A.
Latar
Belakang
Hukum Islam diturunkan oleh Allah bertujuan untuk mencegah
kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan mengarahkan kepada kebenaran, keadilan
dan kebijakan serta menerangkan jalan yang harus dilaluinya. Dalam
hal ini bertumpu pada lima prioritas utama yakni memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta benda. Dengan berlandaskan Alquran yang bersifat universal
dan dinamis.
Hukum
Islam dengan segala keunggulannya, merupakan aturan Tuhan yang bertujuan
memberikan kebaikan dan kemudahan kepada umat manusia. Dengan demikian, Hukum
Islam mempunyai beberapa kekhasan yang tidak dimiliki oleh hukum manapun di
dunia. Kekhasan tersebut diantaranya adalah sifatnya yang fleksibel. Adanya
sifat fleksibel tersebut, selain untuk kemudahan umat dalam mengaktualisasikan
titah Tuhan, juga merupakan bentuk konkret dari humanitas hukum samawi.
Perubahan
hukum Islam itu untuk menyesuaikan dengan konteks zaman sekaligus dengan
karakter masyarakatnya. Sehingga Islam yang ada di arab tidak bisa sepenuhnya
diterapkan di Indonesia karena masyarakat Indonesia memiliki karakter sendiri.
formulasi hukum Islam untuk menjawab kebutuhan zaman tersebut harus didasarkan
kepada maqasid al-syari’ah sekaligus maslahah. Sebagai agama
rahmatanlilalamin, Islam memiliki prinsip-prinsip yang harus ditegakkan seperti
prinsip keadilan, kebebasan dan sikap toleran terhadap agama yang lain.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi hukum islam dan struktur
masyarakat?
2.
Bagaimana perkembangan hukum islam di
indonesia?
3.
Bagaimana karakteristik hukum islam di indonesia?
4.
Apa peran hukum islam ?
C. Tujuan Dan Manfaat.
1.
Untuk mengetahui definisi hukum islam
dan struktur masyarakat.
2.
Untuk mengetahui perkembangan hukum
islam di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui karakteristik hukum islam di indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hukum Islam Dan Struktur
Masyarakat
a. Definisi Hukum Islam
syariat
menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang
diadakan oleh Allah untuk umatnya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum
yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang
berhubungan dengan amaliah.
Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadanya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.
Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadanya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.
Menurut Muhammad Ali At-Tahanawi dalam
kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun
memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang
aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan) yang disebut juga syara,
millah dan diin. [1]
b. Definisi Struktur Masyarakat
Secara
harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak
harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial.
Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang
membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal
atau horizontal.
Struktur
masyarakat diartikan sebagai susunan terhadap sesuatu yang memiliki bagian atau
unsur-unsur dan membentuk suatu susunan. Berdasarkan Kamus Sosiologi dan Kependudukan struktur masyarakat ialah jaringan
antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma sosial,
lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok, serta lapisan-lapisan sosial.[2]
B.
Perkembangan
Hukum Islam di Indonesia
Perkembangan/pertumbuhan
hukum islam di Indonesia sejak mulai massuknya agama islam sampai menjadi salah
satu sistem hukum yang banyak penganutnya, dapat dibagi tiga pembahasan.
a.
Masa Kedatangan Islam di Indonesia
Berbicara
pada pertumbuhan hukum islam di Indonesia, tidak dapat melepaskan diri dari
persoalan kapan dan bagaimana masuknya agama Islam di Indonesia. Hal ini dikemukakan
agar dapat memperoleh gambaran betapa bangsa kita menyambut agama ini sampai
menjadi agama dengan pengunut yang terbesar.
Persoalan
kapan dan bagaimana masuknya agama islam di Indonesia ini terdapat dua pendapat
yaitu :
Pendapat
Pertama mengatakan bahwa
masuknya agama islam di Indonesia pada permulaan abad XIII M yang dibawa oleh
orang – orang yang berasal dari Persi ke Gujarat India kemudian pedagang
Gujarat India membawake indonesia. Sebagai buktinya bahwa bentuk, bahan dan
tulisan yang terdapat pada makam Maulana Malik Ibrahim mirip dengan bentuk,
bahan dan galian yang terdapat pada makam –makam raja Hindustan.
