa induksi tidak dapat dibenarkan
berdasarkan logika.
Ketiga, Induktifis
mengunakan ilmu bantu lain yaitu Logika dan Probabilitas (kemungkinan) selain
dasar observasi dan eksperiman untuk mendapatkan justifikasi. Bantuan logika
ini dilakukan untuk memperkokoh argumen logis dari cara penarikan kesimpulan
dari pernyataan-pernyataan yang mereka buat. Misalnya argument yang logis yang
valid ditandai dengan fakta bahwa apabila premis argumen itu benar, maka
kesimpulannya benar, tetapi ternyata tidak demikian. Argumen-argumen induktif
tidak merupakan argumen-argumen yang valid secara logis, masalahnya bukanlah
apabila premis suatu penyimpulan induktif benar, maka kesimpulannya mesti
benar. Bisa saja penyimpulan terjadi penyimpulan argumen induksi salah,
sedangkan premisnya benar dan ini terjadi tanpa harus merupakan kontradiksi.
Misalnya tentang pernyataan semua gagak adalah hitam. karena sampai hari ini
saya telah melakukan observasi terhadap sejumlah besar burung gagak pada
variasi yang luas dan telah menyaksikan mereka semua hitam dan berdasarkan
fakta. Ini adalah satu penyimpulan induktif yang valid dan sempurna.
Menurut
Popper secara premis itu benar, akan tetapi secara logis itu salah, sebab tidak
ada jaminan logis bahwa gagak yang saya observasi kemudian tidak ada yang
berwana coklat atau merah jambu. Kalau hal ini terbukti mana kesimpulan; semua
gagak hitam itu salah.
Jadi
penyimpulan induktif awal yang jelas valid karena memenuhi kriteria yang telah
dispesifikasi oleh prinsip induksi, dapat membawa ke satu kesimpulan yang
salah, sekalipun fakta menunjukkan bahwa semua premisnya benar. Prinsip
Probabilitas dipinjam oleh induktif untuk mencari alternatif jawaban jika
kebenaran atas bukti tunggal dipersalahkan. Mereka menyatakan bahwa pengetahuan
bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel
benar, semakin besar jumlah observasi yang membentuk dasar suatu induksi dan
semakin variasi kondisi dimana observasi dilakukan, maka semakin besar pula
probalilitas hasil generalisasi itu benar. Mungkin dapat diterima secara
intuitif bahwa waktu dukungan observasi terhadap hukum universal meningkat,
maka probabilitas kebenaran hukum itupun meningkat, namun intuisi ini tidak
akan dapat diuji.
Berbeda
dengan cara induktif, falsifikasi menggunakan cara kerja ilmu pengetahuan tidak
hanya menggunakan observasi dan pengalaman sebagai dasar di dalam menentukan
hukum-hukum ilmu pengetahuan (generalisasi), akan tetapi masih ada prasyarat
lain yaitu uji kesalahan (Falsifiable) melalui uji kesahihan (testable).
Menurutnya Falsifikasi adalah untuk mematahkan sesuatu keadaan yang salah,
tidak benar. Suatu teori dapat dikatakan salah, jika meminta bantuan pada hasil
observasi dan eksperimen tanpa percobaan dan kesalahan (Trial and Error)
melalui dugaan dan penolakan hanya teori yang paling cocok dapat dipertahankan
untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh
Neopositivisme, Popper membuat sistem kerja ilmu dengan teori Falsifikasi.
Pertama, Suatu pengetahuan empirik/ilmiah dinyatakan
benar, bila sistem tersebut dapat diuji (Falsifiabilitas) dan bukan
veriabilitas. Contohnya Esok akan hujan, karena secara empiris dapat disangkal.
Popper mengusulkan tentang Falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi
didasarkan pada suatu asimetri antara verifialitas dan falsifiabilitas, sebab
pernyataan universal tidak dapat berasal dari pernyataan tunggal, sebaliknya
dapat dikontradiksikan oleh penyataan singular.
Kedua, Secara Metodologi Falsifikasi harus meragukan
suatu pengetahuan yang mungkin ada kesalahan dalam mengamati misalnya, bukan
angsa yang diamati, melainkan seekor burung. Maka untuk refutasi (penyangkalan)
secara sistematis, maka teori harus dirumuskan secara jelas sehingga membuka
kemungkinan untuk penyangkalan yang mungkin diajukan. Sebaliknya suatu teori
tidak ditinggal dengan gampang, sebab ini mengidentikkan sikap yang tidak
kritis terhadap tes, dan dengan begitu berarti teori sendiri tidak diuji
sekeras seperti seharusnya.
Ketiga, suatu hepotesis atau sistem hipotesis mau
diakui memiliki status sebagai hukum atau teori ilmiah. Apabila ia akan menjadi
bagian dari ilmu, maka suatu hepotesa harus falsifabel, sebelum melangkah lebih
jauh. Contoh soal: semua zat memuai bila dipanasi. Pernyataan itu falsifiabel,
ia akan menjadi keliru bila ada keterangan observasi menunjukkan fakta ada
suatu zat x tidak memuai ketika dipanasi. Jadi suatu hipotesa adalah
falsifiabel apabila terdapat suatu keterangan observasi atau suatu perangkat
keterangan observasi yang tidak konsisten dengannya, yakni apabila ia
dinyatakan sebagai benar, maka ia akan mengfalsifikasi isi hipotesa itu.
Keempat, Teori harus dinyatakan dengan jelas dan cermat
dan jelas. Apabila suatu teori diajukan sedemikian samar sehingga tidak jelas
apa yang sebenarnya yang diinginkan, maka bilamana diuji dengan observasi atau
eksperimen lain, ia dapat diinterpretasikan demikian rupa sehingga selalu
konsisten dengan hasil pengujian. Dengan cara demikian, ia dapat dibela dalam
menghadapi falsifikasi. Situasi yang serupa terdapat hubungan dengan
ketelitian, makin teliti suatu teori dirumuskan, semakin ia menjadi
falsifiabel. Apabila kita menerima bahwa makin falsifiabel suatu teori, makin
baik. Contoh misalnya planet-planet bergerak dalam bentuk ellip mengitari
matahari adalah lebih teliti dari pada rumusan “planet-planet bergerak dalam
bentuk lingkaran tali bulat mengitari matahari”.
Kelima, Dugaan-dugaan spekulasi yang berani.
Rahasia-rahasia ilmu akan berkembang maju dengan bantuan kreatifitas dan
mendasar. Semakin besar jumlah teori pendugaan dikonfrontasikan dengan
realitas, semakin besar jumlah kesempatan kemajuan yang penting dalam ilmu.
Popper memandang ilmu sebagai suatu perangkai hipotesa yang dikemukakan secara
coba-coba dengan tujuan melukiskan secara akurat. Suatu tuntutan bahwa teori
harus tinggi falsifiabilitasnya, teori harus dinyatakan dengan jelas dan
cermat. Apabila suatu teori diajukan sedemikian samar hingga tidak jelas apa
sebenarnya yang ingin dinyatakan, maka bila mana diuji dengan observasi atau
eksperimen lain, ia dapat diinterpretasikan demikian rupa hingga konsisten
dengan hasil pengujian.
Selain
prasyarat kriteria Falsifikasi Popper juga menggagas suatu metode praktis untuk
memecahkan masalah antara lain: Pertama, teori Varian Trial and
Error. Yaitu suatu metode percobaan dan pembuangan kesalahan. Metode ini
kata Popper dipakai dalam perkembangan pikiran manusia dan terutama
perkembangan filsafat, bisa digambarkan sebagai varian istimewa. Cara kerjanya
teori diajukan secara tentatif dan dicobakan. Bila hasil suatu tes menunjukkan
bahwa teori itu salah maka teori itu dibuang. Metode percobaan dan pembuangan
kesalahan pada hakekatnya adalah metoda penyingkiran. Keberhasilan terutama
tergantung pada tiga syarat: yaitu bahwa banyak teori yang diajukan bervariasi
serta dilakukan tes yang serius. Adapun skema metode problem solving sebagi
berikut :
P1 - TS - EE
- P2
|
Uraiannya
sebagai berikut:
P1 : Problem awal
TS : Solusi tentatif, teori yang dicoba
diajukan.
EE : Error elimination atau evaluasi
dengan tujuan menemukan dan membuang
kesalahan.
P2 : Situasi baru yang diakibatkan oleh
adanya evaluasi kritis atas solusi alternative dan tentatif terhadap problema
awal, sehingga timbul problem baru.
Skema
tersebut di atas menggambarkan suatu proses yang dasarnya bersifat umpan balik.
Jadi bersifat tidak siklis sebab P2 selalu lain dari pada P1. Bila gagal
memecahkan masalah, teori yang dicoba itu mengajukan sesuatu yang baru kepada
kita tentang dimana letak kesulitan dan bagaimana syarat-syarat yang harus
dipenuhi dan karenanya merupakan situasi problem. Proses yang digambarkan itu
juga bersifat dialektis, dalam arti Hegelian atau Marxian. Sebab metode problem
solving memandang kontradiksi sebagai sesuatu yang tak boleh diterima.
Menerima kontradiksi menurut Popper, menyebabkan kritik berhenti berfungsi dan
dengan begitu membawa kejatuhan ilmu.
Formula
metode problem solving seperti diuraikan di atas mengandung beberapa
unsur gagasan Popper yang terpenting dan oleh Popper metode ini sering
digunakan untuk memberikan keterangan di banyak bidang. Bahkan boleh dikatakan
teori tentang problem solving menjelujuri seluruh karya Popper, baik
karya dalam metodologis maupun karya dalam metafisis. Baik ketika aktif
berjibaku dengan kelompok lingkaran Wina maupun ketika berinteraksi dengan para
ilmuan di Amerika, Jepang, serta Australia. Hal ini sangat sesuai dengan sikap
kritis yang dikembangkan oleh Popper pada setiap ia berinteraksi dengan
karya-karya ilmu pengetahuan sebagai pertanggung jawaban sebagi ilmuan kritis
yang selalu ingin menguji dan diuji.
C.
Refleksi atas
Pemikiran Karl Raimund Popper.
Bila
memperhatikan cara kerja yang begitu teliti dan cermatnya Popper, serta sikap
keterbukaannya (open anded) terhadap dunia keilmuan, maka hal yang patut
kita tarik benang merahnya ialah bahwa ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak (close)
tidak kebal kritik (Truth Claim) tetapi bersifat relatif dan
partikularis dengan asumsi akan ada pemikiran baru yang akan merevisi atau
megklasifikasi setiap hasil pernyataan serta simpulan pemikiran ilmu pengetahuan.
Salah satu karakter ilmu pengetahuan adalah menerima pengetahuan lain sebagai
alat penguji atas kelemahan prosedur, metode atau hasil temuan manusia.
Istilah
Arkoun “on going`proces serta on going formation), termasuk juga produk
pemikiran Islam (teks klasik) tidak bebas kritik, tidak berlaku sepanjang zaman
dan terbuka untuk dikaji (condition sine qua non) bila memungkinkan
dilakukan dekontruksi terhadap pemikiran-pemikiran yang dianggap mapan. Bahwa
ilmu pengetahuan merupakan produk manusia dari hasil trial and error (percobaan
dan salah) yang mengikuti perkembangan peradaban manusia, maka tidak ada
istilah statis, jumud, stagnan atau pintu ijtihad telah tertutup. Pintu ijtihad
pemikiran terbuka lebar, senyampang para ilmuan bersemangat untuk melaksanakan
riset, maka akan terlahir dinamika baru yang bersifat konstruktif.
Tidak
ada otoritas dalam ilmu pengetahuan, sebagai konsekuensinya ilmu pengetahuan
terbebas dari kepentingan, terbebas dari nilai, ramalan, pretensi dari manapun
yang dapat merusak independensi imajinasi dan ekspresi para ilmuan atau lembaga
keilmuan. Apalagi upaya untuk mencampuradukkan antara Preudo Sience ke
dalam Science.
THOMAS KUHN
TENTANG THOMAS KUHN
Thomas Samuel Kuhn lahir di Cicinnati, Ohio pada tanggal 18
juli 1922. Kuhn lahir dari pasangan Samuel L, Kuhn seorang Insinyur industri
dan Minette Stroock Kuhn. Pada tahun 1946 Kuhn belajar sebagai fisikawan namun
baru menjadi pengajar setelah mendapatkan gelar Ph.D dari Harvard pada tahun
1949. Tiga tahunnya dalam kebebasan akademik sebagai Harvard Junior Fellow
sangat penting dalam perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah
(dan filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor
pada pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James
Conant.
Setelah meninggalkan Harvard dia belajar di Universtitas
Berkeley di California sebagai pengajar di departemen filosofi dan sains. Dia
menjadi profesor sejarah ilmu pada 1961. Di berkeley ini dia menuliskan dan
menerbitkan bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution
pada tahun 1962. Pada tahun 1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni
di Princeton pada tahun 1964-1979. Kemudian di MIT sebagai professor
filsafat. Tetap di sini hingga 1991. Jadi Thomas Kuhn tumbuh ketika ilmu telah
terindustrialisasikan dan telah ditransformasikan menjadi karir dari pada
pengabdian. Pada tahun 1994 dia mewawancarai Niels Bohr sang fisikawan sebelum
fisikawan itu meninggal dunia. Dia menikah dua kali dan memiliki tiga anak.
