BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tatanan
kehidupan manusia yang diminasi kaum laki-laki atas perempuan sudah menjadi
akar sejarah yang cukup panjang. Dalam tatanan tersebut, perempuan dijadikan
sebagai the second human being (manusia kelas kedua),yang berada dibawah
laki-laki, yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat.
Perempuan selalu dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekedar pelengkap
yang diciptakan dari dan untuk laki-laki. Dan berakibat, perempuan hanya di
tempatkan di ranah dalam saja, sedangkan laki-laki berada di ranah public.
Mereka
menggaggap bahwa poligami merupakan syariat dan di anjurkan dalam Islam.
Padahal poligami tidak di sunnahkan oleh Nabi SAW, untuk mengangkat derajat dan
martabat seorang wanita. Bukan untuk mengoleksi istri. Sebelum kedatangan Islam
poligami sudah ada dan dahulu kala Nabi Daud mempunyai istri 300 orang, dan
Nabi Sulaiman mempunyai istri 700 orang. Akan tetapi setelah Islam datang Nabi
Muhammad SAW membatasi umatnya untuk mempunyai istri empat dan selebihnya
diceraikan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian Poligami menurut
islam ?
2.
Bagaimana sejarah poligami ?
3.
Apakah dasar poligami menurut islam?
4.
Apa alasan poligami dan syaratnya ?
5.
Bagaimana prosedur poligami dalam undang
undang indonesia ?
C. Manfaat dan Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian Poligami
menurut islam.
2.
Untuk mengetahui dasar poligami
menurut islam.
3.
Untuk mengetahui sejarah poligami.
4.
Untuk mengetahui alasan poligami dan
syaratnya.
5.
Untuk mengetahui prosedur poligami
dalam undang undang indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
pengertian
poligami menurut islam
Kata Monogamy dapat dipasangkan dengan
poligami sebagai antonim, Monogamy adalah perkawinan dengan istri
tunggal yang artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang
perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang
perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian makna ini mempunyai
dua kemungkinan pengertian; Seorang laki-laki menikah dengan banyak
laki-laki kemungkinan pertama disebut Polygini dan kemungkinan yang
kedua disebut Polyandry.
Hanya saja yang berkembang
pengertian itu mengalami pergeseran sehinggah poligami dipakai untuk makna
laki-laki beristri banyak, sedangkan kata poligyni sendiri tidak lazim dipakai.
Poligami berarti ikatan perkawinan
yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam
waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani
hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan
suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.
Poligami
adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama
mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam perkawinan adalah
monogamy, sedangkan poligami datang belakangan sesuai dengan perkembangan akal
pikiran manusia dari zaman ke zaman.
Menurut para
ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara dan
orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada
pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang,
dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian
dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi
kedudukanya, makin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami
itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana
hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.
Poligami
adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orang-orang yang
memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan semangat pembelaan terhadap
hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi
perempuan dalam masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal kesulitan,
karena tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak
penulis, bahwa poligami itu berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan
penggalan kata Poli atau Polus yang artinya banyak, dan kata Gamein
atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini
digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti
poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak
terbatas. Namun dalam Islam, poligami
mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya
dibolehkan hanya sampai empat wanita saja.[1]
B.
Sejarah
Poligami
sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan poligami.
Di dunia barat, kebanyakan orang benci dan menentang poligami. Sebagian besar
bangsa-bangsa disana menganggap bahwa poligami adalah hasil dari perbuatan
cabul dan oleh karenanya dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral. Akan
tetapi kenyataan menunjukan lain, dan inilah yang mengherankan. Hendrik II,
Hendrik IV, Lodeewijk XV, Rechlieu, dan Napoleon I adalah contoh orang-orang
besar Eropa yang berpoligami secara illegal. Bahkan, pendeta-pendeta Nasrani
yang telah bersumpah tidak akan kawin selamanya hidupnya, tidak malu-malunya
memiliki kebiasaan memelihara istri-istri gelap dengan izin sederhana dari
uskup atau kepala gereja mereka.
Kebiasaan poligami yang dilakukan oleh raja-raja yang
melambangkan ketuhanan sehingga banyak orang yang menganggapnya sebagai
perbuatan suci. Orang Hindu melakukan poligami secara meluas, begitu juga orang
Babilonia, Siria, dan Persi, mereka tidak mengadakan pembatasan mengenai jumlah
wanita yang dikawini oleh seorang laki-laki. Seorang Brahma berkasta tinggi,
boleh mengawini wanita sebanyak yang ia suka. Di kalangan bangsa Israil,
poligami telah berjalan sejak sebelum zaman nabi Musa a.s. yang kemudian
menjadi adat kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada batasan istri.