Pendapat
Kedua mengatakan
bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dibawa langsung dari negeri Arab oleh
bangsa Arab sendiri pada abad VII masehi.
Sejarah
telah membuktikan bahwa mulanya proses pengislaman di Indonesia berlangsung
tanpa disadari, tiba - tiba mengalami perkembangan yang pesat dan cepat
walaupun harus diakui waktu itu memang sudah ada isme-isme yang menguasai alam
pikiran bangsa Indonesia misalnya isme tradisional dan agama hindu.
Perkembangan
yang pesar dan dinamis ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menentukan
antara lain :
1.
Adanya sifat demokratis agama islam itu
sendiri.
2.
Cara masuk islam yang mudah.
3.
Agama Islam mudah menyesuaikan diri.
4.
Pribadi dan Akhlak orang islam sangat
tinggi.
Penyebaran
islam pada mulanya hanya pada dua titik yaitu Sumatra Utara tepatnya di aceh dan
pesisir pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Rembang, Tubanng, dan
Gresik. Dari Sumatra Utara ini Islam menyebar ke Pedalaman Minangkabau
sementara di Sumatra Selatan Agama Islam berkembang melalui Banten.
Di
Pulau Jawa, Agama islam berkembang dan menyebar melalui kelompok orang – orang
penyebar agama Islam yaitu para wali, yang biasa dikenal dengan sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Dengan
perantara mereka inilah Islam di Demak, Pajang Mataram dan Banten, akhirnya
sampai merata di Pulau jawa. Dengan Masuknya agama Islam di Tanah Air maka
hukum- hukumnya juga turut serta didalamnya.
Hukum
Islam terdiri dari tiga aspek yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan
tapi tidak dapat dipisahkan. Ketiga aspek yang dimaksud adalah, aspek akidah,
aspek syariat, dan aspek filsafat.Di antara ketiga aspek tersebut yang paling
penting adalah aspek syariatnya/ aspek hukumnya, oleh karena aspek hukum
tersebut merupakan jiwa agama islam.
b.
Masa Pemerintahan Hindia belanda
Pada
masa pemerintahan hindia Belanda mulai berkuasa Indonesia hukun islam telah
berkembang sedemikian pesatnya. Hal ini dapat dilihat bahwa di daerah-daerah
yang masyarakatnya mayoritas agama Islam pengaruhnya sangat menonjol.
Di
samping hukum Islam, Hukum adat sebagai suatu sistem hukum juga berlaku
ditengah-tengah masyrakat sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang berdasrkan
alam fikiran bangsa Indonesia. Antara kedua sistem hukum itu dalam perkembangannya
saling mempengaruhi, seolah diantara keduanya terjadi singkronisasi.
Dengan
berdasarkan pada teori pemerintahan Hindia belanda berhasil memperkecil peranan
Hukum Islam dalam hukum positif, sehingga hanya terbatas pada hukum perkawinan
dan perceraian serta mengenai badan hukum yang berbentuk wakaf, Hibah, Wasiat
dan Shadakah.
Sebagai
konsekuensi diakuinya Hukum Islam dalam peraturan peraundang – undangan Hindia
belanda sebagimana tercantum dalam beberapa pasal RR dan IS.
c.
Masa Sesudah Kemerdekaan
Sesudah
proklamasi kemerdekaan, perkembangan hukum islam lebih maju lagi dibandingkan
dengan keadaannya pada tahun – tahun sebelum kemerdekaan.
Pasal
29 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan Bahwa Negara Republik Indonesia menjamin
kemerdekaan tiap – tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu.
Sebagai
salah satu bentuk dari kemerdekaan beragama sebagai mana terantum dalam pasal
29 ayat (2), maka pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama yang
bertugas mengurus berbagai urusan yang menyangkut masalah – masalah keagamaan (
termasuk hukum agama ) di Indonesia.