Kuhn mendapat banyak penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya dia
memegang posisi sebagai Lowel lecturer pada tahun 1951, Guggeheim
fellow dari 1954 hingga 1955, Dan masih banyak penghargaan lain. Pada tahun
1994, Kuhn didiagnostik dengan kanker dari Bronchial tubes. Dia
meninggal pada tahun 1996 di rumahnya di Cambridge Massachusetts.
Disini pemakalah tertarik dengan pengalaman tenteng Thomas
Kuhn yaitu pada suatu hari yang panas Thomas Samuel Kuhn sedang membaca
sebuah buku Aristoteles di kamarnya. Ada sesuatu hal yang tidak dimengertinya,
kenapa Aristoteles begitu brilian dalam ilmu lain tapi begitu bingung mengenai
gerak. Tiba-tiba dia mendapat sebuah Ide. Sebuah pemahaman baru mengenai
Science. “Saya menerawang keluar dari jendela kamarku. Tiba-tiba
kepingan-kepingan dalam kepalaku tiba-tiba membentuk dirinya dalam cara yang
baru, dan jatuh ditempatnya bersama-sama. Aku ternganga.”
B. PEMIKIRAN THOMAS KUHN
Sebutan paradigma pada masa sebelumnya belum terlalu nampak
mencolok namun setelah Thomas Khun memperkenalkannya melalui bukunya yang
berjudul “The Structure of Scientific Revolution”, University of Chicago Press,
Chicago,1962 menjadi begitu terkenal yang membicarakan tentang Filsafat Sains.
Khun menjelaskan bahwa Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai,
metode-metode,prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh
suatu masyarakat ilmiah pada suatu tertentu. Apabila suatu cara pandang
tertentu mendapat tantangan dari luar atau mengalami krisis, kepercayaan
terhadap cara pandang tersebut menjadi luntur, dan cara pandang yang demikian
menjadi kurang berwibawa, pada saat itulah menjadi pertanda telah terjadi
pergeseran paradigma..Fungsi
dari Paradigma menyediakan puzzle bagi para ilmuwan. Paradigma sekaligus
menyediakan alat untuk solusinya. Ilmu digambarkan oleh Thomas Kuhn sebagai
sebuah kegiatan menyelesaikan puzzle.Thomas Kuhn pertamakali menggunakannya
dalam sains, menunjukkan bahwa penelitian ilmiah tidak menuju ke kebenaran.
Penelitian ilmiah sangat tergantung pada dogma dan terikat pada teori yang
lama. Dalam pemikiran Kuhn paradigma secara tidak langsung mempengaruhi proses
ilmiah dalam empat cara dasar. Yaitu: Apa yang harus dipelajari dan diteliti,
Pertanyaan yang harus ditanyakan, Struktur sebenarnya dan sifat dasar dari
pertanyaan itu, Bagaimana hasil dari riset apapun diinterpretasikan.
Kuhn mempercayai bahwa ilmu pengetahuan memiliki periode
pengumpulan data dalam sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi setelah
sebuah paradigma menjadi dewasa. Paradigma mampu mengatasi anomali. Beberapa
anomali masih dapat diatasi dalam sebuah paradigma. Namun demikian ketika
banyak anomali-anomali yang mengganggu yang mengancam matrik(acuan) disiplin
maka paradigma tidak bisa dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak
bisa dipertahankan maka para ilmuan bisa berpindah ke paradigma baru. Ketika
berada pada periode pengumpulan data maka ilmu pengetahuan mengalami apa yang
dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam perkembangan ilmu biasa sebuah ilmu
pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika Paradigma mengalami pergeseran maka
itu disebut masa revolusioner. Ilmu dalam tahap biasa bisa dikatakan sebagai
pengumpulan yang semakin banyak dari solusi Puzzle. Sedangkan pada tahap
revolusi ilmiah terdapat revisi dari kepercayaan ilmiah atau praktek. Thomas
Kuhn menyebutkan kurang lebihnya dalam hal ini yang akan pemakalah jelaskan
secara rinci pada bagian berikutnya yaitu tentang ; pradigma sains yang normal,
anomali munculnya penemuan sains, revolusi sebagai perubahan pandangan atas
dunia, dan pemecahan revolusi.
C. PRADIGMA SAINS YANG NORMAL
Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) setelah menulis panjang lebar
tentang sejarah ilmu pengetahuan, dan mengembangkan beberapa gagasan penting
dalam filsafat ilmu pengetahuan. Ia paling terkenal karena bukunya The
Structure of Scientific Revolutions di mana ia menyampaikan gagasan bahwa
sains tidak "berkembang secara bertahap menuju kebenaran", tapi malah
mengalami revolusi periodik yang dia sebut pergeseran paradigma3.
Analisis Kuhn tentang sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan kepadanya bahwa
praktek ilmu datang dalam tiga Tahapan; yaitu:
1. Tahap Pra-ilmiah, yang mengalami
hanya sekali dimana tidak ada konsensus tentang teori apapun. penjelasan Fase
ini umumnya ditandai oleh beberapa teori yang tidak sesuai dan tidak lengkap.
Akhirnya salah satu dari teori ini "menang".
2. Normal Science. Seorang
ilmuwan yang bekerja dalam fase ini memiliki teori override (kumpulan teori)
yang oleh Kuhn disebut sebagai paradigma. Dalam ilmu pengetahuan normal, tugas
ilmuwan adalah rumit, memperluas, dan lebih membenarkan paradigma. Akhirnya,
bagaimanapun, masalah muncul, dan teori ini diubah dalam ad hoc(khusus) cara
untuk mengakomodasi bukti eksperimental yang mungkin tampaknya bertentangan
dengan teori asli. Akhirnya, teori penjelasan saat ini gagal untuk menjelaskan
beberapa fenomena atau kelompok daripadanya, dan seseorang mengusulkan
penggantian atau redefinisi dari teori ini.
3. Pergeseran Paradigma,
mengantar pada periode baru ilmu pengetahuan revolusioner. Kuhn percaya bahwa
semua bidang ilmiah melalui pergeseran paradigma ini berkali-kali, seperti
teori-teori baru menggantikan yang lama.
D. ANOMALI MUNCULNYA PENEMUAN SAINS
Penemuan baru bukanlah
peristiwa-peristiwa terasing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan
struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan
anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara telah melanggar pengharapan
yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia
berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali.
Dan ia hanya berakhir jika teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga
yang menyimpang itu menjadi yang diharapkan. Jadi, intinya bahwa dalam penemuan
baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru. Dari teori ini
Thomas Kuhn memberikan definisi yang berbeda antara discovery dan invention.
Yang dimaksud discovery adalah kebaruan faktual (penemuan), sedang invention
adalah kebaruan teori (penciptaan) yang mana keduanya saling terjalin erat satu
sama lain.
E. REVOLUSI SEBAGAI PERUBAHAN PANDANGAN ATAS DUNIA
Para sejarahwan menyatakan bahwa jika paradigm-paradigma
berubah, maka dunia sendiri berubah bersamanya, dengan hal tersebut para
ilmuwan mengunakan pedoman-pedoman yang baru dan menoleh ke tempat-tempat atau
lokasi yang baru. Yang lebih tinggi lagi atau lebih luas dan ini akan
menjadikan pandangannya yang asing. Perubahan-perubahan seperti ini ternyata
begitu berpengaruh. Disini yang perlu diperhatikan yaitu selama proses revolusi,
para ilmuwan melihat hal-hal baru dan berbeda dengan ketika menggunakan
instrument-instrument yang sangat dikenalnya untuk melihat tempat-tempat yang
pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan
ke daerah lain dimana objek-objek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam
penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan objek-objek yang tidak dikenal.
5
Kalaupun ada ilmuwan atau sebagian kecil ilmuwan yang tidak mau menerima
paradigma yang baru sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada
paradigma yang telah dibongkar yang sudah tidak mendapat legitimasi dari
masyarakat sains, maka aktifitas-aktifitas risetnya hanya merupakan taitologi
yang tidak nermanfaat sama sekali. Inilah yang dinamakan perlunya revolusi
ilmiah.
Menurut Kuhn, secara manusiawi maka seseorang tidak akan mau
untuk menjatuhkan teori yang dibangunnya sendiri, tetapi justru akan
mempertahankannya sehingga munculah silang pendapat dan polemik. karena teori
itu bukan dilemahkan oleh fakta-fakta.
Setelah suatu revolusi sains, banyak pengukuran dan
manipulasi yang lama menjadi tidak relevan dan diganti dengan yang lain. Akan
tetapi, perubahan-perubahan seperti ini tidak menyeluruh. Apapun yang kemudian
dapat dilihatnya, yang dipandang oleh ilmuwan setelah revolusi masih tetap
dunia itu juga. Selain itu, meskipun ia telah menggunakan mereka dengan cara
yang berbeda, banyak dari bahasanya dan sebagian besar dari instrumen tempat
penelitiannya masih sama dengan sebelumya. Akibatnya pada waktu revolusinya,
tanpa kecuali, mencakup banyak manipulasi yang sama, di selanggarakan dengan
instrumrn-instrumen yang sama , dan dilukiskan dengan peristilahan yang sama
dengan pendahulunya dari masa sebelum revolusi. Jika manipulasi-manipulasi yang
kekal ini telah berubah semuannya, maka perubahan ini harus terdapat pada
hubungan mereka dengan paradigma atau pada hasil-hasil mereka yang kongkret.
F. PEMECAHAN REVOLUSI
Bahwa kita sudah melihat beberapa alasan mengapa para
pendukung paradigm yang bersaingan mesti gagal dalam membuat bentuk yang
lengkap dan sesuai dengan sentral satu sama yang lain. Secara kolektif
alasan-alasan ini telah digambarkan sebagai tradisi-tradisi sains normal
sebelum dan pada saat revolusi yang tidak dapat di bandingkan. Pertama-tama
para pendukung paradigm akan berkompentisi akan sering tidak sepakat tentang
daftar masalah yang harus dipecahkan oleh setiap calon paradigm. Standarnya
mereka dalam paradigmanya tidak sama,
Sebagai contoh: misalnya mengenai perdebatan antara
pendukung Aristoteles dengan pendukung Galileo dalam melihat benda berayun.
Aristoteles membuat teori bahwa benda berayun itu hanyalah jatuh dengan
kesulitan karena tertahan oleh rantai. Sedang Galileo memandang benda yang
berayun itu dari sisi pendulumnya.
Bagaimanapun, yang terlibat lebih dari pada tidak bisa
dibanding-bandingkannya standar-standar. Karena paradigm-paradigma baru
dilahirkan dari yang lama, mereka biasanya menggunakan banyak kosakata dan
peralatan, baik konseptual maupun manipulative, yang sebelumnya telah digunakan
oleh paradigm-paradigma tradisional. akan tetapi mereka, jarang menggunakan
unsur-unsur pinjaman ini dengan cara yang benar-benar tradisional. Dalam
paradigm yang baru, istilah, konsep, dan eksperimen lama masuk kedalam
hubungan-hubungan baru satu sama lain.
Dalam pemilihan paradigma tidak ada
standar baku melainkan hanyalah menyesuaikan diri terhadap persetujuan
masyarakat. Adanya revolusi sains dengan berbagai teori argumentatifnya akan
membentuk masyarakat sains. Oleh karena itu, permasalahan paradigma / munculnya
paradigma baru sebagai akibat dari revolusi sains tiada lain hanyalah sebuah
konsensus atau kesepakatan yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan
akademisi atau masyarakat itu sendiri. Sejauh mana paradigma baru itu diterima
oleh mayoritas masyarakat sains, maka disitulah revolusi sains (revolusi ilmiah)
akan terwujud.
pemikiran Imre Lakatos
Biografi Imre Lakatos
Biografi Imre Lakatos
Imre Lakatos lahir di Hungaria pada tanggal 9 Nopember 1922. Menyelesaikan studi di University of Debrecen pada bidang Matematika,
Fisika, dan Filsafat. Karirnya diawali dengan jabatan Menteri Pendidikan, namum pemikirannya dipandang
menyebabkan kekacauan politik sehingga pada tahun 1950 dipenjara selama tiga
tahun, kemudian beliau menerjemah buku-buku matematika kedalam bahasa Hungaria.
