Senin, 11 Desember 2017

Peranan Hukum Islam Dalam Merubah Struktur Masyarakat


A.      Latar Belakang
Hukum Islam diturunkan oleh Allah bertujuan untuk mencegah kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan mengarahkan kepada kebenaran, keadilan dan kebijakan serta menerangkan jalan yang harus dilaluinya. Dalam hal ini bertumpu pada lima prioritas utama yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Dengan berlandaskan Alquran yang bersifat universal dan dinamis.
Hukum Islam dengan segala keunggulannya, merupakan aturan Tuhan yang bertujuan memberikan kebaikan dan kemudahan kepada umat manusia. Dengan demikian, Hukum Islam mempunyai beberapa kekhasan yang tidak dimiliki oleh hukum manapun di dunia. Kekhasan tersebut diantaranya adalah sifatnya yang fleksibel. Adanya sifat fleksibel tersebut, selain untuk kemudahan umat dalam mengaktualisasikan titah Tuhan, juga merupakan bentuk konkret dari humanitas hukum samawi.

Perubahan hukum Islam itu untuk menyesuaikan dengan konteks zaman sekaligus dengan karakter masyarakatnya. Sehingga Islam yang ada di arab tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia karena masyarakat Indonesia memiliki karakter sendiri. formulasi hukum Islam untuk menjawab kebutuhan zaman tersebut harus didasarkan kepada maqasid al-syari’ah sekaligus maslahah. Sebagai agama rahmatanlilalamin, Islam memiliki prinsip-prinsip yang harus ditegakkan seperti prinsip keadilan, kebebasan dan sikap toleran terhadap agama yang lain.







B.        Rumusan Masalah
1.    Apa definisi hukum islam dan struktur masyarakat?
2.    Bagaimana perkembangan hukum islam di indonesia?
3.    Bagaimana karakteristik  hukum islam di indonesia?
4.    Apa peran hukum islam ?
C.      Tujuan Dan Manfaat.
1.      Untuk mengetahui definisi hukum islam dan struktur masyarakat.
2.      Untuk mengetahui perkembangan hukum islam di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui karakteristik  hukum islam di indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Hukum Islam Dan Struktur Masyarakat
a.      Definisi Hukum Islam
syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatnya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliah.
         Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadanya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.
        Menurut Muhammad Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan) yang disebut juga syara, millah dan diin. [1]

b.      Definisi Struktur Masyarakat
Secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal.
Struktur masyarakat diartikan sebagai susunan terhadap sesuatu yang memiliki bagian atau unsur-unsur dan membentuk suatu susunan. Berdasarkan Kamus Sosiologi dan Kependudukan struktur masyarakat ialah jaringan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok, serta lapisan-lapisan sosial.[2]

B.        Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Perkembangan/pertumbuhan hukum islam di Indonesia sejak mulai massuknya agama islam sampai menjadi salah satu sistem hukum yang banyak penganutnya, dapat dibagi tiga pembahasan.
a.        Masa Kedatangan Islam di Indonesia
Berbicara pada pertumbuhan hukum islam di Indonesia, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan kapan dan bagaimana masuknya agama Islam di Indonesia. Hal ini dikemukakan agar dapat memperoleh gambaran betapa bangsa kita menyambut agama ini sampai menjadi agama dengan pengunut yang terbesar.
Persoalan kapan dan bagaimana masuknya agama islam di Indonesia ini terdapat dua pendapat yaitu :
Pendapat Pertama mengatakan bahwa masuknya agama islam di Indonesia pada permulaan abad XIII M yang dibawa oleh orang – orang yang berasal dari Persi ke Gujarat India kemudian pedagang Gujarat India membawake indonesia. Sebagai buktinya bahwa bentuk, bahan dan tulisan yang terdapat pada makam Maulana Malik Ibrahim mirip dengan bentuk, bahan dan galian yang terdapat pada makam –makam raja Hindustan.
Pendapat Kedua  mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dibawa langsung dari negeri Arab oleh bangsa Arab sendiri pada abad VII masehi.
Sejarah telah membuktikan bahwa mulanya proses pengislaman di Indonesia berlangsung tanpa disadari, tiba  - tiba mengalami perkembangan yang pesat dan cepat walaupun harus diakui waktu itu memang sudah ada isme-isme yang menguasai alam pikiran bangsa Indonesia misalnya isme tradisional dan agama hindu.
