Minggu, 11 November 2018

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM WAKAF DI DUNIA ISLAM SEJAK ERA NABI MUHAMAD HINGGA DINASTI ISLAM


SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM WAKAF DI DUNIA ISLAM SEJAK ERA NABI MUHAMAD HINGGA DINASTI ISLAM

Oleh:
 Dhea Siti Nur Rohmah

A.      Pendahuluan
Wakaf, sebagaimana halnya zakat yang termasuk harta atau aset ummat muslim yang harus dijaga dan dikembangkan demi kepentingan ummat muslim itu sendiri. Dalam perjalanannya, wakaf pada dunia Islam mengalami berbagai macam kondisi pasang dan surut terus mewarnai perkembangannya dan tampaknya hal seperti itu akan terus terjadi sepanjang masa.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah yang mana hal ini terus dikembangkan ketika zaman sahabat hingga sampai pada zaman dinasti islam yang terus berlangsung sesudahnya untuk mensejahterahkan umat islam sampai sekarang.
B.       Pembahasan
a.        Pengertian Wakaf
Wakaf secara bahasa berasal dari bahasa arab, yakni waqafa-yaqifu (وقف- يقف) yang artinya berhenti, lawan dari kata istamarra (استمر) yang artinya lewat. Kata wakaf sering disamakan dengan kata al-tahbis (التبيس)  atau al- tasbil (التسبيل) yang bermakna al-habs an- at tasarruf (الحبس عن تصرف)  yakni mencegah dari mengelola.
Secara harfiah wakaf bermakna “Pembatasan” atau “Larangan”. Sehingga kata Waqf (Jama’ : Auqaf) digunakan dalam Islam untuk maksud “pemilikan dan pemeliharaan” harta benda tertentu untuk kemanfaatan sosial tertentu yang ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan harta wakaf tersebut diluar tujuan khusus yang telah ditetapkan tersebut.[1]
Adapun secara istilah, wakaf menurut Abu Hanifah dalam Al-Hafsaki adalah:[2]
حبس العين على ملك الوقف والتصدق بالمنفعة
Yakni menahan harta di bawah naungan pemiliknya disertai pemberian manfaat sebagai sedekah.
Sedangakan menurut az-Zuhaili wakaf adalah:
حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف من الواقف وغيره تقربا الى الله
menahan harta yang memungkinkan untuk mengambil manfaat dengan tetapnya hata tersebut serta mengutus pengelolaan dari wakif dan selainnya dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Selain dua definisi diatas, menurut al_Kabsi, definisi yang lebih singkat namun padat (jami’ mani’) adalah definisi Ibn Qudamah yang mengadopsi langsung dari potongan hadits Rasulullah, yang berbunyi:
ان شئت حبست اصلها وتصدقت بها
Menahan asal dan mengalirkan hasilnya’ Hadits tersebut jelas dimuat antara lain dalam sunan at-Turmudzi.
Menurut Abu Bkar Jbir Al-Jazairi mengartikan wakaf sebagai penahanan harta sehingga harta tersebut tidak bisa di warisi, atau dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan hasilnya kepada penerima wakaf.
Sementara dalam UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukuf wakif untuk memisahkan dan\atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan\atau kesejahteraan umum menurut syariah.[3]
b.        Sejarah  Hukum Wakaf Zaman Rosullulah dan Sahabat
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surat al-Imran ayat: 92

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Terjemahnya:Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang              sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Qs. Al-Imran ayat: 92 )

Dan juga surat al-Baqarah ayat: 627
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Terjemahnya:Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Qs. al-Baqarah ayat: 627)
Pendapat lain berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW." (Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadis riwayat al- Jamaah dari ibnu umar:[4]

من بخيبر، ارضا اصبت الله رسول يا :فقال خيبر أرض ارضا اصاب عمر أن  عمر ابن عن
حتبست اصلها وتصدق بها  شئت إن :فقال ؟ تاءمرنى فما منه، عندى انفس لاقط ما اصب لم
و القربى والرقاب  وذوى الفقراء فى تورث لا توهب لا و تباع لا أن على عمر بهما فتصدق ,
يأكل منها با المعرفر ويطعم غير متمؤل و فى أن وليها من على جناح لا,السبيل وابن والضيف ,
الجماعه رواه .مالا متأثل غير :لفظ
Artinya: “Ibnu Umar ra, ia berkata: Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), lalu Ibnu Umar menyedekahkan hasilnya dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh diberikan tidak boleh diwarisi, yaitu untuk orang-rang fakir, keluarga dekatuntuk memerdekakan hamba sahayauntuk menjamu tamu dan untuk orang yang keputusan bekal dalam perjalanan (ibnu sabil), Dan tidak berdosa orsng ysng mengurusinya itu memakan sebagaimana dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (pada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik dan dalam satu riwayat dikatakan: dengan syarat jangan dikuasai pokoknya.” (HR.jama’ah).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Istri Rasulullah SAW”.[5]
c.         Sejarah Hukum Wakaf Dinasti - Dinasti Islam
Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa “Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat”.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti mesjid atau secara individu atau keluarga.[6]
Pada masa Dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik, Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf terrendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa Dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.
Pada masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah sebelumnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitul mal masih berbeda pendapat di antara para ulama.
Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.
Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan  dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi Dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah Dinasti Fathimiyah.
Perkembangan wakaf pada masa Dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara mesjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa Dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.
Manfaat wakaf pada masa Dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar Islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.
Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada Dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.[7]
Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga kategori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh Dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.
Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada Dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.
Pada tahun 1287 H dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim sehingga terus berkebang.[8]
C.      Penutup
a.        Kesimpulan
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Istri Rasulullah SAW”.
Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa “Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, yang mana pada dinasti abasiyah pengembangan wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim sehinnga perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya. Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara mesjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa Dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.




Daftar pustaka
Djunaidi, Achmad. 2006. Menuju Era Wakaf Produktif dunia islam, Jakarta: Mitra Abadi Press.
Farid, Wadjdy. 2007. Wakaf dan Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suhadi, Imam. 2002. Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Suhrawardi K, Lubis. 2010. Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Jakarta: Sinar Grafika.






[1] Wadjdy Farid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 45
[2] Lubis Suhrawardi K, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.29
[3] Farid, Wakaf dan Kesejerahteaan Umat. hlm. 57
[4] Achmad Djunaidi, Menuju Era Wakaf Produktif Dunia Islam, (Jakarta: Mitra Abadi Press 2006) hlm.73
[5] Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa 2002) hlm.67
[6] Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat. hlm. 74
[7] Djunaidi,  Menuju Era Wakaf Produktif Dunia Islam. hlm.85
[8] Suhrawardi K, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, hlm.93

0 komentar:

Posting Komentar