Karena pada tahun 1956 terjadi revolusi , Imre Lakatos lari ke Wina yang
akhirnya sampai ke London. Di London inilah kemudian Imre Lakatos melanjutkan
studi di Cambridge University dan memperoleh gelar doktor setelah
mempertahankan desertasinya: Proofs and
Refutations: The Logic Of Matematical Discovery (karya yang membahas
pendekatan terhadap beberapa metodologi matematika sebagai logika penelitian)
Setelah diangkat menjadi pengajar pada
london school of economic, dia sering
terlibat diskusi dengan Popper, Feyerabend, dan Kuhn untuk membantu memantapkan
gagasannya tentang Metodology of
Scientific Research Programmes, sehingga pada tahun 1965, Lakatos
mengadakan suatu simposium yang mempertemukan gagasan Kuhn dan Popper. Pada
tahun 1968 Lakatos menerbitkan karyanya yang berjudul: Criticism and the methodology of scientific programmes, sebagai
evaluasi atas prinsip falsifikasi dan upaya perbaikan atas kelemahan dan
kekurangannya. Lakatos meninggal pada 2 Februari 1974 di London sebelum
menyelesaikan karyanya yang berjudul: “The
Changing Logic Of Scientific Discovery” sebagai pembaruan dari karya Popper
yag berjudul: “The Logic Of Scientific
Discovery”.
B.
Latar Belakang Pemikiran Imre Lakatos
Pada masa sebelum Lakatos, ilmu pengetahuan
merupakan akumulasi teori yang berdiri sendiri. Pemikiran yang memandang ilmu
pengetahuan hanyalah akumulasi teori yang berdiri sendiri mendapat bantahan
dari teori relativisme Thomas S. Kuhn dan pemikiran Imre Lakatos. Menurut Kuhn,
ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kukuh dalam sebuah paradigma.
Paradigma menetapkan kriteria untuk memilih masalah yang dapat diasumsikan
mempunyai solusi. Dengan demikian, paradigma menjadi sumber keterpaduan bagi
tradisi penelitian yang normal.
Sedangkan menurut Lakatos, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang
kukuh dalam sebuah program riset.
Berbeda dengan Kuhn, yang memberikan kemungkinan
terjadinya revolusi sebagai sesuatu yang luar biasa dalam perkembangan ilmu
pengetahuan, Imre Lakatos menepiskan sama sekali terjadinya revolusi dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Lakatos, perkembangan ilmu pengetahuan
dapat terjadi melalui kontinuitas. Menurut lakatos, bukan teori tunggal yang
harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah, melainkan rangkaian
teori-teori. Rangkaian teori-teori itu, antara satu sama lain dihubungkan oleh
suatu kontinuitas yang menyatukan teori-teori tersebut menjadi program-program riset (Research Programme). Kontinuitas tersebut memainkan peranan penting
dalam sejarah ilmu. Menurut lakatos, masalah-masalah pokok yang berhubungan
dengan logika penemuan tidak bisa dibahas secara memuaskan kecuali dalam
kerangka metodologi program-program riset
Keberbedaan Imre Lakatos dengan Popper dan Kuhn bukan berarti ia
tidak mau mengapresiasi sama sekali terhadap dua pemikiran ini. Menurut
pemikiran Popper, metode falsifikasi dapat digambarkan sederhana saja semisal
melalui observasi terhadap angsa-angsa putih, betapapun besar jumlahnya, orang
tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi
sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angksa hitam untuk menyangkal
pendapat tadi. Jadi, dengan pembuktian seperti itulah sebuah hukum ilmiah
berlaku: bahwa bukan apakah suatu hukum ilmiah dapat dibenarkan melainkan dapat
dibuktikan salah.
Berdasarkan beberapa argumen tersebut, maka tak
heran apabila beberapa ilmuwan dan penulis justru mengategorikan Lakatos
sebagai Popperian dalam upayanya memperbaiki teori-teori pemikiran Popper
dengan mengambil hasil-hasil pemikiran Kuhn. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
model Lakatos merupakan pengembangan pemikiran Kuhn tentang paradigma dan
perluasan dari teori falsifikasi Popper. Dalam hal pengembangan dari pemikiran
Kuhn adalah bahwa Lakatos memperhitungkan dan menekankan sejarah pentingnya
penyusunan beberapa penelitian alternatif pada waktu yang sama dan masalah yang
sama.
Sedangkan upaya perluasan Lakatos terhadap pemikiran falsifikasi Popper tampak
ketika dia menyatakan bahwa tugas utama tidak dijadikan teori sendiri-sendiri,
namun menjadi program, yang masing-masing meliputi teori-teori berganda. Teori
berganda meliputi inti (core) yang
tersusun dari pendapat atau prinsip dasar, dan ikat pinggang (belt) yang terdiri dari pendapat atau
prinsip jadian atau hipotesis pembantu.
C.
Metodologi Program Riset
Dalam Program Riset ini terdapat aturan-aturan
metodologi yang disebut “Heuristik”, yaitu kerangka kerja konseptual
sebagai kosekuensi dari bahasa. Heuristik adalah suatu keharusan untuk
melakukan penemuan-penemuan lewat penalaran induktif dan percobaan-percobaan
sekaligus menghadirkan kesalahan dalam memecahkan masalah. Menurut Imre Lakatos
terdapat tiga elemen yang masing mempunyai fungsi yang berbeda dan harus
diketahui dalam kaitanya dengan Program Riset, yaitu:
1. Inti Pokok (Hard-core)
Dalam sebuah penelitian, hardcore inilah yang berfungsi sebagai asumsi dasar yang menjadi
ciri dari program riset ilmiah yang melandasinya, yang tidak dapat ditolak atau
dimodifikasi. Inti pokok ini dilindungi dari ancaman falsifikasi. Dalam aturan
metodologis inti pokok disebut sebagai “heuristik
negatif” maksudnya inti pokok yang menjadi dasar diatas elemen yang lain
karena sifatnya menentukan dari suatu program riset dan menjadi hipotesis
teoritis yang bersifat umum dan sebagai dasar bagi pengembangan program
pengembangan.
2. Lingkaran Pelindung (Protective-belt)
Yang terdiri dari hipotesa-hipotesa bantu (auxiliary hypothese) dalam
kondisi-kondisi awal. Dalam mengartikulasi lingkaran pelindung, lingkaran
pelindung ini harus menahan berbagai serangan, pengujian dan memperoleh
penyesuaian, bahkan perubahan dan pengertian, demi mempertahankan hard-core.
Dalam aturan metodologis lingkaran pelindung ini disebut “heuristik positif”
maksudnya untuk menunjukkan bagaimana inti pokok program riset dilengkapi agar
dapat menerangkan dan meramalkan fenomena-fenomena yang nyata. Heuristik
positif terdiri dari saran atau isyarat tentang bagaimana mengembangkan
vaian-varian yang komplek, bagaimana memodifikasi dan meningkatkan lingkaran
pelindung yang fleksibel. Dengan demikian suatu teori selalu dapat dilindungi
dari ancaman falsifikasi dengan mengalihkan sasaran falsifikasi kepada
asumsi-asumsi lain.[8]
3. Serangkaian Teori (a series theory)
Keterkaitan teori dimana teori yang berikutnya merupakan akibat dari
klausal bantu yang ditambah dari teori sebelumnya. Menurut Imre Lakotos, yang
harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah teori tunggal,
melainkan rangkaian teori baru. Kontinuitas ini berangkat dari program riset
murni. Keilmiahan suatu program riset dinilai berdasarkan dua syarat;
a. Harus memenuhi derajat koherensi yang mengandung
perencanaan yang pasti untuk program riset selanjutnya.
b. Harus dapat menghasilkan penemuan fenomena baru.[9]
Dengan struktur program riset itu diharapkan dapat
menghasilkan perkembangan ilmu yang rasional. Keberhasilan suatu program riset
dilihat dari terjadinya perubahan problem yang progresif. Sebaliknya, suatu
program riset dikatakan gagal jika hanya menghasilkan problem yang justru
merosot atau digenaratif. Selanjutnya untuk lebih memahami tentang konsep
metodologi program riset oleh Imre Lakatos akan dicontohkan sebagai berikut:
Misalnya, pada astronomi Copernicus yang menjadi hardcore-nya adalah asumsi-asumsi yang
menyatakan bahwa bumi dan planet-planet berputar mengelilingi matahari dan bumi
berputar pada porosnya. Hardcore pada
program riset Copernican perlu diperluas dengan asumsi bantu yang akan
berfungsi sebagai protective belt,
yaitu dengan menambahkan banyak epicycles
pada orbit planet-planet yang semula berbentuk lingkaran dan mengubah taksiran
jarak bintang-bintang dari bumi. Apabila perilaku planet yang diobservasi
berbeda dengan apa yang diramalkan oleh program riset Copernican, maka yang perlu
dilakukan adalah mengubah epicycles-nya,
atau menambahkan dengan yang baru dan bukan mengubah hardcore-nya.
Contoh lain pada program riset adalah penemuan
teori gravitasi Newton. Pada saat pertama penelitian gravitasi dilakukan, teori
tersebut tenggelam dalam lautan anomali. Bahkan anomali-anomali tersebut didukung
oleh teori-teori hasil observasi. Akan tetapi, pengikut Newton dapat
mengemukakan counter instance (contoh
yang berlawanan) satu per satu sehingga merobohkan teori yang sudah mapan
sebelumnya yang juga didukung oleh observasi tersebut.
Dalam program riset
Newton, heuristik negatif mengarahkan kita untuk menghindarkan penelitian pada
tiga hukum dinamika Newton dan teori gravitasi yang merupakan hardcore. Penelitian harus diarahkan
pada hipotesis bantu yang diderivasikan dari hardcore dan berada di sekitarnya
sebagai sabuk pengaman. Hardcore
tersebut tidak bisa ditolak. Anomali-anomali yang terjadi hanya harus mengarah
kepada perubahan-perubahan dalam lingkup hipotesis bantu, hipotesis observasi
dan initials conditions.
Ahli fisika sebelum
Albert Eistein memakai teori mekanika dan gravitasi Newton sebagai hardcore-nya dan terdapat initial
conditions. Dari sinilah kemudian dikalkulasikan dan muncul suatu penemuan baru
tentang planet kecil. Akan tetapi, ternyata hal baru dari planet tersebut
ternyata menyimpang dari kalkulasi tersebut. Apakah kemudian ahli fisika
Newtonian tersebut menganggap bahwa penyimpangan yang tidak boleh terjadi
berdasarkan kalkulasi teori Newton yang merupakan hardcore-nya tersebut merupakan bukti terhadap penolakan terhadap
hukum Newton tersebut? Tidak. Mereka justru kemudian menghitung massa, orbit,
dan sebagainya dari planet yang menjadi hipotesis tersebut dan meminta kepada
astronom untuk melakukan eksperimen untuk menguji hipotesisnya. Planet tersebut
ternyata tidak bisa dilihat melalui teropong terbesar sekalipun. Akhirnya
ilmuwan membuat teropong yang lebih besar lagi namun tetap saja apa yang tidak
diketahui tersebut tidak ditemukan. Apakah kemudian para ilmuwan tersebut
meninggalkan teori Newton? Tidak. Mereka kemudian memperkirakan mungkin ada
debu kosmis yang menyelimuti planet tersebut sehingga tidak bisa diteropong.
Ternyata awan debu tersebut tidak juga ditemukan. Begitulah penelitian demi
penelitian terus dilakukan untuk menguji hipotesis bantu yang ada disekitar hardcore, dan bukannya menguji hardcore itu sendiri.
filsafat kuntowijoyo
Biografi
Kuntowijoyo
Prof.
Dr. Kuntowijoyo (juga dieja Kuntowidjojo; lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 – meninggal 22 Februari 2005 pada umur 61 tahun) adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia.
Kuntowijoyo
mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP di Klaten dan SMA di Solo,
sebelum lulus sarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada
pada tahun 1969. Gelar MA American History diperoleh
dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat
pada tahun 1974, dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia
pada tahun 1980.
Ia
banyak menulis buku tentang sejarah, budaya, filsafat,
dan sastra, di antaranya Mantra Pejinak Ular, Isyarat,
Khotbah di Atas Bukit, dan Impian Amerika. Selain itu, ia juga
sering menulis cerita pendek
dan esai di surat kabar.
Beberapa
penghargaan yang pernah diterimanya adalah penghargaan sastra dari Pusat Bahasa
atas kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994), ASEAN (1997), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999), dan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera)
atas novel Mantra Pejinak Ular (2001).
Ia meninggal
dunia akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare, dan ginjal yang diderita
setelah untuk beberapa tahun mengalami serangan virus meningo enchephalitis.
Saat meninggal dunia, ia adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Gadjah Mada dan juga pengajar di Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak
B. Gagasan Kuntowijoyo
Gagasannya
yang sangat penting bagi pengembangan ilmu sosial di
Indonesia adalah idenya tentang Ilmu Sosial Profetik
(ISP). Bagi Kuntowijoyo, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya
begitu saja tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi
menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga
nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi
dan transendensi.
Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi
misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik
yang dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma ISP.[2]
1. Pengilmuan Islam Menuju Paradigma IsLam
Tiga hal akan dikemukakan, yaitu perlunya pengilmuan Islam,
orang Islam harus melihat realitas melalui Islam, dan eksisstensi Humaniora
dalam Al-Quran. Pertama, tugas itu dikerjakan oleh artikel “Demistifikasi
Islam”. Di sana dikemukakan tentang perlunya Islam sebagai teks (Al-Quran dan
As-Sunnah) untuk dihadapkan kepada realitas, baik realitas sehari-hari maupun
realitas ilmiah. Dengan kata lain, dan teks ke
konteks
(teks - konteks). Dalam ilmu berarti, bahwa gerakan intelektual Islam harus
melangkah ke arah “pengilmuan Islam”. Kita harus meninggalkan “Islamisasi
pengetahuan”, gerakan intelektual yang lahir menjelang tahun 1980-an, yang
berupa gerakan dan konteks ke teks (konteks > teks). Sementara itu,
“pengilmuan Islam” bergerak he arah yang berlawanan, yaitu teks menuju ke
konteks. Kedua, apa sebab orang Islam harus melihat realitas melalui Islam?
Jawabnya, pertama, menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan, realitas itu
tidak dilihat secara langsung oleh orang, tetapi melalui tabir (kata, konsep,
simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Ketiga, tanpa mengakui adanya faktor
manusia, konstruksi pengalaman manusia menjadi ilmu tidak lengkap.
2. Paradigma Teoretis
Dengan pemahaman
mengenai adanya struktur transendental Al-Qur’an, yaitu gambaran kita mengenai
sebuah bangunan ide yang sempurna mengenai kehidupan, suatu ide murni yang
bersifat metahistoris, Al-Qur’an sesengguhnya menyediakan kemungkinan yang
sangat besar untuuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikr inilah yang
kita namakan paradigma Al-Quran, paradigma Islam.
Perumusan
teori-teori yang dudasaarkan pada paradigma Al-Qur’an juga akan melalui
prosedur semacam itu. Struktur transedental Al-Qur’an adalah sebuah ide
normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis.
Bagaimana pun
juga perumusan teori-teori islam adalah bagian dari kepentingan pragmatis Islam
untuk memenuhi misi propetiknya, yakni membangun peradaban. Dalam sebuah dunia
dimana kekuatan dan pengaruh ilmu pengetahuan menjadi distruktif, mengancam
kehidupan umat manusia dan peradabannya, islam jelas harus tampil untuk
menawarkan alternatif paradigmatiknya dibidang ilmu.
3. Humaniora Dalam Al-Qur’an
Adanya Humaniora yang berbeda dengan sciences
itu dapat kita pelajari dari Al-Qur’an. satu ayat Allah yang mmengisyaratkan
adanya dua kategori ilmu yang berbeda, yaitu ilmu mengenai cakrawala dan ilmu
mengenai diri manusia. Sebagaimana yang tercantum dalam Qs Fushilat:53 yang
artinya: ’’Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami
di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri’’
Jadi, menurut Al-Qur’an pun ilmu itu bukannya dua macam, kauniyah
(ilmu-ilmu alam), dan kauliyah (ilmu-ilmu Qur’an teologikal), seperti yang
kita sangka selama ini, akan tetap tiga macam. Katakan yang ketiga itu ialah
ilmu nafsiah. Kalau ilmu kauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu kauliyah
berkenaan dengan hukum tuhan, maka ilmu nafsiah berkenaan dengan makna, nilai,
dan kesadaran. Ilmu nafsiah inilah yang kita sebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu
kemanusiaan, hermeneutikal), meskipun dalam bahasa arab ilmu nafsiah ialah
psikologi.
C. Aspek-aspek Pengilmuan Islam
1. Epistemologi Paradigma Islam
Pasti banyak orang, bahkan orang Islam sendiri, sangsi
tentang kemungkinan teks Islam yang berasal dan abad ke-7 itu sanggup menjadi
ilmu modern. Hal itu bisa dimengerti, karena di banyak negeri Islam berbagai
perbuatan yang mengatasnamakan agama (seperti ketimpangan jender, upacara
sakral, pemujaan arwah) tetapl sebenarnya hanyalah budaya dan adat-istiadat
lokal. lintuk itulah kami memilih artikel “Strukturalisme Transendental” untuk
menunjukkan bahwa Islam yang otentik mempunyai kapasitas structuring, baik
sebagai agama maupun sebagai ilmu. Untuk membangun Paradigyna Islam, ukuran
tertingginya (the ultimate yardstick) ialah altâuhid, sama seperti Islam itu
sendiri.
4. Metodotogi Pengilmuan Islam
Ada dua metodologi yang dipakai dalam proses pengilmuan
Islam, yaitu integralisasi 4an objektifikasi. Pertama, integralisasi ialah
pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam
Al-Quran beserta pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Kedua, objektzfikasi ialah
rnenjadikan pen gilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang (rahmatan lii
‘âlamIn). Dua artikel dengan judul sama, yaitu “Integralisasi” akan inemenuhi
tugas pertama. Seinentara itu dua artikel lain dengan judul sama pula, yaitu
“Objektifikasi” akan memenuhi tugas kedua.
INTEGRALISASI
Ada
perbeda paradigmatik antara ilmu-ilmu sekular dan ilmu-ilmu integralistik.
Perbedaan paradigma itu sesuai dengan pengertian Paradigma sebagaimana dimaksud
oleh Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions, di mana
ilmu-ilmu sekular sebagai normal sciences dan ilmu-ilmu Integralistik yang
sedang dirintis sebagaj suatu revolusi. Paradigma baru ilmu-ilmu integralistik
itu kedudukannya akan mirip dengan kedudukan ilmu-ilmu sosial Marxistis
terhadap ilmu-ilmu sosial Barat yang dianggap kapitalistis.
5. Etika Paradigma Islam
Ada
empat hal yang akan dibicarakan, yaitu (1) mengenai tujuan akhir Paradigma
Isjam, (2) keterlibatan umat (Paradigma Islam) dalam sejarah, (3)
“methodological objectivism”, dan (4) sikap Paradigina Islam terhadap ilmu-ilmu
sekular.
Pertama,
tentang tujian akhir Paradigina Islam. Seperti diketahui ilmu sekular
(antropologi James L. Peacock dan Thomas A. Kirsch, The Human Direction: An
Evolutionary Approach to Social and Cultural Anthropology fNew York: Appleton
Century Croft, 1970]) meramalkan bahwa transformasi kemanusiaan akan menuju ke
arah masyarakat sekular, seperti terjadi di dunia Barat. Islam sebagai agama
yang abadi mestinya menolak gagasan ten tang tranformasi, karena keabadian dan
perubahan itu adalah dua hal yang berlawanan? Tidak demikian, keabadian Islam
justru berarti perubahan yang permanen. Permanensi itu menurut Islam harus
disertai dengan citarasa mengenai tujuan (a sense of goal), yaitu semakin
dekatnya manusia kepada Yang Maha Abadi. Islam menghendaki adanya transformasi
menuju transendensj.
Kedua,
untuk keperluan keterlibatan itu umat harus berjuang penuh dalain sejarah
kemanusjaan, yaitu humanisasi (rnemanusiakan orang), liberasi (membebaskan
manusia dan pen indasan), dan transendensi (membawa manusia beriman kepada
Tuhan). Dua artikel dengan judul mirip, keduanya tentang Ilmu Sosial Profetik,
mengangkat isu soal tujuan Paradigma Islam.
Ketiga,
adakah kemungkinan dalam keterlibatan itu Paradigma Islam akan jatuh namanya
dan ilmu yang objektif menjadi kuasi-ilmu yang subjektif? Tidak. Paradigma
Islam akan menganut “methodological objectivism”. Artinya, kita sepenuhnya
menghormati objek penelitian, menjadikan objek penelitian sebagai subjek yang
mandiri: menghargai nilai-nilai yang dianut objek penelitian. Paradigina Islam
tidak akan bertindak seperti ilmu sekular yang banyak merugikan Islam atas nama
objektivitas ilmu. Paradigma Islam bukan gerakan intelektual balas dendam yang
menghalalkan segala cara. Paradigma Islam tidak bertindak seperti ilmu sekular
yang mengaku objektif tapi ternyata sangat subjektif dan tidak menghargai
nilai-nilai yang dianut objek penelitiannya. Mengenai “methodological
objectivism” itu dapat dibaca dalam artikel kedua tentang Ilmu Sosial Profetik.
Tanpa kehilangan din dan harus berbohong secara tidak etis (seperti dilakukan
oleh C. Snouck Hurgronje yang mengaku Muslim waktu melakukan penelitian di
Makkah pada akhir abad ke-19). Seorang peneliti Muslim harus objektif meneliti
objek-objek Muslim maupun non-Muslim.
Keempat,
hanya berupa penegasan bahwa Paradigma Islam tidak akan secara apniori menolak
ilmu sekular, tempat kebanyakan ilmuwan Muslim belajar. Paradigma Islam tidak
berniat merobohkan hasil kerja keras kemanusiaan selama berabad-abad itu.
Tetapi benar bahwa Islam sebagai ilmu akan selalu kritis terhadap semua
pengetahuan, sekular atau tidak, bahkan kritis kepada din sendiri. Hal itu
sudah nampak dalam pernyataan waktu membicarakan integralisasi, sehingga
penjelasan lain dirasa tidak perlu lagi.
ISLAM: SUATU PARADIGMA YANG TERBUKA
Itulah
sebabnya, sekali lagi, kita tidak dapat bersikap dikotomis karena sikap seperti
itu hanya akan menjadikan kita eksklusif. Tampaknya kita justru perlu terus
menyadari bahwa kita mewarisi tradisi sejarah dan seluruh wanisan peradaban
manusia. Itu artinya, kita tidak membangun dan suatu vacuum. Semua peradaban
dan semua agama mengalami proses meminjam dan membeni dalam intenaksi mereka
satu sama lain sepanjang sejanah. Oleh karena itu, hampin tidak mungkin kita
bensikap eksklusif. Sikap seperti itU adalah sikap yang ahistonis dan tidak
realistis.
Dalam
bidang ilmu dan teknologi, kita tidak boleh bersikap tertutup. Sekalipun kita
yakin bahwa Islam itu bukan Timur dan bukan Barat, hal mi tidak beranti kita
harus menutup din dan keduanya. Bagaimanapun Islam adalah suatu paradigma yang
terbuka
filsafat Sejarah dalam Buku Dinamika Sejarah Umat
Islam Indonesia
1. Tahap-tahap kesadaran sosial umat Islam
Indonesia
Kuntowijoyo dalam Dinamika Sejarah Umat Islam
Indonesia membagi perkembangan periode kesadaran umat Islam:
a. Periode kesadaran mistis-relijius
Periode pertama yang dihadapi umat Islam adalah
periode dimana umat Islam berada dalam suatu sistem status dengan hirearki
sosial yang sangat keras. Pada waktu itu, masyarakat dibagi dua: orang-orang
besar (priyagung) dan orang-orang kecil (wong cilik) yang kemudian dalam
kontekks politiknya disebut sebagai kawula atau abdi.
Terutama jika kita berbicara umat Islam sesudah kejatuhan Kerajaan Islam Demak,
umat Islam mnjadi bentuk masyarakat patrimonial. Umat Islam tidak
berada pada golongan atas, melainkan ada di golongan bawah. Sampai akhir abad
XIX, umat Islam hanya sebagai kawula (Dinamika Sejarah Umat Islam
Indonesia; 1994).
Di dalam masyarakat dengan hirearki yang sangat
keras ini, tumbuhlah kesadaran mistis-relijius yang tidak bersandar pada
pikiran-pikiran yang berdasarkan aktualitas sejarah, melainkan kepercayaan-kepercayaan
mistis seperti datangnya Ratu Adil dalam melakukan perlawanan.
b. Periode kesadaran ideologi
Pada periode kedua (1900-1920), terjadi
perubahan-perubahan sosial yang sangat besar. Jika pada periode sebelumnya,
umat Islam merasa sebagai kawula, pada periode kedua ini umat Islam
merasa dirinya sebagai womg cilik (rakyat kecil). Konsep wong cilik
berbeda dengan konsep kawula. Kawula hubungannya dengan Gusti, womg cilik lebih
merupakan konsep yang horizontal.
Pada periode ini, kesadaran umat Islam mulai
berubah. Jika sebelumnya umat Islam mempunyai kesadaran mistis dan utopian,
kini umat Islam mulai mencoba merumuskan ideologi. Ini berkaitan dengan
kemunculan hirearki atau sistem yang berdasarkan status, sistem kelas. Kelas
menengah yang terdiri dari kelas buruh, pedagang pada umunya didominasi oleh
umat Islam.
SI memainkan peranan penting dalam kemunculan
kesadaran ideologi ini. Kelahirannya sebagai tandingan dari kelompok dagang
China adalah bukti bahwa banyaknya golongan yang bersaing secara horizontal.