Perkembangan yang pesar dan dinamis ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menentukan antara lain :
1.       Adanya sifat demokratis agama islam itu sendiri.
2.      Cara masuk islam yang mudah.
3.      Agama Islam mudah menyesuaikan diri.
4.      Pribadi dan Akhlak orang islam sangat tinggi.
Penyebaran islam pada mulanya hanya pada dua titik yaitu Sumatra Utara tepatnya di aceh dan pesisir pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Rembang, Tubanng, dan Gresik. Dari Sumatra Utara ini Islam menyebar ke Pedalaman Minangkabau sementara di Sumatra Selatan Agama Islam berkembang melalui Banten.
Di Pulau Jawa, Agama islam berkembang dan menyebar melalui kelompok orang – orang penyebar agama Islam yaitu para wali, yang biasa dikenal dengan sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Dengan perantara mereka inilah Islam di Demak, Pajang Mataram dan Banten, akhirnya sampai merata di Pulau jawa. Dengan Masuknya agama Islam di Tanah Air maka hukum- hukumnya juga turut serta didalamnya.
Hukum Islam terdiri dari tiga aspek yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan. Ketiga aspek yang dimaksud adalah, aspek akidah, aspek syariat, dan aspek filsafat.Di antara ketiga aspek tersebut yang paling penting adalah aspek syariatnya/ aspek hukumnya, oleh karena aspek hukum tersebut merupakan jiwa agama islam.
b.      Masa Pemerintahan Hindia belanda
Pada masa pemerintahan hindia Belanda mulai berkuasa Indonesia hukun islam telah berkembang sedemikian pesatnya. Hal ini dapat dilihat bahwa di daerah-daerah yang masyarakatnya mayoritas agama Islam pengaruhnya sangat menonjol.
Di samping hukum Islam, Hukum adat sebagai suatu sistem hukum juga berlaku ditengah-tengah masyrakat sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang berdasrkan alam fikiran bangsa Indonesia. Antara kedua sistem hukum itu dalam perkembangannya saling mempengaruhi, seolah diantara keduanya terjadi singkronisasi.
Dengan berdasarkan pada teori pemerintahan Hindia belanda berhasil memperkecil peranan Hukum Islam dalam hukum positif, sehingga hanya terbatas pada hukum perkawinan dan perceraian serta mengenai badan hukum yang berbentuk wakaf, Hibah, Wasiat dan Shadakah.
Sebagai konsekuensi diakuinya Hukum Islam dalam peraturan peraundang – undangan Hindia belanda sebagimana tercantum dalam beberapa pasal RR dan IS.
c.          Masa Sesudah Kemerdekaan
Sesudah proklamasi kemerdekaan, perkembangan hukum islam lebih maju lagi dibandingkan dengan keadaannya pada tahun – tahun sebelum kemerdekaan.
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan Bahwa Negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap – tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu.
Sebagai salah satu bentuk dari kemerdekaan beragama sebagai mana terantum dalam pasal 29 ayat (2), maka pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama yang bertugas mengurus berbagai urusan yang menyangkut masalah – masalah keagamaan ( termasuk hukum agama ) di Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya beberapa bidang hukum islam telah dinyatakan diterima dalam hukum nasional sebagai hukum positif seperti Hukum Perkawinan dalam UU No 1 Tahun 1874.
Pembentukan berbagai pesantren dan madrasah-madrasah islamiyah bernafaskan Islam turut menjadi warna tersendiri terhadap perkembangan Hukum Islam di Indonesia.[3]
C.       Karakteristik Hukum Islam Di Indonesia
Hukum Islam memiliki watak tertentu dan beberapa karakteristik yang membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal dari proses penerapan dalam lintas sejarah menuju ridha Allah swt. Dalam hal ini beberapa karakteristik hukum Islam bersifat sempurna, elastis dan dinamis, universal, sistematis, berangsur-angsur dan bersifat ta’abuddi serta ta’aquli.
a.       Sempurna
Berarti hukum itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasari bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja. Sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al Quran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu[4]
b.        Harakah (Elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku)
Hukum Islam bersifat dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat[5]Hukum Islam bersifat elastis meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Hukum Islam tidak kaku dan tidak memaksa melainkan hanya memberikan kaidah dan patokan dasar secara umum dan global. Sehingga diharapkan tumbuh dan berkembang proses ijtihad yang mengindikasikan bahwa hukum Islam memang bersifat elastis dan dinamis, dapat diterima di segala situasi dan kondisi[6]
Ada 2 segi yang dapat dibentangkan secara faktual menyangkut argumentasi mengapa hukum Islam memiliki karakter elastis (harakah), yakni :
a)      Menyangkut masalah hukum dalam memberi beban taklif kepada subjek hukum (mukallaf).