Dalam
perkembangan selanjutnya beberapa bidang hukum islam telah dinyatakan diterima
dalam hukum nasional sebagai hukum positif seperti Hukum Perkawinan dalam UU No
1 Tahun 1874.
Pembentukan
berbagai pesantren dan madrasah-madrasah islamiyah bernafaskan Islam turut
menjadi warna tersendiri terhadap perkembangan Hukum Islam di Indonesia.[3]
C. Karakteristik Hukum Islam Di Indonesia
Hukum Islam memiliki watak tertentu
dan beberapa karakteristik yang membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang memang berasal dari
watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal dari proses penerapan dalam
lintas sejarah menuju ridha Allah swt. Dalam hal ini beberapa karakteristik
hukum Islam bersifat sempurna, elastis dan dinamis, universal, sistematis,
berangsur-angsur dan bersifat ta’abuddi serta ta’aquli.
a.
Sempurna
Berarti hukum itu akan selalu sesuai dengan segala
situasi dan kondisi manusia dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun
berkelompok. Hal ini didasari bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang
umum dan hanya garis besar permasalahannya saja. Sehingga hukum-hukumnya
bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu berubah. Penetapan hukum yang
bersifat global oleh al Quran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan
kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi
ruang dan waktu[4]
b.
Harakah (Elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku)
Hukum Islam
bersifat dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan
waktu dan tempat[5]Hukum
Islam bersifat elastis meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia.
Hukum Islam tidak kaku dan tidak memaksa melainkan hanya memberikan kaidah dan
patokan dasar secara umum dan global. Sehingga diharapkan tumbuh dan berkembang
proses ijtihad yang mengindikasikan bahwa hukum Islam memang bersifat elastis
dan dinamis, dapat diterima di segala situasi dan kondisi[6]
Ada
2 segi yang dapat dibentangkan secara faktual menyangkut argumentasi mengapa
hukum Islam memiliki karakter elastis (harakah), yakni :
a)
Menyangkut masalah hukum dalam memberi
beban taklif kepada subjek hukum (mukallaf).
b)
Penetapan-penetapan hukum bagi para
subjek hukum selalu memperhitungkan kondisi-kondisi khusus subjek hukum dalam
menjalankan hukum mereka. Setiap diberlakukannya suatu hukum bagi mukallaf
(subjek hukum) diberlakukan pula hukum-hukum pengecualian atau keringanan
(azimah dan rukhshah). Perhitungan terhadap kondisi-kondisi seperti itu
mencakup
c. Ijmali (Universalitas)
Ajaran
Islam bersifat universal, meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. berlaku bagi
orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Di samping
bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat dinamis (cocok
untuk setiap zaman).[7]
Misalnya pada zaman modern ini kita tidak menemukan secara tersurat dalam
sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadits) mengenai masalah yang sedang
berkembang pada abad 20 ini, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad, baik itu
qiyas dan sebagainya kita bisa mengleuarkan istinbath hukum dari hukum yang
telah ada dengan mengambil persamaan illatnya.
Ini berarti hukum Islam itu dapat menjawab segala
tantangan zaman. Sebenarnya hukum pada setiap perkembangan zaman itu sudah
tersirat dalam Al-Qur’an dan hanya kita sebagai manusia apakah bisa menggunakan
akal kita untuk berijtihad dalam mengambul suatu putusan hukum tersebut.Hukum
Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa dan
bahasa. Keuniversalan ini tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak hanya
terpaku pada satu masa saja (abad ke-7, misalnya). Tetapi untuk semua zaman
hukum Islam menghimpun segala sudut dari segi yang berbeda-beda di dalam satu
kesatuan dan akan selalu cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi ataupun
modern, seperti halnya hukum Islam dapat melayani para ahl ‘aql, ahl
naql dan ahl ro’yi atau ahl hadits.[8]
Bukti
yang menunjukkan bahwa hukum Islam memenuhi sifat dan karaktersitik tersebut
terdapat dalam Al-Qur’an yang merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam
mengatur alam semesta termasuk manusia Firman Allah SWT
Artinya :
Dan
Kami (Allah) tidak mengutsu kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia
seluruhnya untuk membawa berita gembira dan berita peringatan. Akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Saba: 28).
Konstitusi
Negara Muslim pertama, Madinah, menyetujui dan melindungi kepercayaan non
Muslim dan kebebasan mereka untuk mendakwahkan. Konstitusi ini merupakan
kesepakatn antara Muslim dengan Yahudi, serta orang-orang Arab yang bergabung
di dalamnya. Non Muslim dibebaskan dari keharusan membela negara dengan
membayar jizyah, yang berarti hak hidup dan hak milik mereka dijamin. Istilah
zimmi berarti orang non Muslim dilindungi Allah dan Rasul, kepada orang-orang
non Muslim itu diberikan hak otonomi yudisial tertentu.
d.