Keberpihakan SI kepada kaum buruh, pedagang, peetani dan kelompok “wong cilik”
lainnya berakhir dengan adanya perpecahan di tubuh SI menjadi SI Merah dan SI
Hijau. Sehingga, saat unsur-unsur kelompok kiri mengalami pembersihan dalam SI,
sebenarnya SI telah mengantarkan umat Islam ke dalam tahap kesadaran yang
selanjutnya.
c. Periode kesadaran sebagai umat
Karena konflik-konflik kelas di tubuh SI, ia
mendefinisikan dirinya pada periode ketiga (1920-1942), sebagai ummat.
Saat itulah, konsep mengenai umat sebagai kesatuan sosial dan politis mulai
muncul dalam masyarakat Indonesia (Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia;
1994).
Kesadaran sebagai umat disebabkan oleh adanya
konflik sosial yang dipicu oleh tulisan yang menghina nabi yang diterbitkan
oleh koran Surakarta pada tahun 1917. Sehingga melahirkan “Tentara Kanjeng Nabi
Muhammad” pada tahun 1918 di seluruh Indonesia. dari sinilah, umat Islam
mendefinsikan dirinya sebagai umat dan memisahkan diri dengan yang non umat.
d. Periode kesadaran sebagai warga negara
Setelah 1942, yang terjadi adalah kelanjutan dari
perjalanan umat. Jika sebelumnya muslim mendefinisikan diri sebagai umat, sejak
1942 dan seterusnya, umat Islam dihadapkan pada tugas baru. Pada masa
penjajahan Jepang, para Kyai dan tokoh-tokoh umat Islam mulai diikutsertakan
dalam kepemimpinan dan kenegaraan.
Oleh karena itu, setelah 1942, bahkan setelah
merdeka, umat mendefinisikan diri dalam kesadaran baru yaitu warga negara.
Proses ini merupakan langkah historis yang diambil umat Islam sebagai konskuensi
atas keberterimaan umat Islam kepada UUD 1945 dan Pancasila. Dalam fase ini,
warga negara berhadap-hadapan dengan negara.
2. Tiga Periode Sejarah Perkembangan Islam
Kuntowijoyo membagi perkembangan Islam di
Indonesia menjadi tiga periode, periodisasi ini dibuat berdasarkan sosiologi
pengetahuan yang ia bentuk dengan melihat bentuk-bentuk kesadaran umat Islam,
diantaranya:
a. Zaman mitos
Pada zaman ini, umat memiliki kepercayaan
mistis-religius, sehingga dasar pengetahuan waktu itu menjadi mitos. Dalam abad
XIX sering terjadi radikalisme agraria. Mitos Ratu Adil, misalnya, merupakan
cita-cita pemberontakan akibat penjajahan dan kemiskinan dalam masa tersebut.
Umat waktu itu menginginkan lahirnya suatu kerajaan utopia. Tapi mereka tidak
tahu bagaimana menuju kesana dan tidak tahu persis apa yang harus dilakukan.
Zaman mitos tersebut – dengan membuat pembagian secara kasar – berlangsung kira-kira
sampai 1900.
b. Zaman ideologi
Pada periode setelah 1900an, khazanah pengetahuan
Islam dipahami sebagai formulasi normatif. Dari situ ia kemudian berkembang
menjadi ideologi, lalu menjadi action. Periode ini disebut sebagai
periode ideologi. Ia berlangsung – kira-kira – hingga 1965. Tapi ini bukanlah
batas waktu yang tegas.
Yang jadi kata kunci dalam zaman ideologi ini
ialah negara, berbeda dengan zaman mitos yang engenal kata kunci Ratu Adil.
Setelah tercapainya kemerdekaan, demi ideologi masing-masing, diusahakanlah
mobilisasi massa.
c. Zaman ide atau ilmu
Pada masa setelah 1965, PKI (Partai Komunis
Indonesia) tumbang. Sejak saat itu tak ada yang dianggap ancaman lagi oleh
ideologi lain. Dari sinilah muncul benih-benih Islam ditampilkan sebagai ilmu
Islam. Islam yang sebelumnya menjadi ideologi dan aksi, di zaman ilmu menjadi
formulasi teoritis. Islam selanjutnya berkembang menjadi disiplin ilmu.
Jika pada zaman ideologi usaha yang terpenting
ialah mobilisasi massa, maka zaman ilmu usaha yang terpenting ialah
memobilisasikan kesadaran masyarakat. Kuncinya pun bukan lagi negara, tapi
sistem. Dulu, Negara menjadi tujuan, pada zaman ilmu, negara menjadi salah satu
aspek dari tujuan yang utama, berupa sistem yang rasional.
Kuntowijoyo mengajarkan kepada kita untuk membuat
sejarah menjadi hidup lagi. Bahwa sejarah memiliki aspek dinamis yang akan
selalu berkembang dalam rentetan kehidupan manusia yang akan datang. Dengan
narasi kaum pinggiran semakin diketengahkan dalam penulisan sejarah, ia hendak
menciptakan narasi tandingan yang selama ini dinarasikan oleh penguasa. Ini
terlihat dari pembacaannya terhadap Sejarah umat Islam Indonesia.
Sejarah umat Islam Indonesia bagi kuntowijoyo
adalah sejarah masyarakat kecil yang mengalami proses perkembangan dalam
merespon perubahan zaman. Mulai dari periode mitos, ideologi dan ilmu.
Disinilah letak pernana cendekiawan muslim dalam transformasi sosial. Sehingga
mampu memberi pencerahan terhadap umat Islam tentang posisi dan kesadaran
bagaimana umat Islam harus bersikap sebagai warga negara dan Islam sebagai ide.
Biografi Dr. Amin Abdullah
Prof. Dr.
Amin Abdullah lahir di margomulyo, Tayu, Pati, Jawa tengah, 28 Juli 1953.
Menamatkah kulliat al mualllimin islamyah (KMI), pesantren Gontor, Ponorogo1872
dan program sarjana muda (Bakalaureat) pada Institut pendidikan Darussalam
(IPD) 1977 di pesantren yang sama. Menyelesaikan program sarjana di fakultas
Ushuludin, jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun
1982. Atas sponsor departemen agama dan pemerintah Republik Turki, mulai tahun
1985 mengambil program Ph. D. Bidang Filsafat Islam. Di departemen of
Philoshopy, faculty of Art and Sciencies, middle East Thecnhical Univercity
(METU), Ankara, Turki 1990.
Disertasinya,
The Idea Of Universality Of Ethical Norms In Ghajali And Kant, diterbitkan di
Turki (Antara: Turkiye Diyanet Vafki, 1992. Karya terjemahan yang diterbitkan ,
Agama Dan Akal Pemikiran : Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusia, (Jakarta:
Rajawali,1985), dan Pengantar Filsafat Islam : Abad Pertengahan (Jakarta:
Rajawali,1989). Menjadi ketua penghimpunan pelajar Indonesia (PPI), Turki,
1986-1987. Selama libur musim panas ,pernah bekerja Part Timer, di Sekertariat
kantor Haji di Jeddah (1985 dan 1990. Makah 1988, dan Madinah 1989. Kini,
selain dosen fakultas Ushuludin, juga dosen fakultas Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta.
Tahun
1993-1996 sebagai asisten direktur pascasarjana di Institut yang sama, menjabat
wakil kepala lembagaPengkajian dan Pengalaman Islam (LPPI), Universitas
muhamadiyah Yogyakarta. Dalam organisasi kenasyarakatan , menjadi ketua Divisi
Ummat, ICMI, Organisasi wilayah DIY 1991-1995, dan Anggota pimpinan pusat
Muhamadiyah majlis Tarrjih (1991-1995). Aktif menulis seminar,
tulisan-tulisannya dapat dijumpai di jurnal keilmuan Islam. Antara ULUMUL
QURAN, ISLAMIKA, AL JAMI’AH, dan lain-lain. Seminar internasional diluar negeri
yang diikuti antara lain, Seminar ’’Kependudukan dalan dunia Islam’’,
diselenggarakan oleh badan kependudukan Universitas al-Azhar, di Khairo, Juli
1992.
Membedakan
antara wilayah keilmuan dan keagamaan
Dalam pemikiran Amin Abdullah,
hendaklah kita sebagai seorang muslim harus bisa membedakan mana yang menjadi
wacana keagamaan dan mana yang menjadi wacana keilmuan. Sebagai contoh seorang
mahasisiwa yang sedang menjalakan studi di sebuah Institut agama maka bagi Amin
Abdullah ada dua hal yang menjadi
tuntutan bagi mahasisiwa tu. Tuntutan pertama
adalah bagaimana mahasisiwa itu dapat malakuan suatu penelitian pemikiran demi
pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan
mereka. Tuntutan yang kedua adalah
bagaimana mahasisiwa itu dapat mengetahui bagaimana keagamaan mereka sendiri.
Tuntutan yang pertama ini, biasanya kita kenal dengan ilmu-ilmu keislaman.
Ilmu-ilmu ini tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa ada sebuah pengembangan
penyatuan dan penelitian terhadap ilmu-ilmu yang sebelumnya telah ada, sehingga
dengan cara ini kita dapat menemukan suatu kreativitas ilmu agar dapat membuat suatu
disiplin ilmu tersendiri.
Untuk tuntutan yang kedua ini, Amin
memahaminya sebagai kesadaran akan kewajiban mahasisiwa itu sendiri. Mahasiswa
itu harus mengetahui dengan seksama bagaimana fondasi keagamaan mereka,
pengetahuan itu didapat dengan mencari aksioma pemikiran keagamaan.
Aksioma-aksioma keagamaan itu telah ada sebelumnya yaitu terdapat pada kitab
suci dan hadist nabi, hanya saja aksioma-aksioma ini harus lebih dikembangkan
agar dapat memberikan solusi bagi kehidupan kita yang semakin modern. Tujuan
Amin Abdullah memisahkan kedua wilayah ini tidak lain adalah agar kita umat
muslim bisa terhindar dari sikap saling mengkafirkan. Kehidupan muslim di abad
ini kita ketahui bersama bahwa jika terjadi pergeseran akan makna dan nilai
dari keilmuan-keilmuan Islam maka akan segera terjadi pula proses
kafir-mengkafirkan.
Amin Abdullah menyatakan bahwa sifat dasar
dari keilmuan itu adalah sejauh mana ilmu itu dapat bertahan dari berbagai
macam kritikan. Inilah yang menjadi permasalahannya sekarang, ketika ada
kritikan yang dilontarkan pada satu disiplin ilmu maka reaksi dari semua itu
adalah kafir. Ketika Muhammad Shyahrur mengkritik bagunan fiqhi oleh ulama
salaf maka Syahrur dianggap telah berpaling dari agama, dan ketika Abu Zayd
menyatakan kritik terhadap wacana yang menjadi interpretasi keagamaan maka Abu
Zayd juga dikatakan salah seorang kafir.
Dalam
sejarah pemikiran Islam, pada umumnya memang belum mengalami apa yang dinamakan
sebagai proses aufklarung atau renaciens, bahkan pemikiran Islam belum
melampaui tahapan kritik epistimologi yag cukup mendasar. Hal ini terjadi oleh
karena keberadaan kaum yang begitu fundamentalis dan super ortodks, mereka
tidak mau menerima suatu pemikiran kritis yang dapat menghancurkan dan
merobohkan bangunan ortodoks mereka. Akibatnya banyak muslim kontemporer yang
tidak bisa lagi membedakan antara wilayah keilmuan dan keagamaan, bahkan lebih
parah lagi ada yang telah mensakralkan suatu teologi klasik sehingga terjadi
proses ‘’takdis’’ yang tidak disadari oleh mereka. Pemahaman terhadap keislaman
yang selama ini dipahami sebagai dogma yang baku berasal dari pemahaman wahyu
dan kitab secara tekstual atau skriptual. Tujuan dari ini semua adalah
bagaimana kita mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan dengan
studi-studi agama yang kompeten.
Berbicara
mengenai realitas keagamaan, sesuatu yang harus dibutuhkan oleh seoarang ilmuan
atau ulama adalah bagaimana kita bisa berfikir objektif-rasional, karena bagi
Amin Abdullah hanya dengan cara ini seseorang dapat melakukan pengembangan
keilmuan. Tanpa metode seperti ini realitas zaman dulu hanya akan berulang
kembali dan tak akan ada yang namanya suatu pengembangan. Inilah reealitas yang
terjadi pada kalangan ortodoks, realitas yang hanya terulang kembali dimana
realitas itu sudah ada pada generasi kita terdahulu, hal ini seakan-akan telah
membuat kreativitas kaum muslim lenyap dan hilang ditelan waktu. Sedangkan
disisi lain, zaman selalu menuntut kita agar dapat terus berkreasi dengan
pemikiran-pemikiran yang inovatif dan membangun. Khazannah keilmuan Islam
nampaknya telah mengalami suatu keracunan berfikir yang amat kuat. Umat muslim
sekarang telah diracuni oleh suatu dogma teologis yang begitu menakutkan,
sampai-sampai hal itu membuat kita seperti kehilangan akal utuk berfikir.