b)      Penetapan-penetapan hukum bagi para subjek hukum selalu memperhitungkan kondisi-kondisi khusus subjek hukum dalam menjalankan hukum mereka. Setiap diberlakukannya suatu hukum bagi mukallaf (subjek hukum) diberlakukan pula hukum-hukum pengecualian atau keringanan (azimah dan rukhshah). Perhitungan terhadap kondisi-kondisi seperti itu mencakup
c.         Ijmali (Universalitas)
              Ajaran Islam bersifat universal, meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Di samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).[7] Misalnya pada zaman modern ini kita tidak menemukan secara tersurat dalam sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadits) mengenai masalah yang sedang berkembang pada abad 20 ini, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad, baik itu qiyas dan sebagainya kita bisa mengleuarkan istinbath hukum dari hukum yang telah ada dengan mengambil persamaan illatnya.
Ini berarti hukum Islam itu dapat menjawab segala tantangan zaman. Sebenarnya hukum pada setiap perkembangan zaman itu sudah tersirat dalam Al-Qur’an dan hanya kita sebagai manusia apakah bisa menggunakan akal kita untuk berijtihad dalam mengambul suatu putusan hukum tersebut.Hukum Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa dan bahasa. Keuniversalan ini tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-7, misalnya). Tetapi untuk semua zaman hukum Islam menghimpun segala sudut dari segi yang berbeda-beda di dalam satu kesatuan dan akan selalu cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi ataupun modern, seperti halnya hukum Islam dapat melayani para ahl ‘aqlahl naql dan ahl ro’yi atau ahl hadits.[8]
Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam memenuhi sifat dan karaktersitik tersebut terdapat dalam Al-Qur’an yang merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia Firman Allah SWT  
Artinya :
Dan Kami (Allah) tidak mengutsu kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya untuk membawa berita gembira dan berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Saba: 28).
Konstitusi Negara Muslim pertama, Madinah, menyetujui dan melindungi kepercayaan non Muslim dan kebebasan mereka untuk mendakwahkan. Konstitusi ini merupakan kesepakatn antara Muslim dengan Yahudi, serta orang-orang Arab yang bergabung di dalamnya. Non Muslim dibebaskan dari keharusan membela negara dengan membayar jizyah, yang berarti hak hidup dan hak milik mereka dijamin. Istilah zimmi berarti orang non Muslim dilindungi Allah dan Rasul, kepada orang-orang non Muslim itu diberikan hak otonomi yudisial tertentu.
d.       Sistematis
Berarti antara satu ajaran dengan ajaran yang lain saling bertautan, bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis. Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat al Quran yang selalu menghubungkan antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu hukum Islam mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi tetapi juga tidak melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi
e.       Berangsur-angsur (tadrij)
Hukum Islam dibentuk secara tadrij dan didasarkan pada al Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran ini memberikan jalan kepada manusia untuk melakukan pembaruan karena hidup manusia selalu mengalami perubahan. Pembaruan yang dimaksud adalah memperbarui pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai dengan perkembangan manusia dalam berbagai bidang.
f.       Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli
Hukum Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt, yakni beriman kepadaNya. Dan segala konsekuensi berupa ibadah yang mengandung sifat ta’abuddi murni yang artinya makna (ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar (ghoiru ma’qula al ma’na) atau irrasional. Hal yang dapat dipahami dari sifat ta’abud ini hanyalah kepatuhan pada perintah Allah swt, merendahkan diri kepada Nya dan mengagungkanNya.
Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya bersifat ta’aquli. Ta’aquli ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qula al ma’na) atau rasional. Maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia. Illat dari muamalah yang bersifat ta’aquli dapat dirasionalkan dengan melihat ada maslahat atau madlarat yang terkandung di dalamnya.
g.      Tafshili (Partikularitas)
Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT berfirman: “makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan.”
Dari ayat diatas dipahami bahwa Islam tidak mengajarkan spiritual yang mandul. Dalam hukum Islam manusia dieprintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam melarang sifat imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.
