SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM WAKAF DI DUNIA ISLAM
SEJAK ERA NABI MUHAMAD HINGGA DINASTI ISLAM
Oleh:
Dhea Siti
Nur Rohmah
A.
Pendahuluan
Wakaf, sebagaimana halnya zakat yang termasuk harta atau aset
ummat muslim yang harus dijaga dan dikembangkan demi kepentingan ummat muslim
itu sendiri. Dalam perjalanannya, wakaf pada dunia Islam mengalami berbagai macam
kondisi pasang dan surut terus mewarnai perkembangannya dan tampaknya hal
seperti itu akan terus terjadi sepanjang masa.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan
seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola
secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam
merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk
mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf
untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum
seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW
karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah yang mana hal ini terus dikembangkan
ketika zaman sahabat hingga sampai pada zaman dinasti islam yang terus
berlangsung sesudahnya untuk mensejahterahkan umat islam sampai sekarang.
B.
Pembahasan
a.
Pengertian
Wakaf
Wakaf secara
bahasa berasal dari bahasa arab, yakni waqafa-yaqifu (وقف- يقف) yang
artinya berhenti, lawan dari kata istamarra (استمر) yang artinya lewat. Kata wakaf sering disamakan dengan kata al-tahbis (التبيس) atau al- tasbil (التسبيل) yang bermakna al-habs an- at tasarruf (الحبس عن تصرف) yakni
mencegah dari mengelola.
Secara harfiah
wakaf bermakna “Pembatasan” atau “Larangan”. Sehingga kata Waqf (Jama’ : Auqaf)
digunakan dalam Islam untuk maksud “pemilikan dan pemeliharaan” harta benda
tertentu untuk kemanfaatan sosial tertentu yang ditetapkan dengan maksud
mencegah penggunaan harta wakaf tersebut diluar tujuan khusus yang telah
ditetapkan tersebut.[1]
Adapun secara istilah, wakaf menurut Abu Hanifah dalam
Al-Hafsaki adalah:[2]
حبس العين على
ملك الوقف والتصدق بالمنفعة
Yakni menahan harta di bawah
naungan pemiliknya disertai pemberian manfaat sebagai sedekah.
Sedangakan menurut az-Zuhaili
wakaf adalah:
حبس مال يمكن
الانتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف من الواقف وغيره تقربا الى الله
menahan harta yang
memungkinkan untuk mengambil manfaat dengan tetapnya hata tersebut serta
mengutus pengelolaan dari wakif dan selainnya dengan tujuan mendekatkan diri
kepada Allah.
Selain dua definisi diatas, menurut
al_Kabsi, definisi yang lebih singkat namun padat (jami’ mani’) adalah
definisi Ibn Qudamah yang mengadopsi langsung dari potongan hadits Rasulullah,
yang berbunyi:
ان شئت حبست
اصلها وتصدقت بها
Menahan asal dan mengalirkan
hasilnya’ Hadits tersebut jelas dimuat antara lain dalam sunan at-Turmudzi.
Menurut Abu
Bkar Jbir Al-Jazairi mengartikan wakaf sebagai penahanan harta sehingga harta
tersebut tidak bisa di warisi, atau dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan
hasilnya kepada penerima wakaf.
Sementara
dalam UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, disebutkan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukuf wakif untuk memisahkan dan\atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan\atau kesejahteraan umum
menurut syariah.[3]
b.
Sejarah Hukum Wakaf
Zaman Rosullulah dan Sahabat
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah
SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua
Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam
(fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut
sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf
adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surat al-Imran ayat: 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ
حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Qs. Al-Imran ayat: 92 )
Dan juga surat al-Baqarah ayat: 627
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا
تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ
تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Terjemahnya: “Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Qs. al-Baqarah ayat: 627)
Pendapat lain berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan
diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami
bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah
wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW."
(Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah
mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf,
Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin
Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadis riwayat al- Jamaah dari ibnu umar:[4]
من بخيبر، ارضا اصبت الله رسول يا :فقال خيبر أرض ارضا اصاب عمر أن عمر ابن عن
حتبست اصلها وتصدق بها شئت إن :فقال ؟ تاءمرنى فما منه، عندى انفس لاقط ما اصب لم
و القربى والرقاب وذوى الفقراء فى تورث لا توهب لا و تباع لا أن على عمر بهما فتصدق ,
يأكل منها با المعرفر ويطعم غير متمؤل و فى أن وليها من على جناح لا,السبيل وابن والضيف ,
الجماعه رواه .مالا متأثل غير
:لفظ
Artinya:
“Ibnu Umar ra, ia berkata: Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra,
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah
SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat
sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang
engkau perintahkan kepadaku?”Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau
tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), lalu Ibnu Umar
menyedekahkan hasilnya dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh diberikan
tidak boleh diwarisi, yaitu untuk orang-rang fakir, keluarga dekatuntuk
memerdekakan hamba sahayauntuk menjamu tamu dan untuk orang yang keputusan
bekal dalam perjalanan (ibnu sabil), Dan tidak berdosa orsng ysng mengurusinya
itu memakan sebagaimana dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (pada
keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik dan dalam satu riwayat
dikatakan: dengan syarat jangan dikuasai pokoknya.” (HR.jama’ah).
Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar
bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun
“Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu
Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada
anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di
Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal
mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan
wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan
Aisyah Istri Rasulullah SAW”.[5]
c.
Sejarah Hukum Wakaf Dinasti - Dinasti Islam
Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa “Dinasti Umayah
dan Dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan
wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi
modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar
gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara
untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas
sosial dan ekonomi masyarakat”.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang
ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara
individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan
betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur
perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk
mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti
mesjid atau secara individu atau keluarga.[6]
Pada masa Dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir
adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik,
Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk
lembaga wakaf terrendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim.
Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di
Mesir, bahkan di seluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah
mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di
bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan
kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa Dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf
yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih
staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti
Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga
lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.
Pada masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan
wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi
harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul
mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud
mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan
yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah sebelumnya,
meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitul mal masih berbeda
pendapat di antara para ulama.
Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara
(baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan
ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu
“Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik
negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan
menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya
tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik
negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah)
untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan
madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan
lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping
kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.
Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan
misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H)
bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib
membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli
yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi
Dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah
mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul
mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan
menggusus mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah Dinasti
Fathimiyah.
Perkembangan wakaf pada masa Dinasti Mamluk sangat
pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh
diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah
tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat
belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak
untuk memelihara mesjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh
pengusa Dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan
budaknya untuk merawat mesjid.
Manfaat wakaf pada masa Dinasti Mamluk digunakan
sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga,
wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat
dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar Islam
adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain
ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin
al-Nasir yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah
setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima
tahun sekali.
Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf
telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk
mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal
mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang
terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada Dinasti Mamluk dimulai sejak Raja
al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan
undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat
mazhab Sunni.[7]
Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi
menjadi tiga kategori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa
kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain
(fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima
belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga
Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik
yang diraih oleh Dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan
Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.
Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada Dinasti
Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan
pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut
mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf,
upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf
dari sisi administrasi dan perundang-udangan.
Pada tahun 1287 H dikeluarkan undang-undang yang
menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan
tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang
tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan
diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan
dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari
waktu ke waktu di seluruh negeri muslim sehingga terus berkebang.[8]
C. Penutup
a.
Kesimpulan
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa
Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun
kedua Hijriyah. Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin
Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun
“Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu
Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada
anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di
Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal
mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian
pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin
Awwam dan Aisyah Istri Rasulullah SAW”.
Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa “Dinasti
Umayah dan Dinasti Abbasiyah, yang mana pada dinasti abasiyah pengembangan
wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim sehinnga perkembangan
wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan
oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan
administrasinya. Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup
menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf
dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Perkembangan
wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun
yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang
diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung
perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf
hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara mesjid dan madrasah. Hal
ini dilakukan pertama kali oleh pengusa Dinasti Ustmani ketika menaklukan
Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.
Daftar pustaka
Djunaidi, Achmad. 2006. Menuju Era Wakaf Produktif dunia islam, Jakarta: Mitra
Abadi Press.
Farid, Wadjdy. 2007. Wakaf
dan Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suhadi, Imam. 2002. Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Suhrawardi K, Lubis.
2010. Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Jakarta: Sinar Grafika.
[4] Achmad Djunaidi, Menuju
Era Wakaf Produktif Dunia Islam, (Jakarta: Mitra Abadi Press 2006)
hlm.73
0 komentar:
Posting Komentar