Derivasi dari keracunan seperti ini akan membuat kaburnya nilai agama itu
sendiri, dimana esensi dari agama adalah sebagai ekspresi religiusitas, dimana
makna kemanusiaan menjadi inti agama itu sendiri kini berubah menjadi sumber
konflik atas nama tuhan.
Pendekatan
teologis normatif dan pendekatan historis empiris
Bagi Amin Abdullah, ada dua
pendekatan yang perlu dilakukan demi mendapatkan solusi mengenai
masalah-masalah keagamaan manusia. Dua pendekatan ini saling berkaitan satu
sama lain, dimana bagi Amin Abdullah jika hilang salah satunya maka tidak akan
berfungsi keduanya. Pendekatan yang dia maksud adalah pertama pendekatan
normatif teologis dan yang kedua adalah pendekatan historis empiris. Pendekatan
yang pertama adalah bagaimana kita
melihat masalah keagamaan manusia dari sudut pandang norma-norma wahyu yang ada
dalam agama itu sendiri, sedang pada pendekatan yang kedua adalah bagaimana
kita memandang masalah tersebut dari historikal kemanusiaan itu sendiri.
Teologis normatif
Sebenarya
jika dilihat secara sepintas bahwa norma ajaran-ajaran Islam teletak pada
dimensi normativitas-etika agama yang bersifat mengatur dan mengikat. Menurut
para ulama kita bahwa aspek normativitas ini terasa lebih ditekankan pada aspek
ibadah mahdah, sehingga pendekatan yang pertama ini banyak memunculkan tradisi
keilmuan Islam yang berasal dari al-quran dan hadis nabi. Ilmu-ilmu seperti ini
contohnya adalah ilmu fiqhi,tasawwuf, dan kalam. Bahkan ketika para
pemikir-pemikir Islam pada abad pertengahan mulai membicarakan keilmuan
filsafat maka semua itu selalu ditarik pada aspek normativitas teologis, dalam
artian bahwa tujan dari mempelajari filsafat pada waktu itu adalah semata-mata
untuk masalah teologis, seperti yang dikatakan oleh Syed Hosaen Nasr. Hal ini
terbukti ketika pada masa al-kindi, Farabi, bahkan sampai sekarang filsafat
Islam selalu berbicara tentang Mantiq, Tabi’iyyat dan Ilahiyyat.
Sebenarnya
pendekatan teologis normatif ini juga sangatlah berguna bagi kita, dimana kita
akan lebih memaksimalkan guna wahyu dan hadist itu dengan penafisran kita
mengenai masalah yang ada. Jadi ibaratnya ketika ada masalah-masalah
kemanusiaan maka yang akan berbicara adalah wahyu dan hadist itu sendiri,
sehingga apa yang kita lakukan adalah selalu berdasar pada normativitas
keduanya. Kini normativitas kedua komponen ini ada dalam bidang ilmu-ilmu
keislaman kita seperti fiqhi,tasawwuf, dan kalam
Banyak
orang menganggap bahwa ketiga disiplin ilmu ini adalah khazanah keilmuan Islam
yang tidak dapat dipisahkan dari wahyu dan hadist. Inilah kegunaan normativitas
wahyu bagi Amin Abdullah, ketika disiplin ilmu ini tidak dibalut dengan
pengetahuan akan wahyu dan hadist, maka ilmu yang akan lahir adalah ilmu-ilmu
yang bersifat sekuler. Amin Abdullah adalah seorang tokoh pemikir Islam yang
kontemporer, akan tetapi Amin Abdullah tidak mau meninggalkan pendekatan yang
pertama ini, justru dia selalu menggunakan pendekatan ini dalam menanggapi
masalah-masalah kekinian.
Dalam
menghadapi masalah kekinian maka kiranya kita jangan asal menetapkan solusiya,
akan tetapi kita harus tetap merujuk dan berpijak pada ajaran Islam yang
sesungguhnya. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam al-quran bahwasanya:
‘’ Apabila dikatakan kepada mereka: marilah mengikuti apa
yang diturunkan oleh Allah dan mengikuti Rasul’’. Mereka mengatakan: ‘’cukuplah
bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’’. Dan apakah
mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereke itu’
tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk’’.
Dengan
prinsip dan norma agama ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, dalam dunia
ini masalah apapun yang sedang kita hadapi maka hendaklah kita selalu merujuk
pada al-quran yang diturunkan Allah dan sunah Rasul-nya yang telah ditunjukan
kepada kita umatnya. Kita dapat memperhatikan perkataann Rasulullah saw dalam
hadist berikut:
‘’kutinggalkan untuk kamu dua pusaka (perkara), tidaklah
kamu akan tersesat selama-lamanya, selagi kamu masih berpegang teguh pada
keduanya, yaitu Al-quran dan sunah Rasulnya’’.
Bagi penilaian Amin Abdullah bahwa
dengan prinsip beragama yang berdasar wahyu ini selalu diperagakan oleh umat
muslim pada kurun waktu pertama yaitu pada masa nabi Muhammad saw yang pada
saat itu berhasil menegakkan pemahaman, penghayatan, dan pengalaman Islam yang
segar, sehingga pada waktu itu, mereka menjadi khairu ummah.
Historis-empiris
Peetanyaan mendasar yang harus
dijawab oleh umat muslim kontemporer adalah, mengapa setelah wafatnya
Rasullulah saw khazanah keilmuan Islam dan bahkan peradabannya meningkat dengan
pesat akan tetapi setelah abad ke tiga belas peradaban Islam mulai mudur dan
bahkan terbelakang oleh adanya peradaban barat yang begitu superpower seperti
sekarang ini. Banyak orang berpendapat bahwa tasawwuf dan para suffisme adalah
penyebab kemunduran peradaban Islam ini. Ajaran tasawwuf lebih menekankan pada
sikap asketisme dan meninggalkan sedikit urusan-urusan keduniaan, seperti apa
yang kita lihat dalam praktik kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini juga
dikemukakan oleh Harun Nasution dalam bukunya bahwa’’hampir seluruh aliran
modern dalam Islam terkesan lebih mengambil sikap kehati-hatian pada para
suffisme’’.
Dalam
permasalahan ini Amin Abdullah mengemukakan solusinya dengan begitu lugas. Agar
peradaban Islam kembali maju maka dalam sistem pemahaman dan pemikiran Islam
kita harus menempatkan metode historis-empiris dalam fenomena keagamaan kita.
Maka pertanyaan yang akan timbul selanjutnya adalah, apakah Islam dapat
ditelaah secara ilmiah ataukah tidak. Kita ketahui bersama bahwa dalam
kehidupan kita sehari-hari banyak sekali kita temukan permasalahan-permasalahan
dibidang ekonomi, sosial, politik, budaya dan lain sebagainya, selanjutnya
adalah bidang-bidang ini yang membuat suatu peradaban maju dan berkembang. Para
kaum ortodoks Islam merasa bahwa bidang keeilmuan diatas dapat menggeser
normativitas keagamaan kita sebagai umat muslim.
Dalam
peradaban muslim modern di abad 18-19 mulai muncul pendekatan ilmu-ilmu sosial
dan kesejarahan. Tren pemikiran ini adalah mulai menganalisa masalah-masalah
pemikiran keagamaan yang telah ada sebelumnya. Bahkan dalam perkembangannya
pendekatan historikal ini melahiran studi-studi empiris seperti Antropologi
agama, Sosiologi agama, Psikologi agama, dan fenomena keberagaman. Tujuan dari
pendekatan historis ini adalah semata-mata untuk membuat umat muslim sekarang
agar lebih kritis dalam wacana-wacana keeagamaan, karena bagaimanapun juga
wacana mengenai pemahaman keagamaan adalah hasil pemikiran manusia dan tidak
menutup kemungkinan bagi kita untuk melakukan kritik terhadapnya.
Dalam
kajian Islam historis, tidak ada satu ketetapan atau hukum yang bersifat tetap,
kecuali ketetapan yang telah diturunkan allah swt. Hukum Islam khususnya
wacana-wacana fiqhi merupakan hasil produk pemikiran manusia, pemikiran itu
menurut Amin Abdullah berdasarkan aspek historis dari kehidupan pemikir pada
kala itu, sehingga hal itu mempengaruhi pemikiranya pula. Ketika hukum-hukum
itu berhadapan dengan masalah kita sekarang yang ada dizaman modern ini, maka
kadang kala hukum-hukum itu membuat kita terikat da kaku. Hal in disebabkan
oleh hukum-hkum tersebut tidak sesuai dengan sejarah kehidupan kita sekarang.
Islam
historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran dan
interpretasi mengenai teks dari manusia itu sendiri. Dengan adanya masalah kita
yang semakin kompleks, maka tidak ada salahnya bagi kita untuk menghasilkan
pemikiran kita berdasarkan pada sejarah kehidupan kita sendiri. Sejarah atau
historis adalah ilmu yang melihat dan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek,
latar belakang, dan pelaku dari peristiwa itu. Melalui pendekatan sejarah
kiraya seseorang dapat diajak untuk menukik dari idealis ke alam yang bersifat
empiris, dan ketika semua itu tejadi maka Islam akan nampak sebagai suatu
pegetahuan atau (Islamic Studdy).
Suatu hal
yang harus kita ketahui bersama bahwa, agama khususnya Islam adalah agama yang
turun dengan situasi yang konkret atau real. Agama Islam dalam perjalanannya
adalah agama yang sangat sedikit mendapatkan mu’zizat seperti apa yang
dikatakan oleh Karen Armstrong. Agama Islam adalah agama yang berkembang dengan
realistis tanpa ada campur angan tuhan secara angsung didalamnya, sehingga
agama Islam dapat menerima berbagai macam budaya dan pemikiran dari luar
dirinya. Contohnya adalah bagaimana al-Kindi berusaha menggabungkan pemikirran
Islam dengan pemikiran Plato dan bagaimana Ibnu Rusyd mencoba untuk dialektis
terhadap pemikiran Ariestoteles. Hanya saja dalam perjalanannya,pemikiran Islam
seperti ini banyak di tentang oleh para dogmatis, dan fundamentalis, namun bagi
Amin Abdullah ini hanyalah sikap berlebihan dari para ortodoks itu.
Pemikiran M Amin Abdullah: dari Normativitas-Historisitas
menuju Integratif-Interkonektif
Jika
dilihat dari karyanya yang ada, setidaknya ada dua pemikiran besar Amin Abdullah
yang pada dasarnya keduanya merupakan respon dari konteks dan persoalan
yang sedang dihadapi oleh kaum muslimin. Pertama adalah persoalan
pemahaman terhadap keislaman yang selama ini dipahami sebagai dogma yang baku,
hal ini karena pada umumnya normativitas ajaran wahyu ditelaah lewat
pendekatan doktrinal teologis. Pendekatan ini berangkat dari teks kitab suci
yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang tekstualis dan skripturalis.
Sedangkan
disisi lain untuk melihat historisitas keberagamaan manusia, pendekatan
sosial keagamaan digunakan melalui pendekatan historis, sosiologis,
antropologis dan lain sebagainya, yang bagi kelompok pertama dianggap
reduksionis, sementara pendapat Ben Agger tentang historisitas
mengacu kepada hubungan historis pola-pola sosial. Historisitas masyarakt
mengandaikan pala-pala masa laud an masa kini.
Kedua pendekatan ini bagi Amin Abdullah
merupakan hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua
jenis pendekatan ini merupakan pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan
pendekatan yang bersifat histories-empiris ini sangat diperlukan dalam melihat
keberagamaan masyarakat pluralistik. Kedua pendekatan ini akan saling
mengoreksi, menegur dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan
tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi
agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna.
Pendekatan teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada
keterkungkungan berfikir sehingga akan muncul truth claim sehingga
melalaui pendekatan histories-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek
eksternal seperti aspek sosial, politik dan ekonomi yang ikut bercampur dalam
praktek-praktek ajaran teologis.
M. Amin Abdullah juga
menuturkan di dalam kata pengantarnya dalam buku “Pendekatan Terhadap Studi
Islam dalam Studi Agama”, bahwa paradigma integrasi-interkoneksi ilmu pada
hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan, termasuk
antar pendekatan yang dipakai dalam kajian, sebenarnya saling memiliki
keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut
adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi dan focus perhatian
yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda.
Di
sinilah, Amin Abdullah berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai
dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di sisi yang lain mampu menjawab
tuntutan zaman, dimana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berfikir, kreativitas
dan inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berfikir.
Keterkungkungan berfikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif,
dimana meyakini kebenaran tunggal, tidak berubah, dan dijadikan pedoman mutlak
manusia dalam menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan
“hukum baku” tersebut.
Dalam buku
Integrasi-Interkoneksi Keilmuan Biografi Intelektual M. Amin Abdullah
menurutnya, awalnya hubungan antara dimensi normativitas dan historisitas
seperti manusia itu sendiri. Keberadaan manusia itu terdiri dari dua sisi
“normativitas” dan sisi “historisitas”. Ini bisa diibaratkan dengan sebuah koin
(mata uang) dengan dua permukaan, hubungan antara kedua koin tidak bisa
dipisahkan tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Jadi kalimat tidak
dapat dipisahkan inilah yang disebut “integrasi” dan kalimat dapat
dibedakan inilah yang disebut dengan interkoneksi.