Memahami realitas karakter partikularistik hukum Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan pada pemahaman universal pada hukum Islam.yang berlaku.
h.      Akhlak (Etistik)
Dimensi akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum islam didasarkan pada beberapa alasan yang dikarenakan hukum islam dibangun berdasarkan petunjuk wahyu (Ql-Qur’an) yang dikembangkan melalui kehidupan Nabi SAW (AS Sunnah) dan ijtihadiyah yang Segala peraturan hukum Islam memproyeksikan pada dua bagian peraturan yakni pengaturan tentang tindakan hubungan dengan Allah yang daripadanya lahir hukum-hukum ibadah dan pengaturan menyangkut tindakan antar sesama manusia atau dengan makhluk lain (lingkungannya).
i.        Tahsini (Estetik)
Pengertian yang lazim untuk estetik adalah keindahan. Pesan dasar yang bisa ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang tertinggi. Paling tidak dalam pengertian literal tahsiniyah adalh puncak kebaikan yang dituju pada maslahat atau puncak moral.
Dalam hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya karakter etestik hukum Islam. Secara umum para subjek diberlakukan hukum-hukum wajib ibadah seperti shalat lima waktu, puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan tetapi hukum memberikan pula pilihan-pilihan yang lebih baik agar para subjek hukum melaksanakan ibadah-ibadah anjuran seperti shalat sunnat yang beragam macam, I’tikaf di mesjid, puasa sunnat dan sadaqah.
Karakter hukum Islam yang bersifat estetik banyak ditemukan dalam berbagai lapangan hukum Islam. Minimal menyangkut berlakunya hukum sunnat di antara panca ajaran hukum (Ahkamu al Khamsah) tidak lain merupakan tahsiniyah (estetik) maslahat hukum[9]
D.       Peran Hukum Islam
Di dalam masyarakat dijumpai berbagai institusi yang masing-masing diperlukan oleh masyarakat itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan mempelancar jalanya pemenuhan kebutuhan tersebut. Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka masyarakat sangat membutuhkan kehadiran institusi tesebut. Institusi bergerak di sekitar kebutuhan tertentu manusia. Agar kita bisa berbicara mengenai adanya suatu insttiusi yang demikian itu, kebutuhan yang dilayaninya telebih dulu harus medapakan pengakuan masyarakat. Pengakuan di sini diartikan, bahwa masyarakat di situ memang telah mengakui pentingnya kebutuhan tersebut bagi kehidupan manusia.
Apabila masyarakat telah mulai memperhatikan suatu kebutuhan tertentu maka akan berusaha agar dalam masyarakat dapat diciptakan suatu sarana untuk memnuhinya. Dari sinilah mulai dilahirkan suatu institusi tersebut. Jadi institusi itu pada hakikatnya merupakan alat perlengkapan masyarakat untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat dapat dipenuhi secara seksama. Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya diakui semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam institusi yang namanya hukum, maka institusi hukum itu harus mampu untuk menjadi saluran agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam masyarakat. Beberapa ciri yang umumnya melekat pada institusi sebagai perlengkapan masyarakat :
1.      Stabilitas. Di sini kehadiran institusi hukum menimbulkan suatu kemantapan dan keteraturan dalam usaha manusia untuk memperoleh keadilan itu.
2.      Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Di dalam ruang lingkup kerangka yangt telah diberikan dan dibuat oleh masyarakat itu, anggota-anggota masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhanya.
3.      Institusi menampilkan wujudnya dalam bentuk norma. Norma-norma inilah yang merupakan sarana untuk menjamin agar anggota-anggota masyarakat dapat dipenuhi kebutuhanya secara terorganisasi.
4.      Jalinan antar institusi. Terjadinya tumpang tindih antara institusi hukum merupakan institusi  sosial yang tujuannya untuk menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat.
Sebagai suatu institusi sosial, maka penyelenggaraanya yang demikian itu bekaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk melaksanakannya. Oleh karena itu suatu masyarakat akan menyelengarakannya dengan cara tertentu yang berbeda dengan masyarakat pada masyarakat  yang lain. Perbedaan ini berhubungan erat dengan persediaan perlengkapan yang terdapat dalam masyarakat untuk penyelenggaraan keadilan itu dan hak ini berarti adanya berhubungan yang erat antara institusi hukum suatu masyarakat dengan tingkat perkembangan organisasi sosialnya.