Sistematis
Berarti antara satu ajaran dengan ajaran yang lain
saling bertautan, bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis.
Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat al Quran yang selalu menghubungkan
antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu hukum Islam
mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi tetapi juga tidak melarang
umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi
e.
Berangsur-angsur (tadrij)
Hukum Islam dibentuk secara tadrij dan
didasarkan pada al Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran
ini memberikan jalan kepada manusia untuk melakukan pembaruan karena hidup
manusia selalu mengalami perubahan. Pembaruan yang dimaksud adalah memperbarui
pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai dengan perkembangan manusia dalam
berbagai bidang.
f.
Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli
Hukum Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu
bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt,
yakni beriman kepadaNya. Dan segala konsekuensi berupa ibadah yang mengandung
sifat ta’abuddi murni yang artinya makna (ide dan konsep) yang terkandung di
dalamnya tidak dapat dinalar (ghoiru ma’qula al ma’na) atau irrasional.
Hal yang dapat dipahami dari sifat ta’abud ini hanyalah kepatuhan pada perintah
Allah swt, merendahkan diri kepada Nya dan mengagungkanNya.
Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya
bersifat ta’aquli. Ta’aquli ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami
oleh nalar (ma’qula al ma’na) atau rasional. Maka manusia dapat melakukannya
dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia. Illat dari
muamalah yang bersifat ta’aquli dapat dirasionalkan dengan melihat ada maslahat
atau madlarat yang terkandung di dalamnya.
g. Tafshili
(Partikularitas)
Hukum
Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa
lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah shalat dalam
Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT
berfirman: “makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan.”
Dari
ayat diatas dipahami bahwa Islam tidak mengajarkan spiritual yang mandul. Dalam
hukum Islam manusia dieprintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam melarang
sifat imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.
Memahami
realitas karakter partikularistik hukum Islam merupakan bagian yang tak
terpisahkan pada pemahaman universal pada hukum Islam.yang berlaku.
h. Akhlak
(Etistik)
Dimensi
akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum islam didasarkan pada beberapa alasan
yang dikarenakan hukum islam dibangun berdasarkan petunjuk wahyu (Ql-Qur’an)
yang dikembangkan melalui kehidupan Nabi SAW (AS Sunnah) dan ijtihadiyah yang Segala
peraturan hukum Islam memproyeksikan pada dua bagian peraturan yakni pengaturan
tentang tindakan hubungan dengan Allah yang daripadanya lahir hukum-hukum
ibadah dan pengaturan menyangkut tindakan antar sesama manusia atau dengan
makhluk lain (lingkungannya).
i.
Tahsini (Estetik)
Pengertian
yang lazim untuk estetik adalah keindahan. Pesan dasar yang bisa ditangkap dari
makna khusus bahwa keindahan didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang
tertinggi. Paling tidak dalam pengertian literal tahsiniyah adalh puncak
kebaikan yang dituju pada maslahat atau puncak moral.
Dalam
hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya karakter etestik hukum Islam. Secara
umum para subjek diberlakukan hukum-hukum wajib ibadah seperti shalat lima
waktu, puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan tetapi hukum memberikan pula
pilihan-pilihan yang lebih baik agar para subjek hukum melaksanakan
ibadah-ibadah anjuran seperti shalat sunnat yang beragam macam, I’tikaf di
mesjid, puasa sunnat dan sadaqah.
Karakter
hukum Islam yang bersifat estetik banyak ditemukan dalam berbagai lapangan
hukum Islam. Minimal menyangkut berlakunya hukum sunnat di antara panca ajaran
hukum (Ahkamu al Khamsah) tidak lain merupakan tahsiniyah (estetik) maslahat
hukum[9]
D. Peran Hukum Islam
Di dalam masyarakat dijumpai berbagai
institusi yang masing-masing diperlukan oleh masyarakat itu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dan mempelancar jalanya pemenuhan kebutuhan
tersebut. Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka masyarakat sangat
membutuhkan kehadiran institusi tesebut. Institusi bergerak di sekitar
kebutuhan tertentu manusia. Agar kita bisa berbicara mengenai adanya suatu
insttiusi yang demikian itu, kebutuhan yang dilayaninya telebih dulu harus
medapakan pengakuan masyarakat. Pengakuan di sini diartikan, bahwa masyarakat
di situ memang telah mengakui pentingnya kebutuhan tersebut bagi kehidupan
manusia.