Di kalangan pengikut Yahudi Timur Tengah, poligami
lazim dilaksanakan. Bahkan menurut mereka Injil sendiri tidak menyebutkan batas
dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki. Agama Kristen
tidak melarang adanya praktek poligami, sebab tidak ada satu keterangan yang
jelas dalam Injil tentang landasan melarang poligami. Terkecuali dalam Injil
Matius Pasal 10 ayat 10-12dan Injil
Lukas pasal 16 ayat 18 yang menerangkan bahwa seseorang yang menceraikan
pasangannya kemudian menikah lagi, maka hukumnya dia berzina dengan pasangannya
yang baru.
Dalam realitasnya, hanya golongan Kristen Katolik saja
yang tidak membolehkan pembubaran akad
nikah kecuali kematian saja. Sedangkan aliran-aliran Ortodoks dan Protestan
atau Gereja Masehi Injil membolehkan. Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada
dewan Gereja pada masa awal Kristen yang menentang Poligami. St. Agustine
justru menyatakan secara tegas bahwa dia sama sekali tidak mengutuk poligami.
Marthin Luther mempunyai sikap yang toleran dan menyetujui status poligami
Philip dari Hesse. Tahun 1531 kaum Anabaptis mendakwakan poligami. Sekte Mormon
juga meyakini poligami. Bahkan hingga sekarang, beberapa Uskup di Afrika masih
sangat mendukung praktek poligami.
Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam.
Orang-orang Eropa (Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda,
Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami.
Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti Ibrani dan Arab, mereka juga
berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang
melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya yang berlaku sekarang ini
juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti
Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah benar jika poligami hanya terdapat di
negeri-negeri Islam.
Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa islamlah yang
mula-mula membawa sistem poligami. Sebenarnya hingga sekarang sistem poligami
ini masih tetap tersebar di beberapa bangsa yg tidak beragama islam seperti orang-orang
Afrika, Hindu India, Cina, dan Jepang. Juga tidak benar jika dikatakan bahwa
sistem ini hanya berlaku dikalangan bangsa-bangsa yang beragama Islam.
Sebenarnya agama Kristen tidak melarang poligami sebab di dalam Injil tidak ada
satu ayat pun yang dengan tegas melarang hal ini. Dulu sebagian bangsa Eropa
yang pertama memeluk Kristen telah beradat istiadat dengan mengawini satu
perempuan saja. Sebelumnya mereka adalah penyembah berhala. Mereka memeluk
Kristen karena pengaruh bangsa Yunani dan Romawi yang melarang poligami.
Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan
adat nenek moyang mereka ini tetap mereka pertahankan dalam agama baru ini.
Jadi, sistem monogami yg mereka jalankan ini bukanlah dari agama Kristen yang
mereka anut, melainkan warisan Paganisme (agama berhala) dahulu. Dari sinilah
gereja kemudian mengadakan bid’ah dengan menetapkan larangan poligami lalu
larangan tersebut dimasukkan sebagai aturan agama, padahal kitab Injil tidak
menerangkan sedikitpun tentang pengharaman sistem ini. Kemudian menurut Sayyid
Sabiq dalam Fiqhussunnah mengutarakan
bahwa sebenarnya sistem poligami ini tidaklah dilakukan kecuali oleh
bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya, sedangkan bangsa-bangsa yang masih
primitif jarang sekali melakukannya, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Hal ini
diakui oleh para sarjana sosiologi dan kebudayaan seperti Westermark, Hobbers,
Heler dan Jean Bourge.
Hendaklah diingat bahwa sistem monogami merupakan
sistem yang umum dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kebanyakan masih primitif,
yaitu bangsa-bangsa yang hidup dengan mata pencaharian berburu, bertani, yang
biasanya bertabiat halus dan bangsa-bangsa yang sedang berada dalam transisi
meninggalkan zaman primitifnya, yang pada zaman modern kini disebut bangsa
agraris.
Disamping itu, sistem monogami tidak begitu menonjol
pada bangsa-bangsa yang telah mengalami perubahan kebudayaan yaitu
bangsa-bangsa yang telah meninggalkan cara hidup berburu yg primitif menjadi
bangsa peternak dan penggembala dan bangsa-bangsa yang meninggalkan cara hidup
memetik hasil tanaman liar menjadi bangsa yang bercocok tanam. Kebanyakan
sarjana sosiologi dan kebudayaan berpendapat bahwa sistem poligami pasti akan
meluas dan bangsa-bangsa di dunia ini banyak melakukannya bilamana kebudayaan
mereka bertambah tinggi. Jadi tidaklah benar anggapan bahwa poligami berkaitan
dengan keterbelakangan kebudayaan. Sebaliknya poligami seiring dengan
kebudayaan.