Suatu pengamatan terhadap masyarakat sacara sosiologis memeperlihatkan, bahwa kekuasaan itu tidak tebagi secara merata dalam masyarakat. Struktur pembagian yang demikian itu menyebabkan, bahwa kekuasaan itu terhimpun pada sekelompok orang-orang tertentu, sedangkan orang-orang lain tidak atau kurang memiliki kekuasaan itu. Keadaan seperti inilah yang menimbulkan perlapisan sosial di dalam masyarakat. Bagaimana stuktur yang berlapis-lapis itu bisa terbentuk banyak tergantung dari sistem perekonomian suatu masyarakat. Terjadinya penumpukan kekuasaan di tangan sekelompok orang-orang tertentu berhubungan dengan sistem pembagian sumber daya dalam masyarakat. Kekuasaan itu tidak terlepas dari penguasaan barang-barang dalam masyarakat.
Oleh karena itu terjadinya perlapisan kekuasaan berhubungan erat dengan barang-barang yang bisa dibagi-bagikan itu tentunya susah dibayangkan timbulnya perlapisan sosial dalam masyarakat. Kondisi pengadaan barang-barang menetukan apakah dalam suatu masyarakat akan menjumppai struktur kekuasaan yang berlapis-lapis itu. Pentingnya pembicaraan mengenai perlapisan sosial dalam rangka pembicaraan tentang hukum disebabkan oleh dampak dari adanya struktur yang demikian itu terhadap hukum, baik itu di bidang pembuatan hukum, pelaksanaan, maupun penyelesaian sengketanya. Pada masyarakat mana pun juga, orang atau golongan yang bisa menjalankan kekuasaannya secara efektif adalah mereka yang mampu mengontrol institusi-institusi politisi dan ekonomi dalam masyarakat.
Para ahli sosiologi hukum memberikan perhatian besar terhadap hubungan antara hukum dengan perlapisan sosial ini. Dengan terjadinya perlapisan sosial maka hukum pun susah untuk memperhatikan netralitas atau kedudukannya yang tidak memihak. Perlapisan sosial ini merupakan kunci penjelasan mengapa hukum itu bersifat distriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri, maupun melalui penegakannya. Para ahli tersebut di muka berpendapat, bahwa peraturan-peraturan hukumnya sendiri tidaklah memihak. Dalam keadaan yang demikian ini pendapat yang berkuasapun akan menentukan bagaimana isi peraturan hukum di situ.
 Dengan demikian, bagaimanapun diusahakan agar penegakan hukum itu tidak memihak, namun karena sudah sejak kelahirannya peraturan-peraturan itu tidak lempeng, maka hukum pun bersifat memihak, keadaan yang demikian itu juga dijumpai pada masalah penegakan hukum. Kalaulah kita sekarang sudah mengetahui betapa besar peranan hukum di dalam membantu menciptakan ketertiban dan kelencaran dalam kehidupan masyarakat, kita masih saja belum mengetahui benar apa yang dikehendaki oleh hukum tersebut. Apakah sekedar untuk menciptakan ketertiban atau lebih jauh dari pada itu?
Pertanyaan atau masalah ini layak sekali untuk mendapatkan perhatian kita. Apabila kita mengatakan, bahwa hukum-hukum itu bermaksud untuk menciptakan ketertiban, maka sebetulnya kita hanya berurusan dengan hal-hal yang bersifat dengan hal-hal teknik. Melarang orang untuk melakukan pencurian dengan menciptakan suatu hukum dengan sanksinya adalah suatu usaha yang bersifat teknik. Tetapi mengapa justru mencuri itu yang dilarang? Jawabanya adalah, karena mencuri itu dianggap sebagai perbuatan yang tercela oleh masyarakat. Dengan demikian, kita telah memasuki bidang yang tidak teknik lagi sifatnya, melainkan sudah ideal.
Pembicaraan ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih sesuai dengan kenyataan dalam kita meninjau dan mempelajari hukum, yaitu bahwa hukum itu hadir dalam masyarakat karena harus melayani kebutuhan-kebutuhan tertentu dan harus mengolah bahan-bahan tertentu yang harus ia terima sebagai suatu kenyataan. Karena hukum itu memberikan pembatasan-pembatasan yang demikian itu maka institusi hukum itu hanya bisa berjalan dengan seksama di dalam suatu lingkungan sosial dan politik yang bisa dikendalikan secara efektif oleh hukum. Suatu masyarakat yang berkehendak untuk diatur oleh hukum tetapi yang tidak bersedia untuk membiarkan penggunaan kekuasaannya dibatasi dan dikontrol, bukan merupakan lingkungan yang baik bagi berkembangnya institusi hukum.