Sedangkan yang kedua adalah paradigma
keilmuan integratif-interkonektif. Paradigma ini juga dibangun sebagai respon
atas persoalan masyarakat saat ini dimana era globalilasi banyak memunculkan
kompleksitas persoalan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah disinggung
sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini merupakan
tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup
tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma
ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi
dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan
sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama,
saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan
dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling
bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu akan menjadikan narrowmindedness.
Secara aksiologis, paradigma interkoneksitas menawarkan
pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka,
mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan. Sedangkan secara
antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka
dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar disiplin keilmuan
ini masih tetap ada. Lebih lanjut tentang paradigma interkonektif dan
integratif ini akan penulis paparkan di bawah ini.
2. Memahami
Paradigma Integrasi-Interkoneksi M. Amin Abdullah
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, paradigma keilmuan integratif
dan interkonektif merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam
menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi
dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas
fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan
apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat
berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai
disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh
manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu
akan menjadikan narrowmindedness.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk
didalamnya perkembangan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, yang begitu pesat secara
relatif memperdekat jarak perbedaan budaya antara satu wilayah dengan wilayah
yang lain. Hal demikian, pada gilirannya juga mempunyai pengaruh yang cukup
besar terhadap kesadaran manusia tentang apa yang disebut “agama”. Agama untuk
era sekarang tidak lagi dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan
teologis-normatif semata-mata.
Pada penghujung abad ke 19, lebih-lebih pada
pertengahan abad ke 20, terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang “agama”
dari yang dahulu terbatas pada “Idealitas” ke arah “historisitas”, dari
“doktrin” ke arah entitas “sosiologis dari diskursus “esensi” ke arah
“eksistensi”.
Perkembangan
studi ilmu-ilmu sosial, terlebih-lebih lagi ilmu-ilmu agama (religionwissenschaft)
sebenarnya belum lama. Pendekatan empiris terhadap fenomena keberagamaan
manusia baru muncul sekitar abad ke-19. Terlepas dari kontroversi keinginan
beberapa peneliti untuk menggunakan metodologi ilmu-ilmu kealaman untuk
meneliti fenomena sosial, namun studi dan pengamatan empiris terhadap fenomena
sosial keagamaan adalah merupakan suatu perkembangan yang sama sekali baru.
Ilmu-ilmu
Islam yang ‘ortodoks’ (fiqh, tasawuf, teologi) secara relatif tidak atau kurang
mengenal diskursus baru ini. Hampir semua pemikiran Islam kontemporer mengakui
hal ini. Hasan Hanafi, sebagai contoh, melihat dengan nyata menghilangnya
nuansa pemikiran ‘historis’ dalam wacana keilmuan Islam. Sejak al-Kindi,
al-Farabi, sampai sekarang. Filsafat Islam hanya menyinggung masalah mantiq,
Tabi’iyyat dan Ilahiyyat. Ilmu-ilmu kemanusiaan (insaniah) dan sejarah (tarikh)
tidak atau belum pernah menjadi sudut bidik telaah keilmuan Islam yang serius.
Orang boleh mencatat sebagai pengecualian yang amat sangat jarang seperti Ibnu
Khaldun.[
Suatu hal yang paling nampak dalam perkembangan epistemologi seperti yang
dirasakan oleh mayarakat Barat modern adalah penemuan atau penerapan sains dan
teknologi—yang dengan keberhasilannya sangat berbeda jauh dengan kegiatan
(kreativitas) para filosof sebelumnya, sehingga pada masa ini dijuluki dengan
zaman pencerahan. Namun pada masa ini juga masyarakat modern semakin menyadari
bahwa penerapan sains dan teknologi berdampak negatif, karena dengan asumsi
bahwa “ilmu adalah bebas nilai” itu ternyata membawa pada dehumanisasi—yang
menjaukan diri dari nilai-nilai keagamaan. Berawal dari kesadaran inilah
masyarakat modern untuk menggali kembali hubungan harmonis antara sains dan
agama.
Jika diruntut kebelakang, epistemologi model
pemikiran Plato (al-Farabi) dan model pemikiran Aristotle (Ibnu Rush) memang
dapat dibedakan secara tegas. Pemikiran metafisik-spekulatif model pemikiran
Christian Wolff dan pemikiran empiris model Hume dan Berkeley juga dapat
dibedakan secara mendasar. Jika di Barat, dalam poses perjalanan sejarah
menemukan tokoh Immanuel Kant, yang dapat mengawinkan antara tradisi idealis
dengan tradisi empiris, di dalam Islam agaknya belum ditemukan tokoh serupa. Mungkin saatnya sekaranglah untuk mencoba
mereduksi hal tersebut.
Bukan masanya
sekarang disiplin ilmu –ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak
dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula
sebaliknya, dengan cara mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial secara sistematik.
Hal ini bukan berarti bahwa peran nuansa-nuansa teologis dalam memberikan warna
terhadap bentuk-bentuk aktivisme keislaman diabaikan sama sekali. Nuansa-nuansa
teologis itu tentu saja harus dipahami secara memadai dengan memakai
pendekatan-pendekatan klasik yang berakar didalam kajian-kajian Islam
konvensional.
Muhammad Abid al-Jabiry dalam Amin Abdullah mengatakan: Adalah merupakan
kecelakaan sejarah umat Islam, ketika bangunan keilmuan natural sciences (al-ulum
al-kauniyyah) menjadi terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali dengan
ilmu-ilmu keislaman yang pondasi dasarnya adalah “teks” atau nash. Meskipun
peradaban Islam klasik pernah mengukir sejarahnya dengan nama-nama yang dikenal
menguasai ilmu-ilmu kealaman, antara lain seperti Al-Biruni (w. 1041) seorang
ensiklopedis muslim, Ibn Sina seorang filosuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitsam
(w.1039) seorang fisikawan, dan lain-lain. Sayang perguruan tinggi Islam, yang
ada sekarang kurang mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya
lagi, lebih-lebih perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang
sekarang ini, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu
keislaman yang ada sekarang.
Paradigma Integrasi-interkoneksi
hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan tersebut
sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh
disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta, hanya saja dimensi dan
focus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena
itu, rasa superior, eksklusifitas, pemilihan secara dikotomis terhadap
bidang-bidang keilmuan yang dimaksud hanya akan merugikan diri sendiri, baik
secara psikologis maupun secara ilmiah-akademis.
Integrasi
keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum
yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh
karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana.
Interkoneksitas yang dimaksud adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena
kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan
apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak
dapat berdiri sendiri, maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling
membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.
Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan
peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam
sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.
a) Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama
berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan
yang lainnya.
b) Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona,
sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
c) Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami
keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan
sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh
tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki
kekurangan yang melekat pada diri sendiri.
Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan
antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana
keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang natural
(sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi
yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan,
termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang
Amin Abdullah
memberikan contoh konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah
Ekonomi Syariah, yang prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan.
Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudharabah)
dan kerja sama (al-Musyarakah). Di sini Islam mengalami objektivitas
dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik
muslim maupun non muslim, bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola kerja
keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik
dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi,
sosiologi, antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan
internasional, hukum dan peradilan dan seterusnya.
D.
Analisis Epistemologis atas Bangunan Filosofis Tokoh
Setidaknya terdapat lima elemen-elemen yang harus dijelaskan dalam epistemologi yaitu: hakikat/sumber
pengetahuan, instrumen
pengetahuan, metode perolehan pengetahuan, pengujian kebenaran pengetahuan
(validitas pengetahuan), dan teori kebenaran. Brikut analisis atas kajiantokoh
yang ditawarkan M. Amin Abdullah:
1.
Hakikat/Sumber
Pengetahuan
Konsep pendidikan agama yang rahmatan li
al-’a>lami>n merupakan wahyu Tuhan yang menjanjikan kebahagiaan hidup
manusia dengan memberikan konsep aturan kehidupan yang berupa aturan dan
nilai-nilai ajaran agama meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri,
dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Kitab suci
terbesar yang diturunkan oleh Allah SWT yakni al-Qur’an merupakan puncak dari
segala desain ilmu yang di dalamnya tertuang segala aspek keilmuan sebagai
petunjuk arah umat manusia dalam pengemban potensi yang dimiliki.
Sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan,
dan pengetahuan dalam segala aspeknya memang berasal dari agama. Agama tidak
pernah mengajarkan bahwa wahyu Tuhan hanya sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu
pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia.
Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris. Agama memberikan aturan
bagaimana sebuah kebenaran ilmu dapat diukur, bagaimana ilmu diproduksi, dan
bagaimana seharusnya tujuan-tujuan ilmu diarahkan. Dimensi aksiologi dalam
teologi ilmu ini penting untuk digarisbawahi, sebelum manusia keluar
mengembangkan ilmu. Selain ontologi dan epistemologi keilmuan, agama sangat
menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu yang lahir dari induk agama harus
menjadi ilmu yang objektif. Dalam artian, bahwa ilmu yang dihasilkan tersebut
tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama, dan anti agama sebagai
nilai normativitas semata, tetapi sebagai gejala keilmuan objektif, meliputi
sisi historisitas-empirisitas. Maka objektifikasi ilmu merupakan hasil dari
pemikiran dari orang-orang beriman untuk seluruh manusia yang bersifat
menyejukkan dan damai bukan sebaliknya. Jadi, hakikatnya pengetahuan itu
haruslah objektif, artinya harus dapat dirasakan dan bermanfaat bagi seluruh
umat manusia. Sebagaimana yang telah digariskan dalam ide dasar ajaran Islam,
yakni Islam sebagai rahmatan li al-’a>lami>n.
2.
Instrumen
Pengetahuan
Dalam pandangan filsafat ilmu, segala macam
aspek-aspek ilmu pengetahuan yang ada meliputi ilmu-ilmu sosial, ilmu alam
maupun ilmu-ilmu keagamaan, dalam perkembangannya selalu mengalami dialektika
keilmuan yang mengakibatkan adanya shifting paradigm (pergeseran gugusan
pemikiran keilmuan). Hal ini erat kaitannya dengan kegiatan ilmu pengetahuan
yang bersifat historis, dengan rancang bangun dari pemikiran manusia yang juga
tidak dapat melepaskan dirinya dari sifat historis, maksudnya terikat oleh
ruang dan waktu, terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dan perkembangan
kehidupan sosial yang mengitari penggal waktu tertentu. Dengan begitu sangat
dimungkinkan terjadinya dialog yang kemudian menampilkan sistem perubahan,
pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, munculnya teori-teori baru, serta
penyempurnaan rancang bangun epistemologi keilmuan. Jika tidak demikian, maka
kegiatan keilmuan tidak akan berjalan dan mengakibatkan usangnya pengetahuan
keilmuan itu sendiri.
Oleh karena itu, dengan menggunakan bahasa dan
pola berpikir yang disesuaikan dengan muatan pengalaman manusia moderen era
ilmu dan teknologi tanpa meninggalkan warisan khazanah intelektual Islam, dapat
dijadikan sebagai pijakan pengetahuan manusia dalam mengikuti perkembangan
paradigma kehidupan. Menurut hemat penulis, antara bahasa, pola berpikir dan
diikuti dengan pengalaman dalam mengarungi hidup memang akan menentukan
bagaimana arah perkembangan manusia. Sehingga hal tersebut tidak dapat
dipisahkan dalam proses kehidupan manusia, karena sejak awal manusia terlahir
telah mendapatkan bekal untuk berbahasa dan berpikir dalam rangka pengembangan
potensi untuk hidup berkemajuan.
3.
Metode
Memperoleh Pengetahuan
Dalam dunia pemikiran Muslim setidaknya ada
tiga macam teori pengetahuan, pertama, pengetahuan rasional (Al Farabi, Ibn
Sina, Ibn Rusdh); kedua, pengetahuan inderawi yang terbatas kepada klasifikasi
sumber perolehan ilmu pengetahuan, belum ada filosof muslim yang mengembangkan
teori ini seperti empirisisme di Barat, dan ketiga, adalah pengetahuan kasyf
yang diperoleh lewat ilham. Metode perolehan ilmu lewat jalan pertama dan
ketiga saat ini dirasakan masih yang dominan dalam dunia pemikiran Muslim.
Sedang perolehan ilmu lewat cara yang kedua kurang mendapat perhatian yang
layak, meskipun al-Qur’an sendiri memberikan ruang perolehan ilmu lewat indera
sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. dalam perjalanannya mencari
Tuhan.