Apabila masyarakat telah mulai memperhatikan
suatu kebutuhan tertentu maka akan berusaha agar dalam masyarakat dapat
diciptakan suatu sarana untuk memnuhinya. Dari sinilah mulai dilahirkan suatu
institusi tersebut. Jadi institusi itu pada hakikatnya merupakan alat
perlengkapan masyarakat untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam
masyarakat dapat dipenuhi secara seksama. Keadilan merupakan salah satu
kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya diakui semua tempat di dunia ini.
Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam institusi yang namanya hukum,
maka institusi hukum itu harus mampu untuk menjadi saluran agar keadilan itu
dapat diselenggarakan secara seksama dalam masyarakat. Beberapa ciri yang
umumnya melekat pada institusi sebagai perlengkapan masyarakat :
1. Stabilitas. Di sini kehadiran institusi
hukum menimbulkan suatu kemantapan dan keteraturan dalam usaha manusia untuk
memperoleh keadilan itu.
2. Memberikan kerangka sosial terhadap
kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Di dalam ruang lingkup kerangka yangt
telah diberikan dan dibuat oleh masyarakat itu, anggota-anggota masyarakat
memenuhi kebutuhan-kebutuhanya.
3. Institusi menampilkan wujudnya dalam bentuk
norma. Norma-norma inilah yang merupakan sarana untuk menjamin agar
anggota-anggota masyarakat dapat dipenuhi kebutuhanya secara terorganisasi.
4. Jalinan antar institusi. Terjadinya
tumpang tindih antara institusi hukum merupakan institusi sosial yang tujuannya untuk
menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat.
Sebagai suatu institusi sosial, maka penyelenggaraanya
yang demikian itu bekaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri
untuk melaksanakannya. Oleh karena itu suatu masyarakat akan menyelengarakannya
dengan cara tertentu yang berbeda dengan masyarakat pada
masyarakat yang lain. Perbedaan ini berhubungan erat dengan
persediaan perlengkapan yang terdapat dalam masyarakat untuk penyelenggaraan
keadilan itu dan hak ini berarti adanya berhubungan yang erat antara institusi
hukum suatu masyarakat dengan tingkat perkembangan organisasi sosialnya.
Suatu pengamatan terhadap masyarakat sacara
sosiologis memeperlihatkan, bahwa kekuasaan itu tidak tebagi secara merata
dalam masyarakat. Struktur pembagian yang demikian itu menyebabkan, bahwa
kekuasaan itu terhimpun pada sekelompok orang-orang tertentu, sedangkan
orang-orang lain tidak atau kurang memiliki kekuasaan itu. Keadaan seperti
inilah yang menimbulkan perlapisan sosial di dalam masyarakat. Bagaimana
stuktur yang berlapis-lapis itu bisa terbentuk banyak tergantung dari sistem
perekonomian suatu masyarakat. Terjadinya penumpukan kekuasaan di tangan
sekelompok orang-orang tertentu berhubungan dengan sistem pembagian sumber daya
dalam masyarakat. Kekuasaan itu tidak terlepas dari penguasaan barang-barang
dalam masyarakat.
Oleh karena itu terjadinya perlapisan
kekuasaan berhubungan erat dengan barang-barang yang bisa dibagi-bagikan itu
tentunya susah dibayangkan timbulnya perlapisan sosial dalam masyarakat.
Kondisi pengadaan barang-barang menetukan apakah dalam suatu masyarakat akan
menjumppai struktur kekuasaan yang berlapis-lapis itu. Pentingnya pembicaraan
mengenai perlapisan sosial dalam rangka pembicaraan tentang hukum disebabkan
oleh dampak dari adanya struktur yang demikian itu terhadap hukum, baik itu di
bidang pembuatan hukum, pelaksanaan, maupun penyelesaian sengketanya. Pada
masyarakat mana pun juga, orang atau golongan yang bisa menjalankan
kekuasaannya secara efektif adalah mereka yang mampu mengontrol
institusi-institusi politisi dan ekonomi dalam masyarakat.