Hukum Sebagai Sosial Kontrol, dimana setiap kelompok masyarakat selalu ada problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standard dan yang parktis. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat dicontohkan : pencurian, perzinahan hutang, membunuh dan lain-lain. Semua contoh ini adalah bentuk prilaku yang menyimpang yang menimbulkan persoalan didalam masyarakat, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Dalam situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan eksistensinya.
Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok masyarakat tersebut. Hukum yang berfungsi demikian adalah merupakan instrument pengendalian social.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, adalah hukum sebagai sosial control, dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social enginnering, sebagai alat pengubah masyarakat adalah dianalogikan sebagai suatu proses mekanik. Terlihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai-nilai baru, dengan melakukan “interprestasi”, ditegaskan dengan temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus dilindungi, dan unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).
Oleh karena itu, sekalipun hukum itu mempunyai otonomi tertentu, tetapi hukum juga harus fungsional dan menempatkan peranan dari keadilan dalam konteks kehidupan hukum secara lebih seksama.[10]


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan  
syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatnya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliah. struktur sosial adalah hubungan yang fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, memberikan batas pada aksi-aksi yang mungkin dilakukan secara organisasi.
perkembangan hukum islam di Indonesia:
a.    Masa kedatangan Islam di Indonesia.
b.    Masa Pemerintahan Hindia Belanda
c.    Masa sesudah kemerdekaan.
karakteristik  hukum islam.
a.    Sempurna.
b.    Harakah.
c.    Ijmali.
d.   Sisitematis.
e.    berangsur-angsur.
f.     Taabudi dan taaquli.
g.    Tafshili.
h.    Aklak.
i.      Tahsini.
Di dalam masyarakat dijumpai berbagai institusi yang masing-masing diperlukan oleh masyarakat itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan mempelancar jalanya pemenuhan kebutuhan tersebut. Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka masyarakat sangat membutuhkan kehadiran institusi tesebut. Institusi bergerak di sekitar kebutuhan tertentu manusia. Agar kita bisa berbicara mengenai adanya suatu insttiusi yang demikian itu, kebutuhan yang dilayaninya telebih dulu harus medapakan pengakuan masyarakat. Pengakuan di sini diartikan, bahwa masyarakat di situ memang telah mengakui pentingnya kebutuhan tersebut bagi kehidupan manusia
Saran
Tiada gading yang tak retak karena makalah ini masih banyak kekurangannya dan kami berharap makalah ini dapat dijadikan refensi bagi yang membacanya,saran dan masukan sangat kami harapkan sebagai acuan bagi kami untuk kedepannya.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Ghani 1994.Pengantar Komopilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia Jakarta, Gema Insani Press,
Usman Kolip, dan Setiadi. 2010. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group M
Arfin M. Hamid. 2011 Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan  (Sebuah Pengantar dalam Memahami Realitasnya di Indonesia). Makassar : PT. UMITOHA.
Hanafi, Ahmad 1970 Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,(Jakarta : Bulan Bintang),
Mubarak Jaih, 2000 Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya
Halim, 1988 Tarikh Tasyri’  (Solo : CV. Rhamadani),
Mubarak Jaih, 2.000 Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya)
Halil, .Rasyad Hasan 2009 Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta : Amzah),
Sukris. A, 2007 Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, (Yogyakarta : Pustaka Prima,)
Abdulkarim Aim, 2006 Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas X SMA, Bandung :  Grafindo Media Pratama


[1][1]   Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Komopilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia Jakarta, Gema Insani Press, 1994.
[2] Kolip, Usman dan Elly M. Setiadi. 2010. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
[3] M. Arfin Hamid. Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan (Sebuah Pengantar dalam Memahami Realitasnya di Indonesia). Makassar : PT. UMITOHA. 2011 
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1970, hal. 26.
[5] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya), 2000, cet. 2, hal. 11.
[6] alim, Tarikh Tasyri’ (Solo : CV. Rhamadani), 1988, hal. 41-42.
[7] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya), 2000, cet. 2, hal. 8.
[8] Rasyad Hasan Halil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta : Amzah), 2009, hal. 22.
[9] A. Sukris Sarmadi, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, (Yogyakarta : Pustaka Prima, 2007), h. 108 – 109.
[10] Abdulkarim Aim, Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas X SMA, Bandung :  Grafindo Media Pratama, 2006

0 komentar:

Posting Komentar