Demikian kedudukan sebenarnya sistem
poligami menurut sejarah. Begitu juga sebenarnya pendirian agama Kristen.
Begitu juga meluasnya sistem poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan
manusia. Hal ini disampaikan bukan untuk mencari dalih untuk membenarkan sistem
poigami ini, tetapi untuk menerangkan persoalan sesuai dengan tempatnya dan
menjelaskan penyelewengan serta kebohongan sejarah dan fakta yang dikemukakan
oleh orang-orang Eropa.[2]
C. Dasar Hukum Poligami Menurut Islam
Yaitu terletak dalam surat An-Nisa` ayat 3
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Terjemahnya: Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Maksudnya berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni
isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
Dan Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun
ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum
nabi Muhammad SAW. Ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Dan demikian
juga disebutkan dalam surat An-Nisa` ayat 129, Allah SWT berfirman:
وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ
وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Terjemahnya: Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sejak masa
Rasulullah SAW , Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan setelahnya sebagian besar
kaum Muslimin memahami dua ayat Akhkam itu sebagai berikut:
1. Perintah Allah SWT, “maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”, difahami sebagai
perintah ibahah (boleh), bukan perintah wajib. Seorang muslim dapat memilih
untuk bermonogami (istri satu) atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah
kesepakatan pendapat mayoritas pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu
yang berbeda.
2. Larangan mempersunting istri
lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam firman Allah “maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat”.
Menurut alqurtuki, pendapat yang memperkenankan poligami lebih dari empat
dengan pijakan nash di atas, adalah pendapat yang muncul karena yang
bersangkutan tidak memahami gaya bahasa dalam al-qur`an dan retorika bahasa
arab.
3. Poligami
harus berlandaskan asas keadilan, sebagaimana firman Allah, “kemudian
jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki.“ (QS. An-nisa`:
3) seseorang tidak dibolehkan menikahi lebih dari seorang istri jika mereka
merasa tidak yakin akan mampu untuk berpoligami. Walaupun dia menikah maka akad
tetap sah, tetapi dia berdosa terhadap tindakannya itu.
4. Juga
sebagaimana termaktub dalam ayat yang berbunyi, “dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian”. adil dalam cinta diantara istri-istri adalah suatu hal
yang mustahil dilakukan karena dia berada di luar batas kemampuan manusia. Namun, suami seyogyanya tidak berlaku dzolim terhadap istri-istri yang lain
karena kecintaannya terhadap istrinya.
5. Sebagian ulama` penganut
madzhab syafi`I mensyaratkan mampu member nafkah bagi orang ayaang akan
berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan pemahaman imam syafi`I terhadap teks
al`qur`an, “yang demikian itu adalah lebih cddekat kepada tidak berbuat
aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam
kitab “akhkam al-qur`an”, imam baihaqi juga mendasarkan keputusannya terhadap
pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman madzhab syafi`I jaminan
yang mensyaratkan kemampuan memmberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah
syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia
tidak mampu member nafkah bukan syarat putusan hukum.
Dan adalagi yang menyebutkan bahwa poligami itu mubah (dibolehkan) selama
seorang mu`min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang poligami untuk
menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh berpoligami itu
tidak bergantung kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur), jadi tidak
bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika tidur
dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.[3]
D. Alasan Dan Syarat
Pada dasarnya seorang
pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang beristri lebih
dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh
Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP)
dan juga dalam Bab IX KHI
Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai berikut:
a. Isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
Apabila
diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami
bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah,
mawaddah, dan rahmah ) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila
tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami-istri maka dapat dianggap
rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah
dan rahmah).[4]
E.
Prosedur
Poligami Dalam Undang Undang Indonesia
Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974
menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari
seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.
Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam
sebagai berikut:
Pasal 56 KHI
1.
Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang
harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2.
Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana
diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3.
Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga
atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya
memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.
Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri;
b.
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
c.
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kalau Pengadilan Agama
sudah menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memriksa berdasarkan Pasal
57 KHI :
a.
Ada atau tidaknya alasan
yang memugkinkan seorang suami kawin lagi;
b.
Ada atau tidaknya
persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan, apabila persetujuan
itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan
sidang pengadilan;
c.
Ada atau tidaknya
kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak,
dengan memperlihatkan:
i.