Para ahli sosiologi hukum memberikan
perhatian besar terhadap hubungan antara hukum dengan perlapisan sosial ini.
Dengan terjadinya perlapisan sosial maka hukum pun susah untuk memperhatikan
netralitas atau kedudukannya yang tidak memihak. Perlapisan sosial ini
merupakan kunci penjelasan mengapa hukum itu bersifat distriminatif, baik pada
peraturan-peraturannya sendiri, maupun melalui penegakannya. Para ahli tersebut
di muka berpendapat, bahwa peraturan-peraturan hukumnya sendiri tidaklah
memihak. Dalam keadaan yang demikian ini pendapat yang berkuasapun akan
menentukan bagaimana isi peraturan hukum di situ.
Dengan demikian, bagaimanapun
diusahakan agar penegakan hukum itu tidak memihak, namun karena sudah sejak
kelahirannya peraturan-peraturan itu tidak lempeng, maka hukum pun bersifat memihak,
keadaan yang demikian itu juga dijumpai pada masalah penegakan hukum. Kalaulah
kita sekarang sudah mengetahui betapa besar peranan hukum di dalam membantu
menciptakan ketertiban dan kelencaran dalam kehidupan masyarakat, kita masih
saja belum mengetahui benar apa yang dikehendaki oleh hukum tersebut. Apakah
sekedar untuk menciptakan ketertiban atau lebih jauh dari pada itu?
Pertanyaan atau masalah ini layak sekali
untuk mendapatkan perhatian kita. Apabila kita mengatakan, bahwa hukum-hukum
itu bermaksud untuk menciptakan ketertiban, maka sebetulnya kita hanya
berurusan dengan hal-hal yang bersifat dengan hal-hal teknik. Melarang orang
untuk melakukan pencurian dengan menciptakan suatu hukum dengan sanksinya
adalah suatu usaha yang bersifat teknik. Tetapi mengapa justru mencuri itu yang
dilarang? Jawabanya adalah, karena mencuri itu dianggap sebagai perbuatan yang
tercela oleh masyarakat. Dengan demikian, kita telah memasuki bidang yang tidak
teknik lagi sifatnya, melainkan sudah ideal.
Pembicaraan ini diharapkan dapat memberikan
wawasan yang lebih sesuai dengan kenyataan dalam kita meninjau dan mempelajari
hukum, yaitu bahwa hukum itu hadir dalam masyarakat karena harus melayani
kebutuhan-kebutuhan tertentu dan harus mengolah bahan-bahan tertentu yang harus
ia terima sebagai suatu kenyataan. Karena hukum itu memberikan
pembatasan-pembatasan yang demikian itu maka institusi hukum itu hanya bisa
berjalan dengan seksama di dalam suatu lingkungan sosial dan politik yang bisa
dikendalikan secara efektif oleh hukum. Suatu masyarakat yang berkehendak untuk
diatur oleh hukum tetapi yang tidak bersedia untuk membiarkan penggunaan
kekuasaannya dibatasi dan dikontrol, bukan merupakan lingkungan yang baik bagi
berkembangnya institusi hukum.
Hukum Sebagai Sosial Kontrol, dimana
setiap kelompok masyarakat selalu ada problem sebagai akibat adanya perbedaan
antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standard dan yang parktis.
Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat dicontohkan :
pencurian, perzinahan hutang, membunuh dan lain-lain. Semua contoh ini adalah
bentuk prilaku yang menyimpang yang menimbulkan persoalan didalam masyarakat,
baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Dalam
situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan problem untuk
menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan
eksistensinya.
Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah
menerapkan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari
sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu
fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok masyarakat tersebut. Hukum yang
berfungsi demikian adalah merupakan instrument pengendalian social.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat,
adalah hukum sebagai sosial control, dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat
atau biasa disebut social enginnering, sebagai alat pengubah masyarakat adalah
dianalogikan sebagai suatu proses mekanik. Terlihat akibat perkembangan
Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai-nilai baru,
dengan melakukan “interprestasi”, ditegaskan dengan temuan-temuan tentang
keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka akan terlihat
adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus dilindungi,
dan unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam mempertahankan
kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).