Dengan memahami realitas bahwa perkembangan
dunia Islam dalam sarana perolehan ilmu lebih pada pengetahuan rasional dan kasyf
maka menurut Amin Abdullah sisi empiris perlu diletakkan secara
proporsional positif dalam epistemologi Islam. Walaupun proses tersebut
dirasakan memerlukan energi yang cukup besar karena telah berkembang sedemikian
rupa di kalangan umat Islam. Dengan mengedepankan mentalitas semangat kritis
empiris dan mempunyai semangat keingintahuan intelektual yang mendalam (curiosity)
serta berupaya untuk merealisasikannya maka akan melahirkan empirisme dalam
satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas, sehingga
diharapkan epistemologi islami akan lahir dan memberi produktivitas keilmuan
yang memberi jalan positif atas kegelisahan umat dewasa ini yang di nilai
semakin memudar etosnya.
4.
Pengujian
Kebenaran Pengetahuan (Validitas Pengetahuan)
Untuk menguji kesahihan
sebuah pengetahuan, haruslah kemudian diuji kebenarannya agar dapat dijadikan
sandaran dalam kehidupan. Adapun tolok ukur validitas pengetahuan menurut Amin
Abdullah ada tiga, yaitu konsistensi, koherensi dan korespondensi. Konsistensi
berasal dari bahasa latinconsitere yang berarti “berdiri bersama”. Jadi
konsistensi artinya sesuai, harmoni, atau menurut pengistilahan teknik filsafat
“hubungan logis”. Sebuah pengetahuan haruslah menghargai pengetahuan lain
dengan memiliki hubungan terpadu antar pengetahuan. sementara itu, koherensi
berasal dari bahasa latin cohaerere yang berarti lekat satu dengan
lainnya. Koherensi merupakan teori kebenaran yang yang menegaskan
bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian, atau
informasi) dianggap benar apabila memiliki hibungan ddengan gagasan dari
proporsi sebelumnya yang juga sahaih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan logika.Koherensi yang dimaksud
disini adalah satu poin ilmu harus terkait dengan poin ilmu yang lain, tidak
terlepas sendiri-sendiri. Yang terakhir, korespondensi berasal dari dua kata
latin, yaitu co yang berarti bersama, dan respondere yang berarti
menjawab. Jadi korespondensi adalah praktis dari pengetahuan itu, yakni sama
antara teori dengan praktik, antara konsep murni dan terapan. Jadi korespondensi
merupakan teori kebenaran yang mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih
apabila propordi bersesuaian dengan realitas menjadi objek pengetahuan itu.
Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan
kepastian indrawi
Dari ketiga kriteria yang
menjadi tolok ukur filsafat ilmu tersebut, dapat dilihat apakah
pengetahuan-pengetahuan dalam kurun sejarah tertentu mempunyai konsistensi,
koherensi, dan korespondensi atau tidak.
5.
Teori Kebenaran
Sebelum sampai pada pengambilan sebuah teori
kebenaran pengetahuan, Amin Abdullah sepintas melakukan telaah pergumulan
ide-ide yang disampaikan oleh tiga tokoh filsafat, yakni Thomas S. Kuhn, Karl
R. Popper dan Paul Feyerabend, khususnya yang berkaitan dengan gagasan-gagasan
mereka yang mengemuka dalam diskusi-diskusi tentang percaturan teori-teori
ilmu, dan tumbuhnya teori-teori baru yang menantang teori-teori terdahulu dalam
wacana ilmu pengetahuan. Ada dua aliran atau tradisi besar dalam filsafat ilmu
yang menjadi istilah atau terminologi analitik dari para filosof, yakni tradisi
yang bersifat naturalistik, dan tradisi humanistik.
Ketiga pakar filsafat ilmu tersebut secara
kritis analitis sepakat bahwa kekuatan inti yang dinamis, yang mendorong adanya
kemajuan ilmu pengetahuan merupakan semangat dan etos dari para ilmuwan dan
peneliti sendiri untuk memperbaiki, menyaring, menguji ulang, dan membatalkan
teori-teori terdahulu dalam bidang studi yang terkait, dengan menggunakan
metodologi-metodologi tertentu yang semakin objektif. Sehingga Amin Abdullah
mengemukakan bahwa keseluruhan hasil pemikiran dan analisis keilmuan manusia
dalam wacana ilmu pengetahuan harus selalu bersifat terbuka untuk dapat di
pertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga dapat dipertanyakan, dikritisi,
diteliti dan diuji ulang oleh siapapun yang menekuni basis keilmuan tersebut.
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dapat menemui titik tujuan yang
cemerlang jika ada usaha-usaha sebagai rintisan awal, dan di pihak lain ada
gairah dari para ilmuwan dan peneliti untuk membuang dan menghindari
kesulitan-kesulitan, anomali-anomali maupun inkonsistensi yang terdapat pada
teori-teori terdahulu yang telah dihasilkan oleh generasi sebelumnya, melalui
kegiatan ilmiah yang terencana dan disengaja untuk membuktikan kebenaran maupun
kesalahan teori-teori terdahulu. Akan tetapi yang tidak dapat dipisahkan yakni
adanya interaksi dan komunikasi antara satu disiplin ilmu dengan ilmu-ilmu yang
lain yang berada di luar domain tradisional yang menjadi pijakannya. Jadi, ilmu
pengetahuan bersifat terbuka untuk dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji
ulang untuk mendapatkan konsep pengetahuan yang lebih benar dan tepat dalam
perkembangan zaman dan perkembangan pemikiran manusia.
E.
Implikasi Bagi Ilmu Pekerjaan Sosial
M. Amin
Abdullah sebagai salah satu tokoh dalam ilmu filsafat yang menawarkan sebuah
paradigma keilmuan untuk lebih mendialogkan antara keduanya dengan tidak
melupakan klasifikasi ilmu pengetahuan, status dan ontologinya, sebab merupakan
basis bagi sebuah epistemologi. Keilmuan yang ditawarkan ialah paradigma
interkomunikasi antar ilmu pengetahuan yang di kenal dengan keilmuan
interkonektif-integratif. Hal ini dikarenakan keilmuan yang ada, baik itu
keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak akan mampu
kokoh sendirian, memiliki rasa dapat memecahkan permasalahannya, tidak
memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, oleh karena itu perasaan
merasa cukup dengan kekuatan sendiri ini akan mengakibatkan pemikiran sikap
yang terkungkung dengan polanya yang sempit atau dapat diistilahkan dengan
egoisme disiplin keilmuan.
Asumsi
dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas
fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan
apapun tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur
sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang
dihadapi oleh manusia.
Dari paparan
diatas menurut hemat penulis seperti kita ketahui bahwa pekerjaan sosial
merupakan suatu bidang keilmuan meminjam berbagai teori dari ilmu-ilmu lain,
seprti: psikologi ia meminjam beberapa teori tingkah laku, systems social,
psikososial teori, dan beberapa dari teori client centre, sementara ilmu
ekonomi, yang lebih cendrung digunakan dalam aspek model-model pemberdayaan
dalam hal peningkatan taraf hidup, sosiologi bagaimana tatanan masyarakat dan
hubungan antara klien dan lingkungannya, ilmu politik ini bagaimana tinjauan
dari aspek pengmabilan kebijakan sosial dan dan pembangunan sosial, dan
berbagai ilmu sosial lainnya. Dari ungkapan diatas
sudah cukup jelas dengan melihat sejarah terbentuknya dan perkembangan ilmu
pekerjaan sosial dari abad ke-19 dan 20.
Dari uraian
di atas, pemikiran M Amin Abdullah telah membuka wawasan baru terkait dengan
eksistensi ilmu pekerjaan sosial terutama terkait dengan paradigma interkoneksitas. Apabila kita merujuk kepada nilai-nilai dan tantangan globalisasi dan
internasionalisasi masalah pekerjaan sosial sehingga mampu melahirkan beberapa
konsep pribumisasi/indigienisasi pekerjaan sosial yang sesuai dengan konteks
nilai dan budaya yang dianut oleh masyarakat.
Ini dapat terlihat
menurut pemikiran yang diutarakan oleh M Amin Abdullah bahwa, secara aksiologis, paradigma interkoneksitas
menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih
terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan. Pemikiran M
Amin Abdullah tentang interkonektif-integratif setidaknya telah mendorong penedekatan dalam
pengembangan teori praktek pekerjaan sosial salah satu posisi yang ditawarkan
adalah, posisi indeginisasi atau pengkontekstualisasi. Sedangkan posisi lain
seperti otentisasi, dan posisi internasional yang multibudaya. Sumbangan ketiga
posisi ini dalam mengembangkan praktik pekerjaan social pribumi.[25]
Berbicara interkonektif-integratif telah membuka jalan
seluas-luasnya untuk mengkontekstualisasikan ilmu-ilmu sosial terutama
pekerjaan sosial di dalam proses intervensinya. Didalam ilmu politik pun
terjadi dengan hal yang serupa ketika Gabriel Almond kesulitan membuat skema metode
perbandingan sistem-sistem politik, lantas dia meminjam konsep-konsep sosiologi
antropologi. Dengan jalan ini ia kemudian mampu menyempurnakan skemanya.Demikian
juga yang terjadi dengan ilmu pekerjaan sosial ketika mencari aspek aksiologis
keilmuannya ditanya oleh khalayk umum.
Sebagai contoh
pendekatan mengintegrasikan pemberian bantuan pribumi ke dalam pekerjaan sosial
ini berbeda dari apa yang dipromosikan Barat dalam kaitan dengan pemberian
bantuan nonprofessional. Di Barat para pekerja sosial di dorong untuk mengakui
nilai kalangan nonprofessional dan para pemberi bantuan awam serta didorong
untuk menemukan cara-cara melengkapi dan bekerja dengan mereka. Namun demikian
pendekatan ini lebih berkaitan dengan bagaimana kalangan profesional dapat
belajar dari pemberian bantuan alamiah atau pribumi.
Pendekatan-pendekatan
di atas menarik pengertian tentang pentingnya memahami suatu definisi budaya
dari masalah-masalah dan selanjutnya isi pemberian bantuan serta pentingnya
mengidentifikasi proses-proses pemberian bantuan yang dapat diterima secara
budaya atau bersifat pribumi. Pekerjaan social dapat dibangun berdasarkan dan
belajar dari beberapa cara tradisional dalam memberikan bantuan dengan menguji
tema-tema budaya dan proses pemberian bantuan dalam pendekatan para pemberi
bantuan pribumi.
Dari contoh di atas, menunjukkan konsep keilmuan
interkonektif-integratif menjadi upaya tindak lanjut yang lebih luas dari
kontekstualisasi ilmu pengetahuan dan saintifikasi Islam.
Interkonektif-integratif menampilkan paradigma keleluasaan dalam membuka
tabir-tabir antar disiplin keilmuan dan memberikan ruang komunikasi lebih
mendalam antara ilmu-ilmu yang dianut dari Barat dengan penerapan yang
dilakukan dalam hal ini Indonesia dengan dilandasi kesadaran rendah hati dan
rasa kemanusiaan dalam pengembangan bangunan-bangunan disiplin keilmuan.
F. Penutup
Berdasarkan uraian di
atas, dapat dikemukakan beberapa catatan penutup sebagai berikut:
1. Dalam realitas kehidupan
masih ada pemahaman yang belum sinkron tentang hubungan antara ilmu-ilmu agama
dengan ilmu pengetahuan umum karena dipahami ilmu agama menempati ruang yang
berbeda dengan ilmu-ilmu umum. Pemahaman tersebut mengakibatkan adanya sikap yang
mengarah pada pengambilan sekat atau jarak untuk memberikan ruang yang berbeda
antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan, sehingga dilihat dari sudut
pandang ini antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan sangat sulit disatukan
dengan metode dan cara tertentu. Amin Abdullah berusaha untuk meluruskan dan
membenahi alur berfikir dikotomis atomistik melalui ide pendekatan
interkonektif-integratif. Paradigma
interkonektif-integratif dapat dipahami sebagai upaya membangun kerjasama yang
efektif dan mendalam sedemikian rupa antar berbagai disiplin keilmuan sehingga
terjadi komunikasi efektif dari bangunan-bangunan keilmuan, baik keilmuan
agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman.
2.
Implikasi pemikiran M Amin Abdullah dengan ilmu-ilmu sosial dan pekerjaaan
sosial dengan asumsi
dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas
fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan
apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat
berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai
disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh
manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu
akan menjadi sempit. Karena kita ketahui
bahwa pekerjaan social meminjam berbagai teori dari ilmu-ilmu lain, seprti:
psikologi, ekonomi, sosiologi, psikososial teori, systems social, dan berbagai
ilmu sosial lainnya.
3. Sementara sumber pengetahuan ada dua, yaitu pengetahuan yang berasal dari tuhan dan berasal dari manusia. Obyektif merupakan hakikat ilmu pengetahuan.
Bahasa, pola berpikir diikuti pengalaman manusia merupakan alat pengetahuan
manusia. Adapun teori pengetahuan yakni pengetahuan bersifat terbuka untuk dapat
dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji ulang. Sedangkan menggunakan
konsistensi, koherensi, dan korespondensi suatu kebenaran dapat diuji
validitasnya.