Surat keterangan
mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja,
atau
ii.
Surat keterangan pajak
penghasilan, atau
iii.
Surat keterangan lain
yang dapat diterima oleh pengadilan.
Pasal 58 ayat (2) KHI
Dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
Adapun
tata cara teknis pemeriksaan menurut Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adlah
sebagai berikut:
(1)
Dalam melakukan
pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil
dan mendengar istri yang bersangkutan.
(2)
Pemeriksaan pengadilan untuk
itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Apabila terjadi sesuatu dan lain hal, istri atau istri-istri tidak mungkin
diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mengkin dimintai
persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari istri-istrinya selama sekurang-sekurangnya 2 (dua) tahun
atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim
Pengadilan (bandingkan juga dengan Pasal 58 KHI).
Namun, bila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa
izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975).
Kalau sang istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur
dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57,
Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59
KHI). Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin
pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun
1975, Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti telah
diuraikan di atas mengikat semua pihak,
pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai percatat perkawinan. Apabila
mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas, dikenakan
sanksi pidana. Persoalan ini diatur dalam Bab IX Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975
:
(1)
Kecuali apabila
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
a.
Barang siapa yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat (3), 40 Peraturan
Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00
(tujuh ribu lima ratus rupiah);
b.
Pegawai Pencatat yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 12,
dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2)
Tindak pidana yang
dimaksud dalam ayat (1) di atas, merupakan pelanggaran.
Ketentuan hukum poligami yang boleh
dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama,
setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan dimaksud, terwujudnya
cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan
abadi atas dasar cinta dan kasih sayang yang diridhai oleh Allah SWT. Oleh
karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi
terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti dihilangkan atau
setidaknya dikurangi
Status hukum poligami
adalah mubah. Mubah dimaksud, sebagai alternatisf untuk beristri hanya sebatas
4 (empat) orang istri. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut:
(1)
Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan,
terbatas hanya sampai empat orang isteri.
(2)
Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami
harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3)
Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2) tidak
mungkin terpenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu.
Dasar
pertimbangan KHI adalah hadits Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Ahmad,
At-Tirmidzi, dan Ibn Hibban yang mengugkapkan bahwa sesungguhnya Gailan Ibn
Salamah masuk Islam dan ia mempunyai 10 (sepuluh) orang istri. Mereka
bersama-sama, dan dia masuk Islam. Maka Nabi Muhammad SAW. memerintahkan kepadanya
agar memilih empat orang saja di antaranya dan menceraikan yang lainnya.[5]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Poligami berasal dari bahasa Yunani dari kata Poli atau Polus artinya banyak, dan kata Gamein atau Gamos
yang berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini di gabungkan
menjadikan sebuah pengertian bahwa poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu
dengan batasan,yang dalam islam di batasi hanya 4 orang
Dalam Segi sejarahnya poligami sudah
berlangsung sejak zaman dahulu ssebelum datangmya islam pada zaman rasulullah,
yamg mana poligami dilakukan oleh raja-raja zaman dahulu sebagai perbuatan yang
suci, seperti halnya orang-orang Eropa (Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia,
Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah
bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti
Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami.
Dalam al-Quran dasar hukum poligami
ditetapkan dalam surat an-nissa ayat 03 dan surat an-nissa ayat 129 dan dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur
dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57 bersertaan alasan dan
syarat poligami yang terdapat pada Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1974.
B. Saran
Tiada
gading yang tak retak karena sesungguhnya kesempurnaan itu hanya milik allah
semata, kritik dan saran sangat kami butuhkan agar lebih baik kedepannya dan
kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Daftar
Pustaka
Makmun, Rodli. 2009, Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur,
Ponororgo: Stain Ponorogo Press.
Al’atthar, Taufiq. 2010, Poligami Di Tinjau Dari Segi Agama Sosial
Dan Perundang Undangan, Jakarta : Bulan Bintang
Tihami, Sohari Sahrani, 2009, Fiqih Munakahat, Jakarta: Rajawali Pers.
[1] Rodli Makmun. Poligami Dalam Tafsir Muhammad Syahrur, )Ponororgo:
Stain Ponorogo Press 2009(
hl. 45.
[2] Taufiq Al’atthar, Poligami
Di Tinjau Dari Segi Agama Sosial Dan Perundang Undangan, (Jakarta : Bulan
Bintang 2010), hl.75.
[3] Sohari Sahrani
Tihami , Fiqih Munakahat, (Jakarta:
Rajawali Pers 2009), hl.73
[4] Al’atthar, Poligami, hl.67
[5] Tihami , Fiqih, hl.98