Oleh karena itu, sekalipun hukum itu
mempunyai otonomi tertentu, tetapi hukum juga harus fungsional dan
menempatkan peranan dari keadilan dalam konteks kehidupan hukum secara lebih
seksama.[10]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
syariat
menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang
diadakan oleh Allah untuk umatnya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum
yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang
berhubungan dengan amaliah. struktur sosial adalah hubungan yang fundamental
yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, memberikan batas pada aksi-aksi
yang mungkin dilakukan secara organisasi.
perkembangan
hukum islam di Indonesia:
a.
Masa kedatangan Islam di Indonesia.
b.
Masa Pemerintahan Hindia Belanda
c.
Masa sesudah kemerdekaan.
karakteristik hukum islam.
a.
Sempurna.
b.
Harakah.
c.
Ijmali.
d.
Sisitematis.
e.
berangsur-angsur.
f.
Taabudi
dan taaquli.
g.
Tafshili.
h.
Aklak.
i.
Tahsini.
Di dalam masyarakat dijumpai berbagai
institusi yang masing-masing diperlukan oleh masyarakat itu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dan mempelancar jalanya pemenuhan kebutuhan
tersebut. Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka masyarakat sangat
membutuhkan kehadiran institusi tesebut. Institusi bergerak di sekitar
kebutuhan tertentu manusia. Agar kita bisa berbicara mengenai adanya suatu
insttiusi yang demikian itu, kebutuhan yang dilayaninya telebih dulu harus
medapakan pengakuan masyarakat. Pengakuan di sini diartikan, bahwa masyarakat
di situ memang telah mengakui pentingnya kebutuhan tersebut bagi kehidupan
manusia
Saran
Tiada gading yang tak retak karena makalah ini masih
banyak kekurangannya dan kami berharap makalah ini dapat dijadikan refensi bagi
yang membacanya,saran dan masukan sangat kami harapkan sebagai acuan bagi kami
untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul
Ghani 1994.Pengantar Komopilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia
Jakarta, Gema Insani Press,
Usman Kolip, dan Setiadi. 2010. Pengantar Sosiologi.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group M
Arfin M. Hamid. 2011 Hukum
Islam Perspektif Keindonesiaan (Sebuah
Pengantar dalam Memahami Realitasnya di Indonesia). Makassar : PT. UMITOHA.
Hanafi, Ahmad 1970 Pengantar
dan Sejarah Hukum Islam,(Jakarta : Bulan Bintang),
Mubarak Jaih, 2000 Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,
(Bandung : PT. Remaja Rosda Karya
Halim, 1988 Tarikh Tasyri’ (Solo : CV.
Rhamadani),
Mubarak Jaih, 2.000 Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya)
Halil, .Rasyad Hasan 2009 Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum
Islam (Jakarta : Amzah),
Sukris. A, 2007 Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik,
(Yogyakarta : Pustaka Prima,)
Abdulkarim Aim,
2006
Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas X SMA, Bandung
: Grafindo Media Pratama
[1][1] Abdul Ghani Abdullah,
Pengantar Komopilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia Jakarta, Gema
Insani Press, 1994.
[2] Kolip, Usman
dan Elly M. Setiadi. 2010. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
[3]
M. Arfin Hamid. Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan (Sebuah Pengantar dalam
Memahami Realitasnya di Indonesia). Makassar : PT. UMITOHA. 2011
[4] Ahmad
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang), 1970, hal. 26.
[5] Jaih
Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya), 2000, cet. 2, hal. 11.
[6] alim, Tarikh
Tasyri’ (Solo : CV. Rhamadani), 1988, hal. 41-42.
[7] Jaih
Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya), 2000, cet. 2, hal. 8.
[8] Rasyad
Hasan Halil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta
: Amzah), 2009, hal. 22.
[9] A. Sukris Sarmadi, Membangun
Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, (Yogyakarta : Pustaka Prima,
2007), h. 108 – 109.
[10] Abdulkarim Aim, Pendidikan
Kewarganegaraan untuk kelas X SMA, Bandung : Grafindo Media
Pratama, 2006
0 komentar:
Posting Komentar